Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 3 dari 3 Tulisan)  

 Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 3 dari 3 Tulisan)   

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Dian Puspitasari, SH

Kasus N, Kasus KDRT yang Berlanjut

Sikap mantan suami yang ingin terus melanjutkan proses hukum mau tidak mau perlu ditelusuri ke belakang, mencari akar permasalahan yang saat ini dihadapi oleh N.

Ini merupakan kasus KDRT (psikis, penelantaran, dan fisik). Kekerasan yang dialami N beberapa kali dilihat oleh anak pertama berinisial K (10). K sering melihat Ibunya keluar kamar dengan mata sembab. K seolah dapat merasakan apa yang dialami ibunya. Setiap ibunya masuk kamar bersama ayahnya, K akan berusaha mencari tahu apa yang terjadi dengan ibunya. K akan mengelilingi kamar yang dimasuki ibunya dan mencari tahu apa yang terjadi. K juga sempat melihat bapaknya menampar ibunya saat akan turun dari mobil menuju pusat perbelanjaan. Selain itu, N harus berjuang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Tindakan kekerasan inilah yang mendorong N memilih mengajukan gugatan perceraian di pengadilan negeri untuk mengakhiri kekerasan yang dialaminya. Gugatan perceraian ini bukanlah yang pertama kali diajukan N. Sebelumnya tahun 2017, N pernah mengajukan gugatan perceraian, namun dicabut karena suaminya berjanji akan berubah. Suaminya kemudian menutup lingkaran pertemanan N. Orang tua N tidak mendukung hingga suaminya kemudian mengancam keluarga N.

Sebelum mengajukan gugatan, N menyampaikan akan pergi dari rumah karena tidak tahan dengan sikap suami. Kedua anaknya ikut bersamanya. Setelah itu N mengajukan gugatan cerai. Selama proses persidangan, suami N tidak pernah menanyakan kabar dua anaknya.

Keluar dari rumah itu, N pulang ke rumah orang tuanya selama 2 minggu. Setelahnya N pergi dengan kedua anaknya keluar kota. Ini dilakukan N karena tidak ingin merepotkan orang tuanya, terlebih ayahnya baru meninggal. Selain itu N juga tidak ingin teman-teman yang selama ini mendukungnya menjauh karena adanya intervensi dari mantan suami. Pada saat mengajukan gugatan cerai ke PN tahun 2018, N mengganti nomor handphone dan membangun security system bagi dirinya dan kedua anaknya.

Baca Juga: Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 2 dari 3 Tulisan)

Kasus KDRT yang tidak terungkap menjadi ruang lanjutan bagi pelaku KDRT untuk terus melakukan penguasaan dan kontrol melalui anak-anaknya. Hal ini dikarenakan selama KDRT berlangsung tidak ada intervensi terhadap pelaku.

UU PKDRT selain mengatur tentang sanksi, juga fokus pada pemulihan korban kekerasan. Namun hanya ada satu pasal yakni Pasal 49 yang mengatur tentang pemberian sanksi tambahan bagi pelaku KDRT berupa pemberian konseling sebagai upaya perbaikan perilaku pelaku KDRT. Di sisi lain, tidak semua korban KDRT memutuskan untuk bercerai dari pelaku.

Sejak lahirnya UU PKDRT tahun 2004 belum ada satu pun putusan pengadilan yang memberikan pidana tambahan konseling kepada pelaku KDRT. LRC-KJHAM Semarang pun berinisiatif membangun sistem hukum berkeadilan gender. Terdapat beberapa hambatan untuk menjatuhkan pidana tambahan “konseling” kepada pelaku di antaranya adalah tidak adanya pedoman/petunjuk teknis bagi institusi di sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan) dalam menjalankan pidana tambahan konseling tersebut.

Selain itu, LRC-KJHAM bersama dengan Komnas Perempuan tahun 2014 mulai menginisiasi sistem peradilan pidana terpadu untuk penanganan korban kekerasan di Jawa Tengah. Melalui Peraturan Gubernur Nomor 78 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan terhadap Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Provinsi JawaTengah.

Dalam bab persidangan dan pelaksanaan, serta pengawasan putusan, Pergub tersebut menyebutkan mekanisme pelaksanaan tambahan pidana konseling. Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :

  1. Apabila majelis hakim memutuskan pidana tambahan konseling bagi pelaku KDRT, maka Jaksa Penuntut Umum dapat berkoordinasi dengan lembaga tertentu (PPT/Lembaga Penyedia Layanan) untuk melaksanakan putusan pidana tambahan tersebut.
  2. Pelaksanaan konseling bagi pelaku KDRT dilakukan saat terpidana menjalani pidananya. Konseling dilakukan oleh lembaga tertentu (PPT/Lembaga penyedia layanan) berkoordinasi dengan lapas atau rutan.

