Pemaksaan Sterilisasi dan Kontrasepsi Melanggar UU TPKS

 Pemaksaan Sterilisasi dan Kontrasepsi Melanggar UU TPKS

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi merupakan bentuk kekerasan seksual. Ini tegas dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) UU TPKS huruf c dan d. Disebut pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi adalah ketika pemasangan alat kontrasepsi dan atau tindakan sterilisasi terhadap perempuan dilakukan tanpa persetujuan.

Dikutip dari Detik.com (8/6/16) Kajian komnas Perempuan sejak 1998 hingga 2015 mengidentifikasi 15 bentuk kekerasan seksual yakni perkosaan, intimidasi ataupun serangan bernuansa seksual, pelecehan seksual, dan eksploitasi seksual. Bentuk kekerasan seksual lainnya adalah perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, prostitusi paksa, perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan. Selain itu ada  pemaksaan aborsi, pemaksaan sterilisasi dan kontrasepsi, penyiksaan seksual, penghukuman yang tidak manusiawi dan bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan dan kontrol seksual.

Baca Juga: Pemidanaan Korporasi sebagai Pelaku Kekerasan Seksual, Bisakah?

Lalu, apa saja yang perlu diketahui tentang Forced Sterilisation and Coerced Contraception/FSCC:

  1. Pemaksaan terhadap Perempuan

Sterilisasi paksa dan pemaksaan kontrasepsi (Forced Sterilisation and Coerced Contraception/FSCC) merujuk pada tindakan pemaksaan untuk memastikan bahwa perempuan tidak dapat lagi berprokreasi baik secara permanen atau sementara.

  1. Kontrol atas Tubuh Perempuan

FSCC adalah bentuk kontrol non konsensual atas tubuh perempuan. Dalam sebuah penelitian FSCC terhadap perempuan pekerja migran ditemukan bahwa pemaksaan kontrasepsi disebut sponsor (Perusahaan perekrut di Indonesia-red) sebagai syarat perekrutan yang dapat menerbangkan perempuan pekerja migran ke luar negeri.

  1. Merupakan Kekerasan Seksual

Ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Pasal 8 UU TPKS menyatakan, “Setiap Orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya untuk sementara waktu, dipidana karena pemaksaan kontrasepsi, dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).”

Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak, Kenali 3 Tanda Ini

Ancaman serupa berlaku terhadap praktik pemaksaan sterilisasi. Diatur dalam Pasal 9, “Setiap Orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, membuat atau memanfaatkan kondisi tidak berdaya yang dapat membuat kehilangan fungsi reproduksinya secara tetap, dipidana karena pemaksaan sterilisasi, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

  1. Menyasar Kelompok Rentan

FSCC bahkan sudah lama diidentifikasi menargetkan perempuan dari kelompok rentan secara ekonomi, sosial dan budaya. Praktik ini menyasar perempuan penyandang disabilitas, perempuan adat, perempuan yang hidup dengan HIV/AIDS, dan perempuan pekerja migran. Misalnya pemaksaan pada perempuan disabilitas lantaran dianggap tidak mampu membuat keputusan, rentan perkosaan, dan demi mengurangi beban keluarga. Sementara pada perempuan HIV/AIDS, pemaksaan dilakukan lantaran mereka dianggap akan melahirkan generasi positif HIV/AIDS yang akan membebani tanggung jawab negara.

***

Sterilisasi paksa dan pemaksaan kontrasepsi (Forced Sterilisation and Coerced Contraception/FSCC) melanggar hak perempuan. Praktik ini menyangkal kemampuan perempuan yang dianggap tidak layak untuk bereproduksi. Termasuk menyangkal kekhasan pada tubuh perempuan. [Nur Azizah]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Digiqole ad