Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 2 dari 3 Tulisan)

 Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 2 dari 3 Tulisan)

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Dian Puspitasari, SH

Putusan Penetapan Hak Asuh Anak bisakah dieksekusi?

Hal yang menarik adalah melihat kembali semua isi putusan pengadilan terhadap hak asuh anak. Isi putusan pengadilan terkait hak asuh anak, pada umumnya merupakan putusan declaratoir, yakni putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu. Termasuk dalam putusan hak asuh anak kasus N. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor :1334K/Pdt.G/2020 menyatakan bahwa “hak asuh dan perawatan anak, anak ke-1 penggugat dan tergugat dan anak ke-2 penggugat dan tergugat, berada dalam pengasuhan penggugat rekonvensi/tergugat konvensi.

Merujuk pada  sifatnya terdapat 3 (tiga) macam  jenis putusan pengadilan perdata, yaitu:

  1. Putusan declaratoir

Putusan declaratoir adalah putusan yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu dieksekusi. Demikian juga putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan.

Contohnya: bahwa X adalah anak angkat yang sah dari Y dan Z, atau A, B, dan C, dan merupakan ahli waris dari H. (almarhum)

  1. Putusan constitutief

Ini adalah putusan yang dapat meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkan suatu keadaan hukum yang baru.

  1. Putusan condemnatoir;

Putusan condemnatoir merupakan putusan yang bisa dilaksanakan. Yaitu putusan yang berisi penghukuman di mana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu.

Putusan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang apabila tidak dilaksanakan secara sukarela, harus dinilai dalam sejumlah uang (Pasal 225 HIR/ Pasal 259 RBg) dan selanjutnya akan dilaksanakan seperti putusan untuk membayar sejumlah uang.

Baca Juga: Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 1 dari 3 Tulisan)

Melihat isi putusan pada kasus N, merupakan putusan declaratoir. Dalam praktiknya para pemegang hak asuh anak mengajukan permohonan eksekusi dan berhasil.

Penetapan hak asuh anak kepada salah satu pihak hanya untuk menegaskan bahwa hukum memberikan tanggungjawab kepadanya tanpa mencabut hak orang tua lainnya. Karena dalam pasal 3 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Tidak ada suatu hukuman apapun dapat menyebabkan suatu kematian perdata, atau kehilangan semua hak kewargaan”. Pasal tersebut mengartikan bahwa seseorang sebagai penyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban hanya akan berakhir jika ia telah meninggal dunia. Jadi, selama seseorang masih hidup, selama itu pula ia mempunyai kewenangan.

Pasal 3 KUHPerdata menempatkan hubungan antara anak dan ibu kandung bersifat kodrati. Pemberian hak asuh pada mantan suami, tidak dapat mengakibatkan kematian hubungan hukum perdata antara ibu dan anak kandungnya.

Jika melihat berbagai kondisi saat ini banyak orang tua yang memiliki hak pengasuhan namun faktanya atas nama demi kepentingan terbaik anak. Secara faktual mereka tidak benar-benar mengasuh dan merawat sendiri anak-anaknya. Seperti anak yang masuk sistem boarding school dan pondok pesantren. Sehari-hari mereka tidak tinggal bersama orang tuanya, meskipun secara hukum hak pengasuhan melekat kepadanya.

Dengan demikian, yang perlu dipahami bagi orang tua, terutama yang bercerai, adalah bagaimana mereka menyadari bahwa makna pengasuhan adalah tanggungjawab orang tua untuk memastikan tumbuh kembang anak berjalan dengan baik, secara fisik, mental/spiritual dan sosial.

Baca Juga: Bertahan Pasca Perceraian

Dalam kasus perebutan atau sengketa hak asuh anak, termasuk kasus yang menimpa N, tidak dapat dilaporkan ke polisi. Sebab dalam putusan pengadilan tingkat banding dan kasasi tidak ada isi putusan yang menyatakan bahwa hak-hak N sebagai ibu dari dua anaknya dicabut.

