Jauh sebelum RA Kartini, Perempuan Jawa telah Mengambil Peranan Penting!
Oleh: Riri Khariroh
Betul bahwa gagasan emansipasi dan sejarah feminisme ketika zaman kolonial dipelopori oleh RA. Kartini (1879 – 1904). Namun kalau kita menelisik lebih jauh pada era prakolonial Jawa, banyak perempuan mengambil peran penting dalam berbagai urusan, baik politik dan ekonomi, maupun budaya dan agama di masyarakat.
Peter Carey dan Vincent Houben dalam buku “Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX”, memaparkan bahwa sejarah perempuan Jawa tidak hanya menjadi konco wingking. Berdasarkan naskah-naskah nusantara yang mereka teliti, mereka menemukan bahwa perempuan Jawa juga ikut berperan di bidang yang dianggap merupakan ranah laki-laki, yaitu politik, militer, perniagaan, dan lain-lain.
Di Kraton Surakarta pada masa Pakubuwono V (1820-1823), ada Korps Srikandi Surakarta. Ini adalah pasukan perempuan yang bersenjata lengkap, pasukan pengawal yang mengagumkan, dan jago berkuda. Mereka juga disebut sebagai prajurit estri yang bergabung dengan Pangeran Diponegoro di medan perang Jawa dalam pakaian lengkap prajuritan.
Para perempuan dari kalangan bangsawan seperti Raden Ayu Yudokusumo dari Yogya dan Nyai Ageng Serang juga gigih melawan Belanda baik angkat senjata maupun menyusun taktik perlawanan.
Di bidang ekonomi, para perempuan dari lingkungan istana banyak yang menjadi pengusaha dan ahli dalam berbagai urusan dagang. Salah satunya adalah Ratu Kencono Wulan yang pandai berdagang dan mencari keuntungan dalam proyek, sehingga kraton melimpah dengan emas, perak, dan berlian. Sayangnya, kekayaan itu dijarah oleh pasukan Inggris dari kraton Yogya pada tahun 1812.
Awal abad ke 19, perempuan Jawa memiliki hak adat yang kuat atas warisan. Dalam perkawinan, istri juga berhak melakukan bisnis dan perjanjian hukum atas namanya sendiri. Dia juga berhak secara penuh atas properti yang diperoleh atau dibeli selama perkawinan sebagai harta bersama (gono-gini). Hal-hal ini menunjukkan bahwa perempuan bangsawan atau putri raja Jawa bukanlah budak belian suami sebagaimana yang sering kita lihat dalam cerita-cerita kerajaan Jawa.
Perempuan tampaknya juga aktif di bidang sastra, sebagai pengumpul dan penyalin teks yang berkaitan dengan Islam Jawa. Contohnya adalah Ratu Pakubuwono dan penulis perempuan Raden Ayu Danukusumo.
Peran perempuan tercatat sebagai penegak nilai-nilai luhur dan nilai-nilai tradisional Jawa yang merupakan benteng dari pengaruh nilai-nilai Eropa waktu itu. Pangeran Diponegoro sendiri dirawat oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng, untuk membentuk karakter dan pengetahuannya sebagai ksatria Jawa.
Gambaran kolonial bahwa perempuan Jawa sebagai sosok Raden Ayu yang lemah, hanya boneka laki-laki yang tersenyum simpul dan meniadakan diri sendiri, terlihat elok namun kepalanya kosong, tidak lain adalah pengaruh orientalisme, sebuah khayalan tentang dunia timur sebagai surga hiburan sensual, kesuburan, dan gairah seks yang tak pernah pudar.
Mengapa dalam surat-surat RA Kartini, kondisi perempuan Jawa tergambar begitu terpuruk dan terkungkung oleh feodalisme Jawa? Mengapa kondisinya berbeda dengan kondisi perempuan sebelum perang Jawa? Saya kira ini adalah tantangan kita, khususnya aktivis dan peneliti gerakan perempuan untuk mengkaji lebih jauh tentang sejarah perempuan Indonesia dari abad 18 hingga zaman modern.
SELAMAT HARI KARTINI……”Mari, wahai perempuan, gadis-gadis muda, bangkitlah, mari bergandengan tangan dan bekerja bersama untuk mengubah keadaan yang tak tertahankan ini.” (23 Agustus, 1900)[]
Penulis adalah Komisioner Komnas Perempuan Periode 2015-2019, saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Konsultasi untuk Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (LKP3A) PP Fatayat NU