Dilema Perempuan dan Pendidikan yang Masih Terbentur dengan Ketimpangan Gender

 Dilema Perempuan dan Pendidikan yang Masih Terbentur dengan Ketimpangan Gender

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Zaman dulu, masyarakat memiliki pandangan bahwa perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi-tinggi. Bahkan orang tua zaman dulu kerap mengatakan “Perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi karena ujungnya nanti masuk ke dapur juga”.

Satu sisi memang benar perempuan adalah sosok yang paling sering berkecimpung di dapur. Namun, itu bukan berarti perempuan tidak boleh mengenyam pendidikan tinggi. Sebab, pendidikan adalah suatu proses pembelajaran pengetahuan, keterampilan, serta bimbingan agar potensi dalam diri dapat digunakan secara maksimal dan optimal.

Salah satu sosok yang memperjuangkan hak perempuan agar bisa mengenyam pendidikan adalah RA Kartini. Berkat perjuangannya, kini perempuan dapat dengan bebas menuntut ilmu hingga ke jenjang paling tinggi sekali pun.

Bahkan, saat ini jumlah perempuan yang kuliah lebih tinggi daripada laki-laki. Ini dapat dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), di mana persentase perempuan yang pernah menamatkan perguruan tinggi mencapai 10,06% pada 2021, sedangkan laki-laki 9,28%.

Angka tersebut menunjukkan sebanyak hampir 10 orang dari 100 perempuan berusia 15 tahun ke atas di Indonesia berhasil meraih ijazah perguruan tinggi. Jika dirinci berdasarkan daerah tempat tinggal, persentase perempuan yang mempunyai ijazah perguruan tinggi di perkotaan mencapai 13,51%, sedangkan laki-laki sebesar 12,56%.

 

Ketimpangan Gender

Sayangnya meski persentase perempuan berpendidikan lebih tinggi ketimbang lelaki, masih banyak ketidakadilan yang dirasakan. Salah satunya terkait dengan ketimpangan gender. Kesetaraan gender masih menghadapi masalah yang belum terselesaikan. Untuk itu, pendidikan masyarakat harus ditingkatkan karena menjadi kunci utama dalam mencapai kesetaraan gender.

Deputi Bidang Pengendalian Penduduk, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Bonivasius Prasetya Ichtiarto, juga sempat mengatakan bahwa meski akses ke pendidikan dasar telah meningkat di Indonesia, tapi masih ada perbedaan yang signifikan antara anak laki-laki dan perempuan dalam partisipasi dan kesempatan belajar

“Setiap anak, baik laki-laki maupun perempuan harus memiliki akses yang sama terhadap pendidikan berkualitas,” ujar Boni.

 

                   Baca Juga: Miskonsepsi tentang Feminisme dalam Pendidikan

 

Boni juga mengungkapkan data yang menunjukkan perempuan masih menghadapi tantangan seperti pernikahan dini, penghapusan sekolah, dan stereotip gender yang menghambat mereka untuk meraih pendidikan yang setara dengan laki-laki.

Kemudian sudut pandang masyarakat tersebut juga harus diluruskan. Salah satu penyebab adanya sebuah kesenjangan dalam memperoleh pendidikan pada perempuan dan laki-laki adalah ketidakadilan gender. Perempuan akan menjadi ibu rumah tangga dan laki-laki menjadi kepala rumah tangga, perempuan hanya mengurus dapur dan anak sementara laki-laki bekerja menjadi tulang punggung keluarga.

Harus diingat bahwa lewat pendidikan perempuan dapat meningkatkan kemampuan sehingga memiliki derajat yang sama dengan laki-laki. Pendidikan berperan bukan hanya sebatas alat untuk meningkatkan kemampuan perempuan, akan tetapi juga menjadi alat untuk mentransformasi pemikiran masyarakat.

Bagi perempuan, pendidikan itu dapat menjadi bekal diri dalam mendidik anak, mengurus rumah tangga, bekerja dan bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Perempuan akan merasa berguna dan berharga jika telah setara dan bisa mengandalkan dirinya sendiri.

 

 

Kendala

Ketimpangan dalam pendidikan dan kompetensi menjadi kendala perempuan dalam memasuki dunia kerja. Peluang partisipasi perempuan dalam dunia kerja masih terbentur dengan ketimpangan gender.

“Ketimpangan partisipasi di dunia kerja antara laki-laki dan perempuan masih cukup lebar. Upaya meningkatkan kompetensi perempuan untuk memasuki dunia kerja harus konsisten dilakukan,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat.

Mengacu pada data BPS, jumlah perempuan pekerja pada 2022 mencapai 52,74 juta pekerja di Indonesia. Jumlah pekerja perempuan itu setara dengan 38,98% dari total pekerja yang ada di Indonesia.

Dalam bidang pekerjaan formal terbesar yang melibatkan perempuan adalah tenaga usaha penjualan (28,44%). Selain itu, perempuan yang bekerja di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan (24,6%).

 

                    Baca Juga: Memandang Makna Kartinisasi di Kalangan Kelas Menengah

 

Sementara, masih berdasarkan catatan BPS 2022, perempuan Indonesia yang bekerja menduduki level kepemimpinan dan ketatalaksanaan hanya sebesar 0,78%. Selain itu, perempuan yang menjadi pejabat pelaksana, tata usaha dan sejenisnya sebesar 6,2% dari populasi pekerja perempuan.

Data tersebut membuktikan posisi perempuan dalam dunia kerja masih kerap dinomorduakan. Padahal pendidikan yang dikecap kaum perempuan tak kalah dengan lelaki.

Di sisi lain, tanpa mendapatkan kesempatan pendidikan yang layak perempuan akan kehilangan kesempatan kerja dan terpaksa bekerja di sektor informal dengan jaminan keamanan dan perlindungan kerja yang belum memadai. Padahal dibutuhkan lingkungan kerja yang aman, sehat, dan membuka kesempatan yang sama bagi semua, termasuk perempuan.

 

Elvira Siahaan, perempuan apa adanya, mencintai anjing, dan suka petualangan baru.

Digiqole ad