Jangan Pernah Lupakan Mei 1998

 Jangan Pernah Lupakan Mei 1998

Prasasti Mei 98, TPU Pondok Rangon (Kaskus.co.id)

Oleh: Siti Aminah Tardi

“Sekitar Jam 11.30, saya melihat beberapa orang di antara massa mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik 2 orang gadis keluar dari mobil. Mereka mulai melucuti pakaian 2 perempuan itu dan memperkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia” (Saksi mata, Muara Angke, 14 Mei 1998”dalam Lampiran Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa  Kerusuhan Mei 1998, Komnas Perempuan, 2006)

Tahun ini tepat 22 tahun kerusuhan Mei 98, yang menjadi pendorong keruntuhan rejim orde baru. Peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi sebelumnya, seperti penculikan, penembakan mahasiswa di Trisakti, dan kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia.

Berdasarkan laporan akhir dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang dipublikasikan melalui Serial Dokumen Kunci Komnas Perempuan, menemukan beberapa variasi jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka akibat kerusuhan tersebut. Di wilayah Jakarta, data dari Tim Relewan menunjukkan sebanyak 1.190 orang meninggal dunia akibat terbakar atau dibakar, 27 orang  meninggal akibat senjata dan lainnya, dan 91 orang luka-luka. Sementara berdasarkan data Kepolisian Daerah (Polda) ditemukan 451 orang meninggal, dan korban luka-luka tidak tercatat. Selanjutnya berdasarkan data Komando Daerah (Kodam) ditemukan 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, dan 69 orang luka-luka. Kemudian berdasarkan data Pemerintah Daerah DKI Jakarta ditemukan 288 orang meninggal dunia, dan 101 orang luka-luka.

Selain itu selama kerusuhan Mei 1998 terjadi kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang berhasil diverifikasi yaitu perkosaan (52 orang), perkosaan dengan penganiayaan (14 orang), penyerangan/penganiayaan seksual (10 orang), pelecehan seksual (9 orang).  Dengan demikian, terverifikasi 85 korban kekerasan seksual, yang bersumber dari korban langsung, dokter, keterangan dari orang tua korban, perawat, psikiater, psikolog, dan kesaksian rohaniawan/pendamping (konselor). Jumlah ini diyakini bukanlah jumlah keseluruhan korban, melainkan jumlah korban sejauh yang berhasil diverifikasi, mengingat korban langsung dievakuasi, memilih diam atau pergi meninggalkan Indonesia.

Kekerasan seksual terjadi di dalam rumah, di jalan, dan di depan tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah/bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Korban adalah penduduk Indonesia yang kebanyakan berasal dari etnis Tionghoa dan bersifat lintas kelas sosial.

Sayangnya, selama 22 tahun kasus kekerasan seksual ini tidak diselesaikan bahkan peristiwa perkosaan disangkal kebenarannya. Tulisan ini mengajak sobat Jalastoria.id untuk mengenali kekerasan seksual di peristiwa pelanggaran HAM berat dan bagaimana penyelesaiannya.

Kekerasan Seksual pada Mei 1998 sebagai Kekerasan Sistematis dan Meluas

Runtuhnya rejim orde baru yang otoriter, berganti ke rejim demokrasi membawa perubahan dalam sistem ketatanegaraan, termasuk perubahan konstitusi. Amandemen UUD 1945 memuat Bab tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Demikian halnya dengan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Berdasarkan mandat UU HAM selanjutnya lahir UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Melalui UU Pengadilan HAM, maka penyelesaian kasus HAM berat dilakukan di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan itu ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil. Tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan adalah penyiksaan, termasuk penyiksaan seksual, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.

Lantas, apa kaitan UU Pengadilan HAM ini dengan peristiwa Mei 1998, khususnya kekerasan seksual? Dengan diundangkannya UU ini, memberikan kesempatan untuk membuka kembali kasus pelanggaran HAM berat yang penah terjadi di Indonesia sebelum tahun 2000, termasuk perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.

Untuk dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, maka dalam hal ini kekerasan seksual yang terjadi haruslah memenuhi tiga unsur yakni: (i) merupakan bagian dari serangan yang ditujukan langsung secara terhadap penduduk sipil, (ii) sistematis yaitu kejahatan merupakan pelaksanaan dari kebijakan Pemerintah atau Negara, dengan pola pengendalian atas anak buahnya dilakukan oleh Komandan Operasi Pelaksana sesuai rantai komando, (iii) meluas yang dapat dibuktikan dengan jumlah korban yang cukup massif dan dilakukan secara berulang-ulang  serta dilakukan dalam skala besar, kolektif dan berakibat serius, baik serius jumlah korbannya maupun serius akibat yang ditimbulkan.

