Kepedulian bagi yang Didiskriminasikan karena COVID19

 Kepedulian bagi yang Didiskriminasikan karena COVID19

Ilustrasi (Jalastoria.id)

Oleh: Dewi Nova

Aku sudah 16 hari, tinggal bersama 4 ibu sesama pasien terinfeksi COVID19 di salah satu rumah sakit,  di Jakarta. Kami tinggal di blok pasien yang sudah dapat menolong dirinya sendiri –bukan ruang Intensive Care Unit (ICU)– sehingga memungkinkan untuk saling berbincang. Kontruksi gender memang tidak berhenti di pintu kamar isolasi,  perbincangan kami tak jauh dari peran gender yang terus menguntit kami hingga masa perawatan.

Pagi dan sore hari, kami biasanya sibuk bertelpon dengan keluarga untuk urusan anak, suami, cucu yang  juga terinfeksi COVID19 (selanjutnya ditulis COVID) dan dirawat di rumah sakit berbeda atau isolasi mandiri.  Bagi ibu-ibu yang masih ada keluarga di rumah, tanggung jawab soal belanja harian, kelola kebutuhan bulanan dan urusan keluarga lainnya masih juga mereka urus secara jarak jauh.  Kesibukan itu masih bertambah, bagi ibu-ibu yang bekerja.

Ada satu topik yang hati-hati kami bicarakan,  yaitu perihal pandangan  tetangga dan kawan-kawan terhadap status kami sebagai orang positif COVID. Untuk soal itu, kami punya pengalaman berbeda. Ibu A yang mengalami gejala ngilu-ngilu di sekujur tubuh, memang tidak menduga bila ia terinfeksi COVID. Ia mengetahui dirinya positif COVID setelah melalui observasi dan swab di Instansi Gawat Darurat (IGD). Setelah itu, ia dirujuk ke RS Rujukan COVID. “Sampai sekarang tetanggaku nggak ada yang tahu kalau aku COVID. Jadi aku, sampai sekarang tidak mendengar omongan yang nggak enak dari tetangga,” tutur ibu A. Ibu B, baru ditelpon tukang ikan langganannya, saat ibu A menyampaikan khawatirannya. “Aku juga nggak bilang ke tukang ikan, kalau aku sedang dirawat karena COVID,” tutur ibu B.

Ibu C lain lagi pengalamannya, orang sekampung mengetahui ia positif COVID, karena ia dijemput ambulan ke rumahnya, setelah suami dan anak cucunya dirawat lebih dulu. “Terserah dah, tetangga mau bilang apa. Kita juga kagak tahu gimana bisa kena COVID,” kata ibu B.

Aku tinggal bertiga –bersama suami dan adikku. Kami mengetahui aku dan suamiku  positif COVID setelah suamiku memiliki gejala yang kami duga  gejala infeksi COVID,  lalu kami melakukan swab mandiri. Hasil swab adikku negatif tapi aku dan suamiku positif.  Selanjutnya, kami dirawat di rumah sakit rujukan COVID yang berbeda.

Kekhawatiran yang ibu-ibu rasakan, kurasakan juga. Oleh karena itu, di masa awal perawatan aku dan suami hanya berkabar kepada pengurus RT, kawan-kawan yang kami temui 14 hari terakhir, kawan kerja  dan sebagian keluarga dan sahabat yang sekiranya dapat mendukung kami. Kekhawatiran kami itu, ada benarnya juga. Beberapa hari ini, Ibu D mengeluh karena sebagian kawannya panik setelah ia berkabar bahwa ia terinfeksi COVID. Maksud ibu D memberi tahu agar kawannya memperhatikan kesehatannya, tapi dibalas dengan sikap yang tidak empati. Ibu D mulai merasa disalahkan, padahal ia sendiri sedang berusaha menaikan imunnya.

Di luar kami berlima, ada kisah Ibu E yang sudah lama tinggal sendiri di kamar kos dan hidup dari jualan makanan. Ketika hasil swabnya positif, jalan ke kosannya diportal pihak lingkungan rukun tangga. Ibu E yang sedang isolasi mandiri tidak boleh dikunjungi siapa pun. Bantuan makanan dan lainnnya diberikan melalui pak RT, kemudian pak RT yang akan menyampaikan ke Ibu E. Pembatasan itu, menyebabkan kadang-kadang bantuan untuk makan siang baru tiba ke Ibu E di jam makan malam, karena hanya pak RT –dengan banyak kegiatan– yang dapat menyampaikan bantuan.

