Perempuan dan Anomali Pernikahan
Oleh: Regina Anastasia
Perempuan selalu dianggap tidak cukup kuat untuk memegang kendali atas identitasnya sendiri.
Nia, seorang kawan dekat saya, berkarier sebagai manajer di perusahaan farmasi multinasional. Ia membiayai hidupnya sendiri dan kedua orang tuanya. Meski begitu, menjadi mandiri secara finansial tidak pernah dianggap sebagai ukuran keberhasilan jika ia belum menikah.
Perempuan ini malah terus didesak sang ibu untuk segera menemukan calon suaminya. Nia bukannya tidak pernah mencoba, begitu ceritanya kepada saya. Tetapi ia belum menemukan sosok lelaki yang dianggapnya setara.
Dan desakan yang bertubi-tubi dari sang ibu lambat laun membawanya pada depresi ringan.
Sungguh ironi memang.
Keluarga yang seharusnya bisa memberikan penguatan malah membuat hidup Nia seolah menjadi kurang sempurna sebagai seorang perempuan jika identitasnya tidak direpresentasikan oleh seorang lelaki.
Dalam tuturannya kepada saya, keluarganya-lah yang membuat ia berpikir, lelaki manapun boleh menikahinya asal ia dinikahi dan merasa lega.
Ini yang kemudian saya tangkap sebagai gejala yang bisa membuatnya dinikahi oleh lelaki manapun, kendatipun tidak layak untuk dijadikan suami. Termasuk, misalnya, dengan lelaki yang oportunis, yang cuma memandang Nia sebagai jalan keluar untuk mendapatkan perlindungan finansial.
Cas d’Anomalie Mental
Kondisi itu membuat saya berpikir: tidak ingin menikah dan belum menikah adalah dua hal yang dianggap mencemaskan, bahkan cenderung berbahaya dan dianggap sebagai cas d’anomalie mentale oleh masyarakat kita.
Sebuah kondisi yang tidak biasa, abnormal, dan mengganggu serta menimbulkan banyak pertanyaan. Pertanyaan yang tentu saja datang dari orang-orang di sekitar kita, terutama orang tua dan kerabat keluarga plus sekelompok teman.
Bagi sistem sosial budaya kita, keluarga batih adalah kodrat juga indikator martabat seorang perempuan yang hanya bisa dipenuhi melalui institusi pernikahan. Dengan begitu, masyarakat kita, secara terbuka, tidak menawarkan kebebasan sosial bagi seorang perempuan untuk berstatus lajang hingga tua nanti.
Jika seorang lelaki belum menikah hingga usia tertentu, ia akan menjadi figur yang positif karena dianggap mandiri dan kuat dari segi intelektual. Namun sebaliknya, bagi seorang perempuan akan dianggap sebagai figur yang putus asa, perlu dikasihani dan sering kemudian menjadi objek kekerasan seksual.
Perempuan selalu dianggap tidak cukup kuat untuk memegang kendali atas identitasnya sendiri, bahwa ia dapat menghidupi dirinya sendiri, orang tuanya, bahkan menjadi seseorang dengan jabatan pemimpin di kantornya.
Kondisinya yang belum atau tidak ingin menikah membuatnya juga rentan diperlakukan seolah ia bebas diperlakukan seperti apapun sesuai dengan definisi seksual yang ada di dalam kepala lelaki patriarkal.
Misalnya, seorang perempuan yang terlihat pergi sendirian tanpa cincin kawin adalah seseorang yang seolah wajar untuk digoda (hal yang sama juga berlaku bagi perempuan yang menjadi orang tua tunggal). Entah, dihubungi tengah malam lewat telepon, atau lewat media sosialnya.
Ketika kemudian ditegur bahwa sang perempuan telah bersuami, jawaban para lelaki ini sudah pasti sama: “Oh saya pikir belum nikah lho, mbak,” “kalau tahu sudah bersuami mana mungkin tengah malam saya menghubungi mbak.”
Sosok Anomali
Jawaban seragam ini sebenarnya menggambarkan posisi perempuan secara sosial budaya sebagai sosok yang anomali jika ia belum menikah atau tidak ingin menikah.
Anomali tersebut seolah mengundang banyak hal, seperti pelecehan seksual secara verbal, fisik, dan secara perlakuan juga membuat perempuan tersebut begitu rapuh dalam status hierarki sosial.
Di saat yang sama seolah ia memerlukan seorang lelaki untuk melindunginya, namun ia juga harus bungkam ketika lelaki tersebut hanya mengambil keuntungan dari tubuhnya secara seksual.
Maka tak heran, klasifikasi kategori perempuan baik-baik hanya jatuh kepada mereka yang sudah menikah, tunduk kepada suami dan telah menjadi ibu (telah menikah tapi belum memiliki anak pun merupakan kesalahan di mata masyarakat kita).
Pernikahan Tolok Ukur Kebahagiaan?
Apakah pernikahan merupakan solusi untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik atau masuk ke dalam kategori sebagai tolak ukur kebahagiaan dan simbol status sosial? Sebenar-benarnya, setidaknya menurut saya pribadi, tentu saja tidak.
Di saat perempuan belum menginginkan sebuah pernikahan, dengan alasan belum siap secara psikologis, secara finansial, atau secara peran dalam keluarga batih, seharusnya keputusan itu diterima sebagai hal yang manusiawi.
Apakah kita semua harus siap sedia untuk menikah? Tentu tidak. Jika dipaksakan, maka yang terjadi berikutnya adalah keluarga batih yang disfungsional karena relasi yang timpang.
Lalu masihkah ilusi ide tentang pernikahan dan keluarga batih merupakan puncak piramida standar kebahagiaan? Bagi masyarakat kita, sudah pasti. Tetapi bagi sebagian perempuan lajang, tidak.
Dan untuk memilih, diperlukan konsekuensi yang besar. Namun saya yakin konsekuensi itu akan setara dengan kebahagiaan yang kita impikan selama ini. Yaitu menjadi manusia seutuhnya, bukan lagi sebagai boneka Barbie. Selamat memilih, kawan-kawanku.[]
Pelukis yang senang menghabiskan waktunya untuk mengajar anak-anak, menulis, dan memotret kehidupan perempuan
*Artikel ini ada penggalan dari narasi panjang yang dibuat penulis untuk jalastoria.id. Penggalan lain akan disajikan dalam artikel terpisah. Lihat di : Perempuan dan Anomali Pernikahan (2)