Peduli pada Kasus KDRT, Hati-Hati Saat Menentukan Pelaku dan Korban

 Peduli pada Kasus KDRT, Hati-Hati Saat Menentukan Pelaku dan Korban

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Beberapa waktu yang lalu, publik dikejutkan dengan adanya kasus yang “diduga” kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Narasi maupun informasi yang beredar di media pers maupun media sosial memunculkan beragam spekulasi.

Pada akhirnya salah satu pihak kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Bagi JalaStoria kesemuanya merupakan kompleksitas yang harus dilihat secara cermat, proporsional, dan adil.

Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus dicermati secara hati-hati dan komprehensif. Harus ada komitmen serius dan keberanian untuk melihat dan mengekplorasi lebih dalam terhadap peristiwa-persitiwa yang menyertainya.

Optik, perspektif dan analisis gender harus digunakan untuk membongkar secara tuntas bagaimana relasi kuasa (power relation) dan posisi dari para pihak (pasangan). Melalui dua variabel tersebut maka kontekstualisasi kasus bisa dianalisis secara lebih jelas tidak saja pada saat kejadian (factum) atau pascakejadian (post factum), namun juga lebih penting sebelum kejadian (pre factum).

Hal ini akan sangat membantu proses pengungkapan kasus guna menemukan kebenaran materiil yang diharapkan.

 

Baca Juga: Mengenal Jenis-Jenis Kekerasan yang Dialami Perempuan dalam UU PKDRT

 

Ketimpangan Relasi Kuasa dan Kekerasan

Variabel penting dalam analisis gender adalah relasi kuasa yang akan sangat membantu dalam menjelaskan peran-peran dominan di satu sisi dan sub dominan di sisi lain. Sudah jamak diketahui, dipahami bahkan diyakini dalam kultur masyarakat seorang perempuan yang juga seorang istri dan ibu memiliki kuasa yang lebih terbatas dibanding laki-laki.

Artinya dalam relasi personal suami istri ketimpangan atas relasi kuasa (power inbalance) itu terjadi dan berdampak. Sebagai sosok yang memiliki keterbatasan kuasa, perempuan cenderung tidak memiliki banyak alternatif maupun pilihan-pilihan menentukan tindakan atau mengambil keputusan berkaitan dengan rumah tangganya bahkan dirinya.

Berbeda dengan laki-laki yang sejak dilahirkan sudah dikonstruksikan sebagai pemegang previlege dan kuasa yang lebih besar, akan memiliki lebih banyak pilihan bahkan dapat menentukan apa yang dapat dipilih oleh istri dan anak-anaknya. Pemegang kuasa dalam keluarga itu sangat berisiko menyalahgunakan kuasanya untuk bebas melakukan apa saja termasuk kekerasan.

 

Baca Juga: Mengenal Tindakan Femisida, Ini Arti dan Jumlah Korbannya di Indonesia

 

Posisi Rentan Menjadi Korban

Variabel kedua dalam optik gender untuk memahami kasus ini terkait dengan posisi (position) perempuan/istri dalam rumah tangga. Relasi intim dalam rumah tangga yang secara kultural dan faktual terbangun berdasarkan relasi kuasa yang timpang, berdampak pada posisi yang tidak setara.

Kesetaraan ini merupakan suatu konsep sekaligus nilai yang menekankan pada keadilan. Secara konteks hal tersebut akan tergambar pada kedudukan, fungsi dan relasi antara para pihak (suami-istri) dalam rumah tangga tersebut. Semakin setara maka akan ada kedudukan yang seimbang, fungsi-fungsi yang proporsional, serta relasi yang menggambarkan kesalingan.

Namun sebaliknya semakin posisi itu tidak setara, maka pola kedudukannya menjadi sub-ordinatif, fungsinya hanya formal pelengkap, dan relasinya adalah struktural (atasan bawahan). Ketidaksetaraan posisi akan berdampak pada kerentanan bagi subyek sub ordinat, pelengkap, dan struktur bawah. Posisi semacam ini sangat mungkin dialami oleh pihak yang memiliki keterbatasan (umumnya perempuan/ istri).

Posisi rentan ini perlu untuk dilihat secara cermat sebagai aspek kausalitas atas dugaan kasus KDRT yang terjadi. Dalam berbagai situasi justru subyek yang berada pada posisi rentan kerap menjadi korban (victim) atas dikriminasi dan kekerasan berulang. Itu sebabnya variabel “posisi” dalam optik gender ini dapat digunakan sebagai kerangka analisis pemeriksaan yang lebih komprehensif dan berkeadilan.

 

Berdasarkan uraian dan analisis singkat sebagaimana di atas maka dengan ini Jalastoria meyatakan hal-hal sebagai berikut:

  1. Prihatin atas kasus yang terjadi sekaligus menjadi momentum untuk membangkitkan kesadaran kolektif untuk mencegah KDRT
  2. Menghormati proses hukum yang sedang dijalankan dan mendorong adanya proses hukum secara komprehensif, progresif, humanis, dan berkeadilan
  3. Mendukung terhadap pihak-pihak yang melakukan pendampingan dan pemulihan
  4. Menghimbau kepada semua pihak untuk menahan diri dan berhati-hati dalam memberikan pernyataan yang menghakimi berdasarkan prinsip praduga tak bersalah (persumtion of innocent).

 

Pandangan JalaStoria terhadap kasus KDRT juga tertuang di beberapa media online. Berikut link dan berita tentang JalaStoria yang memberi perhatian pada kasus KDRT di media:

Digiqole ad