Selain itu dalam kasus perebutan hak anak, ada undang-undang perlindungan anak yang harus pula ditegakkan dalam rangka perlindungan hak-hak anak. Pasal 2 UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip; non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak.

Ketika dua anak N memilih untuk tinggal atau berada dalam pengasuhan dan perawatan ibunya, maka semua pihak termasuk bapaknya harus dengan sukarela menerima dan menghargai pendapat anak, demi kepentingan terbaik anak. Terlebih anak-anak tidak berkeberatan untuk bertemu dengan bapaknya. Dua anak itu hanya tidak ingin tinggal dengan bapaknya baik secara permanen maupun dalam waktu tertentu.

Di sini negara harusnya memberikan perlindungan hukum kepada siapa saja termasuk N yang telah menjalankan perlindungan anak sebagaimana amanat undang-undang perlindungan anak.

Apakah Seseorang yang Tidak Menjalankan Putusan Pengadilan Dapat Dipidana?

Kasus yang sedang dihadapi N menarik dilihat ketika penyidik menerapkan Pasal 330 Jo 328 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Dalam hal ini perlu dilihat lagi unsur-unsur delik dari kedua pasal tersebut.

Pasal 330 KUHP menyatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Baca Juga: Hari Anak Nasional, Ingat Lagi 5 Klaster Hak Anak

Sementara Pasal 328 KUHP menyatakan “Barangsiapa melarikan (menculik) orang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara, dengan maksud untuk membawa dia di bawah penguasaannya atau di bawah penguasaan orang lain dengan melawan hukum, atau untuk menyengsarakan orang itu, dipidana dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Pasal 330 KUHP ini secara unsur lebih luas jika dibandingkan dengan Pasal 328 yang langsung menyatakan melarikan (menculik). Sehingga penggunaan pasal 330 KUHP ini lebih luas untuk ditafsirkan daripada Pasal 328 KUHP. Sementara pasal penculikan terutama anak-anak juga sudah diatur dalam UU Perlindungan anak. Sehingga perlu dilihat unsur-unsur yang diatur dalam Pasal 330 KUHP.

Delik Unsur Pasal 330 KUHP

Pertama, unsur “dengan sengaja.” Ini berkaitan dengan kehendak si pelaku. Dalam bahasa hukum disebut sebagai motif/niat atau kehendak. Sengaja dapat diartikan sebagai maksud, kepastian, atau kemungkinan. Unsur “dengan sengaja” berasal dari niat/hati dan melekat/mewujud pada perbuatan. Sebagaimana filosofi actus reus, hanya berlaku jika nissi mens sit rea. Oleh karenanya, dengan sengaja, haruslah diverifikasi dan dikonfimasi terhadap unsur perbuatan lainnya.

Jika melihat kasus N, unsur dengan sengaja masih bisa diperdebatkan karena niat itu harus terwujud. N tidak memiliki niat secara sengaja karena kedua anaknya yang menginginkan tinggal bersamanya. Justru N sedang melakukan upaya untuk menghargai pendapat kedua anaknya yang waktu itu tidak ingin bertemu dengan ayahnya. Penggunaan unsur dengan sengaja ini juga harus dikaitkan dengan prinsip UU Perlindungan Anak yakni penghargaan terhadap pendapat anak dan demi kepentingan terbaik anak. Ketika kedua anaknya dalam pemeriksaan di kepolisian menyatakan tidak ingin tinggal bersama bapaknya, apakah unsur dengan sengaja ini terpenuhi?

Kedua, “menarik seseorang yang belum cukup umur/mencabut kekuasaan.” Di sini unsur “menarik”, berkaitan dengan cara menempatkan anak tersebut dalam kekuasaanya. Cara itu bisa saja dilakukan dengan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan. Jika diperhatikan dengan seksama, unsur “menarik” itu berkaitan dengan apabila anak berada dalam kekuasaan orang yang sah (orang tua atau wali), kemudian diambil oleh orang yang tidak berhak/ tidak memiliki kekuasaan atas anak tersebut, serta dilakukan dengan cara melawan hukum.