Yang memprihatinkan,  pembatasan yang bermaksud baik di lingkungan RT itu, tidak diimbangi dengan dukungan untuk kebutuhan sehari-hari ibu E. Belum ada  bantuan pangan untuk ibu E  dari lingkungan RT. Padahal sejak positif COVID ibu E sudah tidak dapat berjualan, dan artinya ia sudah tidak mampu untuk memenuhi pangan, bayar uang kost dan kebutuhan berobat lainnya. Keluargaku sendiri sempat mengalami kesulitan, ketika mencari tempat kos untuk isolasi mandiri suamiku yang sudah dipulangkan dari rumah sakit. Para pemilik kost di lingkunganku belum ada yang bersedia menerima orang yang pernah dirawat karena COVID.

Mengatasi Diskriminasi dengan Kepedulian

Pemerintah dan berbagai gerakan yang memberi perhatian pada COVID sudah cukup banyak memberikan pendidikan publik tentang bagaimana COVID menular,  jaga jarak dan menjaga kebersihan dan kesehatan. Yang luput dari pendidikan tersebut adalah bagaimana masyarakat dapat memberikan dukungan sosial dan ekonomi bagi warga dan keluarga yang terinfeksi COVID, terutama bagi keluarga yang tidak mungkin isolasi mandiri di hotel seperti keluargaku dan yang  sedang kesulitan bertahan hidup seperti ibu E.

Lemahnya pengetahuan dan watak diskriminatif yang masih melekat pada sebagian masyarakat memperburuk kesulitan keluarga yang terinfeksi COVID. Watak diskriminatif maksudku, sebelum masuk pandemi, sebagian masyarakat kita memang masih diskriminatif pada pendatang, agama dan pandangan berbeda yang sering menimbulkan berkurangnya akses hidup bersama pada kelompok warga tertentu. Modal buruk itu beresiko terus berlanjut ketika kita memasuki masa pandemi ini.

Apa yang dialami keluargaku, kekhawatiran ibu A, B, C, D dan kesulitan ibu E, sedikit dari banyak kasus yang saat ini sedang berlangsung. Lalu bagaimana kita dapat membantu warga dan keluarga yang sedang kesulitan karena mendapat penolakan, pembatasan dan pengabaian dari lingkungannya karena mereka terinfeksi COVID?

Sambil terus kita menyuarakan pentingnya dukungan sosial dan ekonomi bagi keluarga yang terinfeksi COVID, dukungan bersifat teknis sungguh diperlukan, agar kebutuhan dasar yang tak bisa ditunda segera teratasi. Misalnya pada situasi ibu E, ketika lingkungan rukun tangga belum sepenuhnya membantu kebutuhan ibu E selama masa isolasi mandiri, dukungan perlu diperluas dari publik di luar lingkungan RT. Penggalangan kepedulian melalui sosial media, kemudian yang dapat menopang ibu E untuk makanan bernutrisi, bayar kost selama ia belum kembali jualan makanan dan biaya swab mandiri paska isolasi mandiri.

Meski sudah ada dana dari Kementrian Kesehatan RI selama masa perawatan atau karantina untuk pasien terinfeksi COVID tapi kebutuhan di luar itu ditanggung warga. Kesulitan kost yang dihadapi keluargaku juga teratasi, ketika ada satu tetangga yang kebetulan rumahnya kosong, mengijinkan adikku untuk tingga sehingga suamiku bisa pulang ke rumah, isolasi  mandiri dalam keadaan masih positif dan adikku tinggal di rumah tetangga.

Berbagi pangan, biaya pemulihan kesehatan, dan berbagi ruang atau rumah untuk isolasi mandiri, kepedulian mendasar yang perlu kita tumbuhkan di masa pandemi ini. Yang juga sama pentingnya, memberikan hati, pikiran dan waktu untuk menelpon atau bentuk komunikasi lainnya untuk memberikan kekuatan mental kepada yang terinfeksi COVID. Kesehatan mental saling terkait dengan  kesehatan fisik dan kedua hal itu  juga sangat bergantung pada dukungan-kepedulian sosial yang kita kembangkan di masyarakat.[]

 

Penulis buku Perempuan Kopi, ia dapat dihubungi melalui dewinova.wahyuni@gmail.com dan instagram de_nova_

Digiqole ad