Mitos vs Fakta Pelaku Kekerasan Seksual

 Mitos vs Fakta Pelaku Kekerasan Seksual

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Oleh: Nur Hasyim

Cesare Lambroso, kriminolog Italia, mengidentifikasi tanda-tanda fisik pelaku kejahatan di antaranya,  tengkoraknya panjang, rambutnya lebat, tulang pelipisnya menonjol ke luar, dahinya mencong (History Extra, 2019). Media juga ikut andil menciptakan sosok penjahat. Peran-peran antagonis dalam film, sinema elektronik, film animasi digambarkan bertampang seram bertato, kumis tebal, jenggotan dan pemabok.

Citra penjahat yang bersemayam dalam pikiran membuat seseorang seringkali memiliki prasangka negatif terhadap orang lain yang secara fisik menyerupai gambaran kriminolog maupun media tentang penjahat. Sebaliknya orang seringkali kaget dan terkejut ketika menemukan pelaku kejahatan yang secara penampilan fisik tidak memiliki kemiripan sema sekali dengan gambaran tentang pelaku kejahatan. Tidak hanya terkaan yang meleset, kadang cenderung tidak percaya apalagi jika penjahat itu adalah orang yang sangat dekat, berjasa, dan berpengaruh. Sikap  tidak percaya itu ditunjukkan dengan penyangkalan dan menganggap tuduhan kejahatan sebagai fitnah.

Demikian halnya dalam kasus kekerasan seksual, bayangan orang tentang pelaku kekerasan seksual tak jauh-jauh dari gambaran Lambroso. Seringkali orang membayangkan pelaku kekerasan seksual itu orang asing atau tidak dikenal korban, memiliki ciri-ciri tampang kriminal,  secara sosial tidak baik (asosial), tidak berpendidikan, memiliki gangguan mental, dan tidak memahami agama dengan baik. Gambaran-gambaran ini yang memunculkan mitos-mitos atau keyakinan umum yang dianggap benar terkait dengan pelaku kekerasan seksusl.

Kepercayaan atas mitos-mitos ini memengaruhi sikap orang terhadap setiap peristiwa kekerasan seksual. Mitos-mitos yang bertemu dengan cara pandang yang seksis atau pandangan yang meninggikan jenis kelamin tertentu dan merendahkan jenis kelamin lainnya seringkali memberikan keuntungan kepada pelaku kekerasan seksual dari kelompok dominan dan merugikan korban dari kelompok tertindas.

Dalam masyarakat yang patriarkhis dan misoginis ketika terjadi kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak memiliki kemiripan dengan mitos-mitos pelaku kekerasan seksual kerapkali pelaku diuntungkan dan sebaliknya perempuan yang menjadi korban dirugikan. Lebih-lebih ketika pelaku kekerasan seksual memiliki reputasi baik, terpelajar, memiliki otoritas keagamaan. Maka perempuan cenderung disalahkan dituduh sebagai biang kerok, ada motif tidak baik, bikin sensasi, panjat sosial, dan kepentingan negatif lainnya.

Oleh sebab itu, mengklarifikasi mitos-mitos pelaku kekerasan seksual menjadi penting agar  publik tidak mudah salah terka dan kena tipu daya pelaku kekerasan seksual serta tidak mudah menyalahkan dan menyudutkan korban semata-mata karena pelaku kekerasan seksual tidak memiliki ciri-ciri yang dipercaya sebagai ciri pelaku kekerasan seksual.

Berikut adalah mitos-mitos dan fakta tentang pelaku kekerasan seksual.

 

  1. Mitos : Pelaku kekerasan Seksual adalah orang asing

Fakta : Pelaku kekerasan seksual seringkali dikenal korban dengan baik

Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2019 bahwa pelaku kekerasan seksual itu sebagian besar dikenal oleh korban. Berdasarkan data kekerasan seksual di ranah publik, Komnas mencatat terdapat 2,521 kasus, 878 di antaranya dilakukan oleh tetangga dan 506 lainnya oleh teman (Komnas Perempuan, 2019). Fakta ini menggugurkan mitos atau keyakinan umum yang dianggap benar bahwa pelaku kekerasan seksual itu adalah orang asing. Data bahwa pelaku kekerasan seksual dikenal baik oleh korban akan semakin kuat jika merujuk pada kekerasan seksual yang terjadi di ranah domestik atau privat yang semua pelaku dikenal baik oleh korban.

 

  1. Mitos : Pelaku kekerasan seksual berpendidikan rendah

Fakta : Pelaku kekerasan seksual memiliki latar belakang pendidikan yang beragam

Tahun 2019 lalu, Tirto.id melakukan investigasi kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan Tinggi. Dari investigasi ini, Tirto.id mengumpulkan 174 kesaksian penyintas dari 70 kampus di Indonesia. Dari 174 kasus tersebut pelakunya terdiri dari dosen, mahasiswa, staf, pastor, warga di lokasi KKN, hingga dokter di klinik kampus (Tirto.id, 2019). Dengan merujuk latar belakang pendidikan pelaku kekerasan seksual terungkap bahwa tidak benar bahwa pelaku kekerasan seksual adalah mereka yang berpendidikan rendah. Mitos ini semakin gugur ketika merujuk beberapa kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh pengajar di beberapa penguruan tinggi ternama yang menunjukkan bahwa pelaku adalah jebolan perguruan tinggi luar negeri dan dikenal sangat ahli atau expert di bidang yang digeluti.

 

  1. Mitos : Pelaku kekerasan seksual memiliki tampang kriminal

Fakta : Pelaku kekerasan seksual tidak dapat dikenali dari tampangnya, ada pelaku dengan tampang yang keren.

