Bertahan Pasca Perceraian

 Bertahan Pasca Perceraian

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Saya pernah melakukan penelitian terkait penerapan konsep sistem peradilan pidana terpadu penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP) di Kalimantan Tengah. Penelitian dengan menggunakan instrument Monitoring dan Evaluasi (Monev) SPPT-PKKTP dari Komnas Perempuan itu pada akhirnya membuat saya mengalami perjumpaan dengan sejumlah perempuan penyintas Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Walaupun penelitian tersebut sudah selesai, saya sempat mencari kembali para penyintas tersebut. Saya ingin melihat bagaimana kehidupan mereka setelah perceraian dan selesainya proses pendampingan atau terminasi dari lembaga penyedia layanan.

Sedih melihatnya! Ternyata pasca perceraian, mereka memasuki penderitaan jenis lain: ekonomi dan psiko-sosial.

Menjadi janda adalah satu persoalan baru. Dan menjadi orang tua tunggal adalah persoalan lainnya.

Pasca terminasi, mungkin para penyintas ini tidak terlihat sebagai pihak yang membutuhkan pendampingan lagi, padahal mereka umumnya sangat butuh penguatan ekonomi. Namun di sisi lain, sekalipun diberikan modal usaha, mereka tidak serta merta dapat mengelolanya dengan baik karena masih menyimpan masalah psikologis berat. Rata-rata mereka masih labil untuk dapat tegak menempuh kehidupan barunya.  Ketika diberikan modal usaha, resiko kegagalan lebih besar dari keberhasilan.

Saya sendiri sudah berusaha untuk mencarikan mereka pekerjaan. Namun, rasanya saya masih belum dapat menolong mereka. Sangat jarang pemberi kerja yang mau memahami bahwa mereka ini masih dalam keadaan sangat labil. Walaupun sudah dijelaskan, jarang ada yang mau mempekerjakan mereka.

Paling banter, mereka betah bekerja selama tiga bulan. Setelah itu, mereka menganggur lagi. Bahkan, ada yang kemudian mencoba bertahan dengan menikah kembali, tapi kemudian bercerai lagi.

Para perempuan ini sedang berjuang keras untuk bertahan hidup, mulai cara rasional sampai irasional. Di sini saya berusaha maklum, namun kadang-kadang masyarakat tidak demikian.

Bagi perempuan, mempunyai pekerjaan sebelum memasuki perkawinan akan sangat menolong jika terpaksa harus mengalami perceraian.

Namun bagi perempuan yang tidak bekerja dan kemudian meminta bercerai, pada akhirnya saya memilih untuk tidak terlalu mudah berkata cerai. Kecuali kalau KDRT nya parah banget, tentu tidak ada toleransi.[]

 

Evi Nurleni

Dosen Universitas Palangkaraya, Konselor, dan Teolog yang berhimpun dalam Perhimpunan Perempuan Berpendidikan Teologi (PERUATI) Kalimantan Tengah

 

Digiqole ad