Perempuan dan Anomali Pernikahan (2)

 Perempuan dan Anomali Pernikahan (2)

Oleh: Regina Anastasia

 

Saya memiliki pengalaman mengajar sebagai guru di beberapa sekolah bertaraf internasional dan juga di kelas menengah atas. Di sana saya melihat betapa situasi disfungsionalnya keluarga batih dalam perkawinan itu banyak terjadi.

Contohnya, para perempuan yang memutuskan menikah di usia di mana mereka telah siap untuk menjadi seorang ibu hampir selalu memiliki anak-anak yang berprestasi di kelas. Para ibu ini terlihat menikmati kerja samanya dalam mengasuh anak bersama suaminya, alih-alih mengasuh anak seorang diri. Bekal makan anak-anak ini bahkan terlihat lebih bernutrisi, yaitu buah bermacam warna, kue buatan rumahan, atau menu nasi lengkap dengan sayur dan lauk pauk. Sementara para ibu yang menikah di usia begitu muda membekali anaknya dengan permen, coklat juga sebungkus kecil biskuit.

Lanjutannya tentu dapat ditebak, anak-anak dari kategori pertama lebih jarang sakit dan kategori terakhir bisa mengalami flu sepanjang minggu selama sebulan. Bukan hanya nutrisi, anak-anak dari kategori pertama pun lebih mudah belajar di dalam kelas dibandingkan dari kategori terakhir yang disebut oleh kolega mengajar saya (tidak untuk diteladani caranya menyebut mereka) sebagai anak-anak nakal, sulit diatur dan mudah mengamuk dalam kelas.

Perkawinan tanpa Kesiapan

Apakah usia merupakan penentu seseorang siap atau tidak saat menjadi ibu? Tentu tidak. Namun dalam rentang usia perempuan menurut budaya timur, usia di bawah dua puluh lima tahun adalah usia di mana dia dituntut untuk menjadi seorang ibu. Situasi inilah yang membuat para perempuan terpaksa menikah untuk memenuhi tuntutan orang tua, status sosial, dan tradisi.

Rentang usia yang dipercaya dalam dogma sosial menghantarkan para perempuan untuk menikah. Namun, bukan karena ia ingin menikah, melainkan karena semata-mata dia telah dilamar lelaki, dipasangkan oleh keluarganya, atau dibuat terpojok seolah dia tidak diterima sebagai seseorang yang normal jika dia tidak menikah.

Apa yang terjadi berikutnya pada para perempuan muda ini? Mereka menikah tanpa persiapan. Mereka menikah dengan learning by doing, sekaligus di saat yang sama mereka pun dipaksa menanggalkan cita-citanya, impiannya, dan karirnya dalam bekerja. Para ibu muda ini -menurut murid-murid saya yang bercerita di kelas di kategori terakhir di atas- adalah figur ibu yang enggan bicara pada anak-anaknya, lebih sibuk dengan kehidupan sosialitanya, dan rata-rata dari mereka enggan untuk berusaha memahami anak-anaknya.

Bayangkan begini, ketika kita dipaksa menjadi pengantin karena kehendak di luar sang pengantin sendiri, tentu dia biasanya akan mendapatkan pasangan yang menganggap segalanya akan diurus oleh sang perempuan. Istilahnya tentu adalah seorang lelaki yang meminta perempuan memposisikan diri untuk tunduk di bawahnya. Seorang suami yang melihat perempuan sebagai propertinya adalah mereka yang enggan untuk duduk bersama membicarakan menu makan sang anak, atau bagaimana mereka mencari solusi yang tepat bagi anak untuk tumbuh kembangnya ketika mengalami masalah di sekolahnya.

Posisi relasi yang timpang inilah yang membuat para ibu muda kelelahan dan mengalami depresi, yang kemudian ditumpahkan kepada anak-anak mereka. Anak semakin traumatik, semakin sulit untuk belajar hal baru, kehilangan fokus di kelas, dan sulit diajak berkomunikasi oleh para gurunya sebab mereka sendiri dibiasakan di rumah tidak memiliki komunikasi verbal yang intens dengan ayah dan ibunya.

Dampak pada Anak

Sebegitu besarkah dampak patriarki terhadap tumbuh kembang seorang murid? Di mata kami sebagai gurunya, tentu saja iya. Kami para guru diserahkan tugas penuh untuk memperbaiki segala masalah yang timbul pada anak karena orang tua mereka angkat tangan dan kehilangan akal untuk menyelesaikannya sendiri. Kami tentu saja mencoba berbagai cara yang sudah pasti berusaha melibatkan para orang tua mereka dalam menyelesaikan masalah yang timbul pada anak.

Namun biasanya yang terjadi malah kekerasan domestik terhadap anak oleh para orang tua mereka. Ketika para orang tua tersebut tidak memiliki referensi wawasan yang cukup untuk mengelola konflik, tidak ada komunikasi dan diskusi yang setara antara suami dan istri, yang dipilih sebagai solusi tentu adalah kekerasan dan intimidasi atas nama kedisiplinan.

