Diskriminasi Hukum terhadap Perempuan Korban KDRT

 Diskriminasi Hukum terhadap Perempuan Korban KDRT

Ilustrasi (Sumber: Jcomp/Pixabay.com)

 

Oleh: Ermelina Singereta

 

Pada tahun 2019, saya menangani kasus seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ia mengalami kekerasan psikis dan penelantaran dalam rumah tangga.

Awalnya bukan saya dan teman saya yang menangani kasus ini. Kami menangani kasus ini saat sudah berada di pengadilan dan hal itu sangat menyesalkan bagi kami. Kami mencoba berkoordinasi dengan kepolisian terkait dengan laporan yang pernah dilakukannya.

Klien kami yang melaporkan pertama kali ke kepolisian.  Tapi entah kenapa suaminya melaporkan kembali dengan UU yang sama yaitu UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan laporan suaminya diproses dengan cepat dengan penggunaan Pasal 44 yaitu kekerasan fisik.

Lawyer dan klien seharusnya terbuka dan harus terbuka, karena lawyer yang akan menyiapkan strategi perangnya di ruang peradilan.

Ceritanya adalah bahwa suami melaporkan karena istri melemparkan ember ke suaminya sehingga mengenai kepala suaminya dan karena itu suaminya mengalami luka di kepala. Dan ini semua ada latar belakangya, karena suami tidak bekerja, hanya menghabiskan uang istri, di mana istrinya menduduki posisi sebagai salah satu direktur di salah satu perusahaan.

Kami membuatkan strategi  melakukan pembelaan bahwa terdakwa adalah korban. Hal itu pun kami tanyakan dalam menggali kesaksian para saksi (a de charge) yang hadir di pengadilan.

 

Pemeriksaan di Pengadilan

Tibalah keterangan terdakwa. Saat itu saya pun bertanya, “ibu berada di mana saat terjadi pertengkaran?”

“Di lantai dua, bu,”

Ohhh okay.

“Seperti apa model lantai dua rumah ibu?”

“Jadi suami saya berada di lantai bawah dan sedang duduk di ruang makan, kebetulan kami berantem dan saya menjawab dia dari atas, lantai dua.”

“Berantemnya karena apa?”

“Ya karena dia tidak bekerja, hutang saya bayar sendiri terus, semua kebutuhan rumah tangga mulai dari A sampe Z saya semua, bayar rumah per bulan dengan belasan juta saya juga. Dikasih modal tidak digunakan dengan baik.”

“Ibu tanya dia gunakan apa saja itu modal yang dikasih sama ibu?”

“Ditanya, dia malah banyak ngomel,” jawabnya.

“Ibu punya hak untuk bertanya, karena itu uang yang ibu dapat dari pekerjaan ibu.”

“Dia selalu mengajak berantem kalau ditanya soal uang, bu,” jawab terdakwa.

Lanjut…

“Pada saat mulai bertengkar, ibu di lantai atas atau di bawah?”

“Pas saya di atas, jadi karena saya ngomel di atas dan dia nyahut dari bawah. Pada saat itu kebetulan saya lagi mau menaruh barang di ember pakaian kotor.”

Okayy terus ibu bawakan kemana itu ember pakaian kotor?”

“Saya pegang bu dan saya sambil menjawab dia dari atas.”

“Ibu, seperti apa kondisi lantai duanya ibu? Apakah ada tralisnya?”

“Iya..ada tralisnya bu.”

Ohhhh, ibu taruh embernya di mana? Di samping atau di atas tralis?”

Iya, jawabnya. “Saya berdiri dan memegang ember di tralis.”

“Okey, apakah saat ibu memegang ember dari atas, dua-duanya masih berantem?”

“Iya bu, dia jawab saya dari bawah dan saya jawab juga dari atas. Pokoknya situasi lagi tidak baik banget pada saat itu. Ada PRT kok di ruang tivi saat kami berantem. Terus saling tunjuk-tunjukan, bu.”

“Okey dan ibu masih pegang itu ember saat saling tunjuk-tunjukan itu?”

“Iya bu. Terus nggak tahu kenapa ember jatuh kena kepalanya di bawah, aneh juga kenapa sampai kena di kepalanya.”

“Jadi ibu tidak mengangkat ember dan melemparkan ke kepalanya? Atau mengangkat ember dan menjatuhkan ke kepalanya?” Saya bertanya sambil memperagakan.

Ngga bu, semua terjadi secara tidak jelas begitu.”