Beberapa pelaku kekerasan seksual memiliki profesi yang mulia seperti guru, dosen, tokoh agama. Seperti profesi pelaku, lokasi kasus kekerasan seksual terjadi di tempat-tempat yang mulia seperti perguruan tinggi, pesantren, sekolah, tempat ibadah. Para pelaku tersebut tidak memiliki karakteristik wajah yang spesifik. Bahkan di beberapa kasus pelaku kekerasan seksual bertampang keren. Karena tampangnya pelaku kekerasan seksual menjadi idola dan memiliki banyak penggemar (Line Today, 2020). Fakta ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak ditentukan oleh bentuk wajah pelaku. Fakta ini menggugurkan mitos bahwa pelaku kekerasan seksual bertampang kriminal.

 

  1. Mitos : Pelaku kekerasan seksual memiliki masalah mental dan asosial

Fakta : Sebagian besar pelaku kekerasan seksual tidak memiliki masalah mental dan memiliki hubungan sosial yang baik, bahkan ada pelaku kekerasan seksual yang dikenal ramah, santun, simpatik, dan menyenangkan.

Meskipun ada pelaku kekerasan seksual yang memiliki masalah mental namun sebagian besar pelaku kekerasan seksual tidak menunjukkan gejala gangguan mental. Secara sosial banyak pelaku kekerasan seksual yang dikenal aktif di berbagai lembaga, mudah bergaul, memiliki jaringan yang kuat, simpatik, santun dan menyenangkan (Utami, 2017). Fakta ini membantah bahwa pelaku kekeraan seksual itu selalu memiliki gangguan mental dan tidak memiliki hubungan sosial yang baik.

 

  1. Mitos : Pelaku kekerasan seksual tidak memiliki pemahaman agama

Fakta : Ada pelaku kekerasan seksual yang memiliki pemahaman agama yang baik bahkan  mereka adalah pemuka atau pemimpin agama.

Belum lama ini di Jombang dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual yang pelakunya dikenal sebagai anak pengasuh pondok pesantren besar. Fakta lain menunjukkan seorang pendeta melakukan kekerasan terhadap jamaahnya di Surabaya. Kabar serupa sudah teramat sering kita baca misalnya kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru ngaji, guru agama terhadap murid-muridnya. Pengetahuan agama seringkali dimanipulasi oleh pelaku kekerasan seksual sebagai tameng untuk bersembunyi.

Jika pelaku kekerasan seksual tidak ditentukan dengan penampilan fisik dan beberapa faktor yang sudah dijelaskan, lalu apa yang menjadi faktor yang memengaruhi seseorang melakukan kekerasan seksual? Faktor universal yang ditemukan pada semua pelaku kekerasan seksual adalah pandangan yang meletakkan pelaku (laki-laki) memiliki status dan kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan korban (perempuan).

Studi menunjukkan bahwa laki-laki yang memiliki pandangan kaku tentang peran gender dan meyakini norma maskulinitas yang memandang laki-laki dominan atas perempuan (patriakhis) dan memiliki pandangan yang seksis berpotensi lebih besar menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya adalah kekerasan seksual (Flood, 2011).  Hal lain yang ditemukan dalam berbagai kasus kekerasan seksual adalah adanya keyakinan pelaku bahwa mereka memiliki hak atas layanan seksual (sexual entitlement) dari perempuan ada atau tidak ada persetujuan dari perempuan. Sebagaimana ditemukan dalam survey yang dilakukan oleh Partner for Prevention bahwa salah satu faktor resiko seseorang melakukan kekerasan seksual adalah adanya keyakinan tentang sexual entitlement tersebut (Fulu, A., Warner, X., Miedema, S., Jewkes, R., Roselli, T. & Lang, J., 2013).

Lalu mengapa mereka yang bependidikan tinggi, santun secara sosial, fasih berbicara agama tidak menjamin terhindar dari perilaku kekerasan seksual? Jawabannya adalah karena seksisme, patriarkhisme dapat bercokol dalam ilmu pengetahuan apapun, dalam tata krama sosial manapun, dan dalam pemahaman agama apapun.[]

 

Referensi

Flood, M. (2011). Involving Men in Efforts to End Violence against Women. Men and Masculinities, 14(3), 358-377.

Fulu, A., Warner, X., Miedema, S., Jewkes, R., Roselli, T. & Lang, J. (2013). Why Do Some Men Use Violence Against Women and How Can We Prevent it? Quantitative Findings from the United Nations Multi-country Study on Men and Violence in Asia and the Pacific. Bangkok: UNDP, UNFPA, UNWomen and UNV.

History Extra. (2019). The ‘born criminal’? Lombroso and the origins of modern criminology.

Komnas Perempuan. (2019). Catatan Tahunan 2019 : Korban Bersuara, Data Bicara, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara . Jakarta: Komnas Perempuan.

Line Today. (2020). Pesona dan Modus Mesum Alumnus UII yang Diduga Lecehkan 30 Perempuan. https://today.line.me/id/pc/article/Pesona+dan+Modus+Mesum+Alumnus+UII+yang+Diduga+Lecehkan+30+Perempuan-gYjyoX

Tirto.Id. (2019). Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota. https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-kota-dmTW

Utami, W. (2017, Oktober 10). Darurat Kejahatan Seksual di Kampus. Tirto.id. https://tirto.id/darurat-kejahatan-seksual-di-kampus-cx7z

 

 

Penulis adalah Co-founder Aliansi Laki-Laki Baru dan Staf Pengajar FISIP UIN Walisongo Semarang

 

 

 

 

 

Digiqole ad