Baca Juga: Cerita Korban Perkosaan dan KDRT yang Terancam Pidana

Harus dipahami pula bahwa unsur “menarik” berarti perbuatan tersebut bersifat aktif, entah melalui cara apa dan harus dilakukan oleh pelaku (dader) itu sendiri. Perbuatan itu harus dilakukan dengan cara/secara melawan hak atau merupakan perbuatan melawan hukum.

Menurut ahli hukum pidana Prof Dr. Pujiyono, SH. M.Hum dari Universitas Diponegoro, pada saat kami konsultasi, beliau menyampaikan bahwa mencabut kekuasaan/penjagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 330 KUHP tidak selalu serta merta harus perbuatan aktif dan dilakukan dengan cara  tipu muslihat, kekerasan, dan ancaman kekerasan atau perbuatan lainnya. Tapi juga dapat dimaknai bahwa perbuatan yang menghalangi seseorang untuk tidak dapat menikmati hak asuh yang telah ditetapkan oleh pengadilan merupakan unsur menarik seseorang yang belum cukup umur/mencabut kekuasaan.

Namun menurut Prof Dr. Pujiyono, SH. M.Hum salah satu syarat penerapan Pasal 330 dan Pasal 328 KUHP harus sudah dilakukan eksekusi terlebih dahulu. Yang dimaksud eksekusi di sini adalah eksekusi secara materill. Artinya secara de facto harus sudah terjadi penyerahan anak. Lalu, apakah upaya mantan suami yang telah mengajukan permohonan eksekusi kepada pengadilan tidak bisa dikatakan eksekusi telah terjadi? Menurut beliau upaya permohonan eksekusi kepada pengadilan tidak sama dengan eksekusi. Eksekusi yang dimaksud di sini adalah penyerahan anak. 

Dalam kasus N, kedua anaknya ikut dengan N sebelum N mengajukan gugatan perceraian kepada pengadilan. Jadi sejak awal kedua anak sudah dalam pengasuhan N. Maka unsur menarik tidak terpenuhi. Termasuk unsur menghalangi seseorang untuk menikmati hak-haknya untuk mengasuh. Namun perbuatan N yang tidak menaati putusan pengadilan merupakan melawan hukum yang harus dilakukan upaya secara keperdataan bukan perbuatan pidana.

Baca Juga: Diskriminasi Hukum terhadap Perempuan Korban KDRT

Terlebih jika dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Seperti yang sudah dijelaskan di atas maka penggunaan Pasal 330 dan 328 KUHP untuk mengkriminalkan orang tua merupakan upaya kriminalisasi terhadap orang tua. Yang tidak kalah penting dalam penanganan kasus sengketa hak asuh anak adalah penerapan asas dan prinsip perlindungan anak menjadi kebutuhan mendesak untuk melihat kasus yang berujung pada laporan pidana.

Merujuk pada asas hukum pidana, penggunaan Pasal 330 Jo 328 KUHP yang diterapkan oleh kepolisian dalam menerima kasus mantan suami N juga tidak tepat karena dalam kasus sengketa anak berkaitan dengan anak-anak itu sendiri. Seharusnya Kepolisian menggunakan UU Perlindungan Anak sebagai UU lex spesialis. Namun dalam praktik, seringkali penggunaan asas hukum ini digunakan secara bersama-sama.

Penggunaan asas Lex specialis derogat legi generali  versus Lex Spesialis dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik norma yang terjadi. Asas ini penting bagi penegak hukum untuk menerapkan aturan yang paling tepat dalam penyelesaian konflik antara sesama peraturan perundang-undangan.[]

 

Direktur LRC-KJHAM periode 2016, sekretaris Seknas FPL, advokat, sekretaris LBH Advokasi Maritim Nusantara “AMAN” Pati Jawa Tengah

 

 

 

 

Digiqole ad