Tidak Mudah untuk Tetap Pulih
Awal Januari 2020. Tiba-tiba semua media memberitakan si pemerkosa ratusan pria di Inggris. Netizen juga tidak absen ikut menshare berita pelaku asal Indonesia itu.
Jujur saja, sebagai penyintas kekerasan seksual, jiwa dan tubuh saya merasa sangat sakit setiap kali berita tentang pelaku itu melintas di media sosial yang saya buka.
Saya sepakat bahwa menyebarkan berita apapun, termasuk soal si pelaku itu, adalah hak setiap orang. Namun, alangkah baiknya apabila mereka juga bersedia memahami kerentanan korban kekerasan seksual seperti saya.
Setiap kali berita itu melintas, ia mentrigger trauma lama saya. Akibatnya, kesehatan fisik dan mental saya pun terganggu, karena saya tahu sekali rasanya dihinakan danĀ dirampas diri saya sebagai manusia.
Ini sama sekali tidak terkait dengan orientasi seksual pelaku. Namun, saya merasakan torehan luka terutama ketika pelaku dimaklumi menjadi predator seksual akibat mengalami kekerasan seksual saat masih kecil. Sungguh, hal itu sama sekali mengabaikan kondisi korban yang sesungguhnya dari si predator.
Sepuluh tahun lalu, saya mengalami puncak trauma akibat kekerasan seksual. Saya nyaris bunuh diri. Saya akhirnya diselamatkan. Dan hingga hari ini, saya dapat kembali menjalani hidup hanya berbekal semangat, bahwa kehidupan harus dilanjutkan.
Untuk menjadi benar-benar pulih, saya membutuhkan lebih dari tiga tahun berjuang. Saya tidak sendirian, ada sahabat-sahabat saya yang mengulurkan bantuan. Tapi saya tahu, jiwa saya tidak pernah utuh seratus persen lagi seperti sebelum terjadinya peristiwa itu. Apalagi ketika wajah pelaku dalam kasus itu banyak berseliweran, tidak mudah bagi saya untuk tetap mempertahankan kondisi pulih itu.
Semoga media semakin bijak dalam memberitakan setiap kasus kekerasan seksual. Demikian pula netizen, menjadi selektif dalam menyebarkan berita terkait kekerasan seksual, termasuk dengan me-hide postingan itu dari para penyintas.
Riana
Penyintas
(Nama dan identitas ada pada redaksi)