Meksipun mekanisme pelaksanaan pidana tambahan konseling tersebut sudah tersedia terutama di Provinsi Jawa Tengah, namun sampai saat ini belum ada majelis hakim di Jawa Tengah, termasuk di Indonesia, yang memutuskan pidana tambahan konseling kepada terpidana KDRT.

Baca Juga: Jerat Pasal Penculikan bagi Perempuan Korban KDRT dan Upaya Kriminalisasi (Bagian 1 dari 3 Tulisan)

Sebagai sanksi pidana tambahan, konseling bagi terpidana ini memiliki kelemahan. Dalam hal konseling, misalnya, bagi terpidana, ini adalah pidana tambahan. Artinya pemberian pidananya masih mengacu pada pidana pokoknya yakni penjara. Ini membuat ketentuan tersebut sulit diimplementasikan. Padahal dari pengalaman kasus KDRT ada empat bentuk pidana KDRT yakni kekerasan fisik, psikis, seksual dan penelantaran. Selain kekerasan fisik, kekerasan psikis dan penelantaran juga dominan. Padahal untuk dua bentuk kekerasan tersebut, yang diinginkan korban bukanlah pemenjaraan namun lebih sebagai upaya paksa untuk pertanggungjawaban yang wujudnya adalah kesadaran.

Namun setidaknya Pergub di Jawa Tengah sebagai langkah progesif yang diamblil oleh pemerintah daerah untuk mengisi ruang kosong bagi institusi di sistem peradilan pidana yang memutuskan pidana tambahan bagi terpidana KDRT.

 Putusan Pengadilan yang Bias Gender

Putusan kasus N ini berkekuatan hukum tetap (inkracht) pada tahun 2020. Selama 2 (dua) tahun N dan anak-anaknya memang tidak bertemu dengan mantan suami/bapak. Namun tidak adanya pertemuan antara bapak dan anak-anak tersebut bukanlah keinginan N melainkan karena kedua anak-anak tidak mau ikut dengan bapaknya. Sementara N masih harus menyelesaikan trauma masa lalu. N membutuhkan waktu untuk dapat membangun komunikasi dengan mantan suaminya.

Tindakan N dapat dipahami sebagai bagian dari proses pemulihan bagi dirinya yang selama ini mengalami tekanan psikis. Selain itu jika melihat pertimbangan putusan di tingkat banding dan kasasi, sangat jelas bahwa putusan tersebut sangat diskriminatif dan bias gender. Dalam putusannya, N, sebagai ibu, dianggap pernah menelantarkan anaknya dan menyerahkan pengasuhan anaknya kepada pekerja rumah tangga (PRT). Pada saat anak sakit, N tidak merawatnya sendiri. Selain itu jatuhnya hak asuh kedua anak tersebut didasari pada asumsi bahwa N berselingkuh.

Pertimbangan putusan tersebut memperlihatkan bahwa tanggung jawab pengasuhan dan perawatan hanya dibebankan kepada perempuan dalam hal ini sebagai ibu. Sementara majelis hakim tidak melihat bahwa N adalah korban penelantaran rumah tangga. N yang salama ini mengambil tanggungjawab, yang seharusnya oleh hukum dibebankan menjadi tanggungjawab suaminya. Namun majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkannya.

Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

Selain itu, jika melihat keterangan saksi-saksi dugaan perselingkuhan yang dilakukan oleh N hanyalah asumsi. Perselingkuhan justru dilakukan oleh mantan suaminya. Putusan majelis hakim yang bias gender dan mendiskreditkan perempuan tidak selaras dengan komitmen Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menangani perkara yang melibatkan perempuan.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Penanganan Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, Pasal 14 jelas mengatur bahwa hakim dalam menangani perkara perempuan diimbau mempertimbangkan kesetaraan gender dan non-diskriminasi. Mengidentifikasi fakta persidangan dengan relasi kuasa yang  mengakibatkan  korban/saksi tidak berdaya, riwayat kekerasan pelaku terhadap korban saksi.

Meskipun Perma sudah berlaku sejak 2017, namun terbukti bahwa Perma belum terinternalisasi dengan baik, bahkan di kalangan majelis hakim di lingkup Mahkamah Agung. Hal ini terlihat pada pertimbangan kasus dalam memutuskan hak asuh kepada bapaknya/mantan suami hanya karena kuatnya stigma terhadap perempuan.

Oleh karena itu keberadaan pokja perempuan dan anak di Mahkamah Agung perlu mengevaluasi pelaksanaan Perma. Sebagai tolok ukur dalam memberikan jaminan pemenuhan hak yang dimulai dari internal Mahkamah Agung berikut hakim di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung Republik Indonesia. []

 

Direktur LRC-KJHAM periode 2016, sekretaris Seknas FPL, advokat, sekretaris LBH Advokasi Maritim Nusantara “AMAN” Pati Jawa Tengah

 

 

 

Digiqole ad