Perbedaan Persepsi APH dalam Melihat UU PKDRT

 Perbedaan Persepsi APH dalam Melihat UU PKDRT

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Adanya perbedaan pandangan aparat penegak hukum dalam implementasi UU PKDRT dikarenakan adanya pasal-pasal tertentu yang masih multitafsir. Ema Rahmawati dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Bareskim Polri mencontohkan pasal 9 UU PKDRT tentang penelantaran menyatakan, “Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau karena perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”.

Pasal ini dinilai oleh Ema Rahmawati sebagai pasal multitafsir karena belum ditetapkan secara pasti batasan penelantaran rumah tangga. Apakah batasan penelantaran tumah tangga dilihat dari batasan waktu tidak memberikan nafkah atau dilihat dari dampaknya.

“Misalnya tidak memberikan nafkah 1 atau 2 minggu, tapi dampaknya sudah terasa. Atau harus menunggu batas waktu 2 sampai 3 bulan, baru dinamakan penelantaran rumah tangga. Di dalam UU PKDRT belum dijelaskan batasan penelantaran rumah tangga seperti apa”, jelas Ema.

Erni Mustika Sari dari Kejaksaan RI juga menambahkan masih ada pasal multitafsir lain tentang ruang lingkup rumah tangga. Salah satu lingkup rumah tangga dalam UU PKDRT Pasal 2 ayat 1 poin a adalah suami, istri, dan anak. Artinya pasal ini melindungi hubungan suami istri yang terikat dalam perkawinan sah. Namun, yang menjadi persoalan dalam aparat penegak hukum adalah perihal status perkawinan. Apakah perkawinan sah menurut hukum agama dan kepercayaannya, atau perkawinan sah menurut hukum agama dan kepercayaan sekaligus sudah dicatatkan.

Baca Juga: Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 1 dari 3 Tulisan)

Lebih lanjut dalam persoalan ini, Erni berharap ke depannya ada pedoman khusus terkait implementasi UU PKDRT. Ini diperlukan supaya antar penegak hukum dapat sepaham dalam melihat batasan pasal-pasal multitafsir tersebut. “Kami berharap ke depannya mungkin antara penegak hukum ada pedoman khusus untuk penanganan kasus KDRT.  Sehingga dalam penanganan kasus KDRT kita sama-sama sepaham, kita sudah punya pemikiran yang sama dalam memandang Undang-undang PKDRT ini” Ungkapnya.

Hambatan lain dari kebanyakan kasus KDRT yang dilaporkan kepada kepolisian adalah pencabutan laporan oleh korban. Banyak hal yang menjadi faktor penyebabnya, yang paling dominan adalah faktor ekonomi. Korban bergantung secara ekonomi kepada pelaku, alasan lainnya karena anak. Fakta ini dungkapkan oleh Ema Rahmawati.

Pencabutan laporan ini menjadi kendala tersendiri bagi pihak kepolisian apabila kasus yang dilaporkan bukan berupa delik aduan. Aparat merasa serba salah ketika kasus sudah ditangani lebih lanjut namun ternyata sudah diselesaikan secara kekeluargaan oleh korban dan pihak terkait lainnya.

Dalam persoalan ini, peran aparat penegak hukum dirasa sangat penting untuk meningkatkan kesadaran korban supaya tidak mencabut laporannya. Erni menambahkan, bahwa selain informasi yang diberikan oleh aparat penegak hukum, pendamping korban juga memiliki andil besar untuk memberikan pemahaman atau menguatkan korban agar kasus ini tetap berjalan.

Baca Juga: Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 2 dari 3 Tulisan)

Pendamping dapat berkolaborasi dengan penyidik, psikolog atau pihak lain agar korban merasa nyaman, tidak merasa khawatir akan diintimidasi atau diancam oleh pelaku. “Inilah membutuhkan kolaborasi antara penyidik, pendamping, psikolog dan lain-lain yang bisa mensupport atau memberikan penguatan kepada korban. Sehingga korban memahami bahwa peristiwa yang saya alami ini harus diproses secara hukum, supaya memberi efek jera dan tidak dilakukan lagi KDRT”, terangnya.

Permasalahan lainnya adalah keterbatasan sumber daya manusia dalam menangani banyak kasus KDRT. Pelaporan kasus KDRT tidak mengenal waktu, bisa di pagi, siang, dan bahkan tengah malam. Setiap laporan yang masuk, penyidik harus memenuhi berbagai kebutuhan dan hak korban melalui tindakan assesment kebutuhan korban.

Baca Juga: Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 3 dari 3 Tulisan)  

Ema mengakui bahwa dalam hal ini penyidik tidak dapat bekerja sendiri. Pihaknya harus bekerja sama dengan stakeholder terkait seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau lembaga berbasis masyarakat yang memberikan layanan pendampingan.

Pihaknya juga membangun pemahaman kepada penyidik untuk melakukan assesment kebutuhan korban di awal, apakah korban membutuhkan tempat perlindungan, pendamping, psikolog atau tenaga ahli lainnya. [Uung Hasanah]

 

Selengkapnya, acara dapat disimak melalui tautan:

https://www.youtube.com/live/QLYD4Nv31EQ?si=52bxRjII0PldLTgd

 

 

 

Digiqole ad