Dengan demikian, tak dapat dipungkiri banyak masalah yang timbul ketika perempuan dipaksa untuk menikah. Namun, apakah ada perubahan dalam pandangan masyarakat? Tidak.

Lalu masihkah ilusi ide tentang pernikahan menjadi standar kebahagiaan? Saya rasa bahkan bagi para ibu muda tersebut juga tidak. Namun untuk mempertanyakannya saja mereka tidak memiliki dukungan.

Masih banyak perempuan yang tidak memiliki akses untuk mempelajari sudut pandang lain tentang ketimpangan relasi dalam institusi pernikahan, yang terjatuh dalam posisi disudutkan oleh keluarganya, teman-temannya dan oleh lingkungan tempat mereka bekerja dan tinggal tanpa bisa berargumen balik.

Bagaimana dengan perempuan feminis? Sama saja. Ketika mereka mampu berargumen pun mereka tetap dihakimi jika memilih untuk tidak menikah, dianggap menyalahi kodrat, dan menjadi anomali. Memosisikan orang tua mereka gagal menjadi kakek nenek bukanlah citra yang ideal bagi keluarga kita yang telah terinternalisasi nilai-nilainya oleh budaya patriarki.

Maka jangan heran, sebagian dari para perempuan yang telah menikah kemudian memilih untuk mempertanyakan mengapa ada kebebasan sosial bagi perempuan lain untuk tidak menikah? Karena sejarah menulis bahwa kita dibesarkan oleh nilai-nilai dimana lelaki adalah tokoh yang utama. Perempuan tidak diperkenankan memilih jalan hidup dan menjalaninya dengan menjadi identitas yang tunggal, yang mandiri, serta yang mampu mendefinisikan pribadinya sendiri tanpa peran seorang lelaki. Nilai perseptual inilah yang kita adopsi setiap hari, di rumah, di televisi, di majalah kecantikan, bahkan di sekolah dan juga dalam institusi agama.

Cermin ketidakbahagiaan

Kecemasan kita terhadap para perempuan lajang yang memilih untuk tidak menikah dan belum menikah adalah gambaran bahwa masyarakat kita gelisah dengan ketidakbahagiaannya sendiri dalam pernikahan yang tidak setara. Kita seolah rewel ketika melihat mereka dengan bebas memilih mengejar cita-citanya sementara kita terjebak dalam peran seorang istri, tidak ada identitas lain selain sebagai pasangan hidup seorang lelaki.

Kita termangu ketika para perempuan itu menjadi pimpinan perusahaan, penari, penulis, aktivis, pengacara, dan sederet cita-cita lain yang telah lama kita tinggalkan demi menjadi seorang istri. Di sinilah konflik rasional dimulai. Kita kemudian menjadi rajin bertanya kapan seorang perempuan akan menikah. Ketika menghadiri undangan pernikahan kita mencari-cari target siapa saja yang masih lajang untuk dijadikan lingkaran bidik ketidakbahagiaan kita. Di hari raya keagamaan, saat kumpul keluarga kita bersikeras bahwa para perempuan lajang ini bahwa mereka wajib menjadi pengantin. Di reuni-reuni sekolah atau kampus, oh tentu saja yang terjadi adalah sama saja.

Nampaknya kita perlu memeriksa diri lagi, apa saja variabel masalah yang telah dilahirkan oleh budaya dimana lelaki adalah tokoh utamanya?

Apakah kita sebagai seorang istri, yang dituntut untuk terus terlihat muda, tanpa kerut, tanpa lemak di tubuhnya, dengan rambut lebat tergerai, kulit putih bercahaya dan di saat yang sama hanya boleh meraih cita-cita seijin suaminya, telah benar-benar bahagia sebagai seorang pribadi?

Apakah benar kita diperlakukan selayaknya manusia, yang secara biologis dapat menua, dapat berubah bentuk tubuhnya, dapat gelisah dan frustrasi ketika kelelahan secara fisik dan psikologisnya?

Jika jawabannya mengarah kepada tuntutan-tuntutan tidak adil yang ditujukan hanya kepada para istri tetapi tidak kepada para suami, tidakkah sebaiknya kita mulai duduk bersama pasangan untuk membicarakan masalah-masalah di atas?

Alih-alih melontarkan amarah kita kepada para perempuan yang telah bahagia dapat memilih jalan hidupnya sendiri, yang mandiri secara finansial serta mengembangkan potensinya secara optimal tanpa merasa harus bersalah kepada anak dan suami, kita perlu meyakinkan diri bahwa pasangan kita wajib mengetahui sumber frustrasi para istri yang sesungguhnya.

Jawaban pasangan kita berikutnya adalah titik utama dimana kita bisa memilih untuk mengubah hidup atau tetap terjebak dalam lingkaran yang sama yang terus membuat kita gelisah ketika perempuan lajang bahagia menjalani hidupnya tanpa harus menikah.[]

Pelukis yang senang menghabiskan waktunya untuk mengajar anak-anak, menulis, dan memotret kehidupan perempuan

===

*Artikel ini adalah bagian kedua dari tulisan yang sebelumnya: Perempuan dan Anomali Pernikahan

Digiqole ad