Hasil investigasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan, yang menjadi lampiran dalam publikasi seri dokumen kunci Komnas Perempuan (2006) menemukan bahwa kerusuhan dan perkosaan massal terjadi secara sistematis dan meluas. Hal ini dilihat dari pola kerusuhan dan perkosaan yang terjadi di wilayah Jakarta. Tim Relawan untuk Kemanusiaan, menemukan pola umum kerusuhan terjadi dalam beberapa tahapan, yaitu: (1) tahap persiapan yang meliputi aktivitas memancing reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu, tong sampah, serta barang bekas), membuat perkelahian antar kelompok/pelajar, meneriakkan yel-yel tertentu untuk memanasi massa/menimbulkan rasa kebencian seperti: “mahasiswa pengecut”, “polisi anjing”; (2) tahap perusakan seperti melempar botol, batu, mendobrak pintu toko-toko/rumah, memecahkan kaca, membongkar sarana umum dengan alat-alat yang sudah dipersiapkan; (3) tahap penjarahan yaitu dengan mengambil seluruh benda-benda dalam gedung yang telah dirusak; (4) tahap pembakaran yang merupakan puncak kerusuhan yang paling banyak memberikan kontribusi kerugian yang paling besar serta memakan banyak korban.

Perkosaan, penyiksaan seksual, dan pelecehan seksual massal itu terjadi di beberapa kawasan peristiwa kerusuhan yang melibatkan pengrusakan, pembakaran, penganiayaan, dan kematian massal. Perkosaan massal hanya terjadi di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan beberapa kawasan lain yang selama ini dikenal sebagai konsentrasi tempat tinggal dan tempat kerja warga Tionghoa. Sedangkan pelaku umumnya dikenali bukan sebagai penduduk setempat. Dalam beberapa peristiwa kerusuhan, ditemukan adanya peran ‘komandan’, yang naik motor atau mobil. Sang komandan ini ditemukan dalam peristiwa perusakan, penjarahan, dan pembakaran berantai di wilayah yang berdekatan, seperti yang terjadi di Depok, Tanah Abang, dan Tangerang. Dengan demikian, hasil investigasi ini menjadi petunjuk bahwa kerusuhan dan perkosaan massal terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif.

Namun, mengapa sejak UU Pengadilan HAM disahkan, kerusuhan Mei 98 tidak juga disidangkan? Untuk sampai ke Pengadilan HAM Ad Hoc, peristiwa kerusuhan dan kekerasan seksual pada Mei 1998 harus diselidiki terlebih dahulu oleh Komnas HAM, yang selanjutnya diserahkan ke Jaksa untuk dilakukan penyidikan dan penuntutan di Pengadilan HAM Ad Hoc, pengadilan yang dibuat khusus, hanya untuk kasus tertentu. Untuk pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc harus atas usul DPR RI dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, permasalahan di sini bukan semata persoalan penegakan hukum, namun juga masalah politik kekuasaan di mana kepentingan politiklah yang diutamakan ketimbang keadilan para korban.

Hal ini nampak dari pernyataan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo, pada Februari 2017 (Tempo.co, 1 Februari 2017) sempat mengatakan bahwa untuk menyelesaikan kasus 1998 secara non yudisial atau tanpa melalui proses peradilan. Alasannya, pencarian fakta, bukti, dan saksi atas kasus tersebut sangat sulit dilakukan. Pernyataan tersebut menunjukkan keenganan untuk mengungkap kebenaran pelanggaran HAM beratnya, seperti mengungkap siapa dalang kerusuhan tersebut, alasan di balik terjadinya kerusuhan tersebut, serta bagaimana gambaran utuh peristiwanya.

Selain kentalnya kepentingan politik di balik pengungkapan kebenaran pelanggaran HAM berat pada kerusuhan Mei 1998, terjadi penyangkalan terhadap kekerasan seksual yang terjadi.  Yang kemudian untuk generasi paska 1998, peristiwa ini menjadi tidak dikenali dan tidak dapat menjadi proses pembelajaran dalam kehidupan berbangsa.

Lantas apa yang dapat kita lakukan di tengah kondisi tersebut? Selain tetap terus menuntut pengadilan HAM Ad Hoc untuk Kerusuhan Mei 98, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah terus mengingat peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan menceritakannya kepada anak-anak kita, bahwa kebebasan yang mereka dapatkan saat ini lahir dari ribuan nyawa perempuan dan penghinaan atas tubuhnya. Kita dan mereka akan terus berhutang kepada para perempuan korban Mei 1998.[]

Sumber Bacaan: Seri Dokumen Kunci, Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Komnas Perempuan, Jakarta, Cetakan ketiga pada bulan Agustus 2006

 

Penulis adalah seorang feminis, saat ini menjadi Komisioner Komnas Perempuan 2020-2024.

Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili lembaga

 

Digiqole ad