“Saat itu masih berantem-berantem ya, bu?”

“Iya pokoknya suara gede dan saat itu saya emosi, karena responnya dia yang menurutku laki-laki tidak tahu terimakasih dan tidak tahu berterimakasih.”

“Kuulangi lagi ya bu, ibu dan bapak saling tunjuk-tunjukan ya?”

“Iya bu.”

“Dan saat itu ibu pegang ember?”

“Iya bu, kadang saya gantian pegang embernya, bu.”

Okay, jadi ibu tidak mengangkat ember dan melemparkan ember ke arah korban?”

“Tidak bu, tidak seperti itu.”

“Tidak ada niat ibu untuk melemparkan ember ke bawah ya?”

Ngga bu. Saya kaget juga kenapa ember jatuh, karena saat itu saya pegang. Sebelum ember itu jatuh kan kami tunjuk-tunjukan itu bu, dan saya kaget ember jatuh.”

Saya menghadap ke majelis hakim. “Cukup Majelis. Perlu kami sampaikan bahwa tidak ada niat sedikitpun dari saudara terdakwa untuk melakukan kekerasan kepada korban, itu tidak dilakukan dengan TIDAK SENGAJA, TIDAK ADA NIAT.”

“Saya lanjut ya bu. Dan itu dilaporkan ke kepolisian oleh suami. Setelah ember jatuh, apa yang dilakukan sama suami?”

“Dia masih pergi-pergi waktu itu, saya malah mengantarnya ke bandara saat dia keluar kota untuk urusan dengan teman-temannya.”

Diskriminasi Hukum

Intinya adalah bahwa pada kasus di atas, tidak ada niat dari terdakwa untuk melempar ember ke arah korban. Pada kasus-kasus pidana, hakim tidak melihat bahwa terdakwa seorang korban atau apapun. Hakim hanya melihatnya sebagai seorang terdakwa yang dihadirkan di pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

Biasanya sih pasti ada pertimbangan hal yang meringankan dan memberatkan. Tapi saya tidak pernah mendengar ada termasuk dalam hal yang meringankan mengenai pertimbangan bahwa dia adalah seorang perempuan korban KDRT atau apapun. Paling pertimbangan hal yang meringankan adalah terdakwa berkelakuan baik dalam proses persidangan, tidak pernah dihukum, dan memiliki anak-anak yang masih kecil.

Kasus seperti ini dan kasus serupa di mana perempuan korban KDRT dilaporkan balik oleh suami sebagai pelaku KDRT seringkali menunjukkan hukum yang tidak berpihak kepada perempuan. Kasus-kasus seperti ini pula yang mungkin semakin menghalangi perempuan untuk menghadapi perlakuan laki-laki terhadapnya melalui proses hukum.

Selain itu, masih terdapat pandangan aparat penegak hukum khususnya di kepolisian yang tidak mempertimbangkan fakta bahwa perempuan tersebut adalah korban KDRT. Padahal, adanya suatu tindakan yang dilakukan perempuan sebagai bentuk perlawanan dan pembelaan diri atas perlakuan yang selama ini ia alami. Hal itu menunjukkan bahwa istri tidak menerima segala perlakuan suaminya yang tidak bertanggungjawab sama sekali itu.

Sementara itu, seharusnya ada proses perdamaian yang dilakukan di kepolisian saat menerima pelaporan dari suami yang mengaku korban KDRT. Dalam kasus yang saya dampingi, pada saat penyusunan Berita Acara Pemeriksaan, istri sudah menyampaikan kepada kepolisian bahwa laporannya sebagai korban KDRT juga sedang berproses di kepolisian A. Demikian pula pada saat dia menanyakan perkembangan perkaranya di kepolisian A, dia juga menyampaikan situasi hukum yang dialaminya di kepolisian B.

Di sini patut disayangkan bahwa masih terdapat pihak kepolisian yang belum menginternalisasikan perspektif korban. Hal ini terlihat dengan ketiadaan kelanjutan dari kepolisian A dalam memproses kasus yang ia laporkan. Situasi ini sekali lagi menunjukkan sistem hukum di Indonesia yang masih diskriminatif terhadap perempuan korban. []

 

Penulis adalah seorang Advokat

 

*Tulisan ini dituliskan pertama kali oleh penulis di laman akun media sosialnya (18/11/2021), dan diterbitkan oleh JalaStoria atas seijin penulis dengan sejumlah tambahan informasi dari penulis.

Digiqole ad