Marsinah, Standpoint Perempuan dan Sedapnya Bawang Merah yang Belum Sempat Dinikmati

 Marsinah, Standpoint Perempuan dan Sedapnya Bawang Merah yang Belum Sempat Dinikmati

Jalan menuju makam Marsinah di Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur (Jatim.inews.id)

Oleh Zaenal Ekoputro

 

Belum terang secukupnya kapan mulainya komoditas sayuran bawang merah (brambang) menjadi komoditas pertanian andalan bagi masyarakat Sukomoro. Namun, diperkirakan hampir setara dengan mulai diperkenalkannya bawang merah di kampung kelahiran saya, kira-kira akhir tahun 1980an, yang berjarak sekitar 15 kilometer dari Kecamatan Sukomoro. Perbedaan yang mencolok adalah, di kampung halaman saya hanya menyisakan kepahitan bagi beberapa petani yang memberanikan diri bereksperimen bertanam bawang merah. Sebaliknya di Kecamatan Sukomoro, dan beberapa kecamatan sekitarnya, komoditas bawang merah ini membuahkan sukses besar.

Saat itu belum ada pasar sentra bawang merah. Cakupannya masih kecil. Bawang merah belum mampu menyaingi padi, tebu dan palawija. Tidak jauh dari daerah ini berdiri pabrik gula, bukti fisik peninggalan tanam paksa kolonial Belanda. Sebut misalnya Pabrik Gula (PG) Meritjan, PG Pesantren, dan PG Ngadirejo, yang ketiganya di Kediri. Kemudian di Jombang ada beberapa pabrik seperti PG Cukir dan Djombang Baru. Di Nganjuk sendiri ada, PG Lestari, namun posisinya di wilayah Kertosono, yang lebih dekat dengan Jombang. Belanda pun mungkin tidak terlalu tertarik membangun PG di wilayah Nganjuk bagian Barat ini. Di samping dataran rendahnya terbatas, kebanyakan perbukitan kering dan alas jati yang menyulitkan untuk diberdayakan. Selain itu, Belanda lebih memilih Madiun, sebelah Barat Nganjuk, untuk pembangunan beberapa PG.

Namun dataran rendah itu sanggup menjadikan Nganjuk sebagai sentra tanaman padi dan palawija. Adalah Harmoko, orang dari desa di Nganjuk yang menjulang menjadi jurnalis ibu kota dan ahli propaganda, dan Soeharto yang sukses membungkus tampilan bangsa sebagai lumbung padi Asia Tenggara yang tak mau kalah dengan Filipina. Keberhasilan padi di Filipina itu dibawa ke Indonesia dengan pendirian pusat pembelajaran padi dan pertanian pada umumnya, yaitu dengan didirikannya Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sejauh ingatan masa kecil, langsung maupun tidak langsung atas peran kedua orang tersebut, beberapa kali di wilayah Nganjuk menjadi ajang dilangsungkannya Klompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca dan Pemirsa), semacam cerdas cermat bidang pertanian yang tayang di TVRI. Desain otoritas wilayah saat itu seperti memplot kawasan ini sebagai kawasan agrikultur, yang dalam kenyataannya sangat lambat mendorong mobilitas vertikal masyarakat dan kawasan. Pertanian tak bisa berkelit dan lepas dari dunia wong cilik yang padat kerja tapi tipis biaya.

Sebagaimana pembagian kerja di sektor pertanian pada umumnya, dominasi laki-laki tak terelakkan. Tatkala serapan teknologi masih terbatas, maka unsur kekuatan fisik menguasai. Logis jika sang empunya kekuatan fisik, laki-laki tampil lebih dominan, walaupun pada acara tanam padi misalnya, tenaga perempuan tidak bisa dinafikan. Marsinah, nama yang selalu dikenang mengiringi peringatan hari buruh dan wafat mengenaskan 8 Mei 1993, terlahir dalam situasi tidak jauh dari tampilan dominasi dan inferioritas wong cilik seperti ini. Desa tidak bisa menjanjikan penghuninya untuk meraih mimpi. Satu-satunya harapan adalah mengejar hidup di dunia industri yang menjanjikan masa depan. Sayangnya desa tidak menyediakan industri itu.

Industri gula pun sudah setengah jenuh dan tidak lagi mampu menyerap tenaga muda seperti Marsinah. Satu-satunya tempat pelarian adalah Kawasan Industri Rungkut, yang didesain merupakan lokasi manufaktur besar di Surabaya. Sekitar 200 kilometer jarak yang harus ditempuh Marsinah untuk memulai mewujudkan mimpinya itu. Industri  dan fabrikasi sektor manufaktur mulai menjadi primadona kala itu disertai jargon link and match antara dunia pendidikan dan industri. Kebijakan fordisme dengan mengandalkan industrialisasi kebutuhan pasar global -bukan mekanisasi dan modernisasi pertanian desa- yang dikenalkan Orde Baru membuat Marsinah dan banyak angkatan kerja muda dari desa berbondong-bondong ke kota.

Standar kalayakan para pekerja manufaktur alias buruh pabrik pun menjadi isu yang serius karena pembuat kebijakan sendiri masih tergagap dengan melonjaknya industrialisasi global modern. Diiringi datangnya investasi asing, potensi kerawanan relasi antara buruh dan majikan, tak lain soal kesejahteraan, semakin benderang. Marsinah dan teman-temannya tampil sendiri menghadapi pihak majikan yang dianggap merugikan buruh. Marsinah dan pengorbanannya menjadi tonggak penting bagi tata kelola hubungan industrial selanjutnya yang menghadapkan buruh dan pemerintah. Kasus Marsinah memberi pelajaran berharga. Pemerintah dan aparatnya kemudian hadir secara definitif menjadi mediator dalam hubungan industrial itu. Win-win solution-lah jadinya, meski dalam kenyataannya mungkin belum sama sekali memuaskan kalangan buruh.

Dipandang dari sisi kajian gender, aktivitas Marsinah dalam memperjuangkan hak para buruh bisa juga dipandang sebagai menifestasi dari apa yang disebut, meminjam istilahnya Sandra Harding yang dikutip Dorothy E. Smith, 2005, women standpoint. Pengalaman perempuan, yang termarginalkan, seharusnya diperhatikan dalam konstruksi pemahaman di ranah sosial. Jika sejauh ini perempuan mengalami berbagai bentuk penindasan dan keterbatasan, maka pengalaman demikian perlu didorong menjadi pengetahuan sosial bersama. Marsinah, dalam segenap perjuangannya, menggambarkan konkrit pengalaman perempuan itu. Berangkat dari keluarga agraris, akses pendidikan yang terbatas dan lahir dari keluarga wong cilik, merupakan pengalaman yang menggetarkan dan menggelorakannya untuk berbuat lebih keras. Sebuah pengalaman perempuan desa yang kurang mengenakkan. Ia ingin segera menggapai mimpi dan membebaskan ketertindasan itu.

Marsinah terlanjur menjadi tokoh perjuangan kaum buruh. Namanya harum namun tiada sempat menikmati keharuman itu. Ia cukup menjadi simbol perlawanan itu. Perlawanan wong cilik. Para penggede pun tak luput menyanjungnya dan menyelami perjuangannya semasa hidupnya. Gubernur Jawa Timur dan wagub, Khofifah dan Emil Dardak dalam masa kampanye pilgub tahun 2018 sempat menziarahi makam Marsinah di Nglundo, Sukomoro. Keduanya juga bertemu dengan orang tua almh. Marsinah. Kedatangan keduanya bukan seremonial basa-basi politik semata menurut saya. Kunjungan itu bisa juga dibaca sebagai langkah menghilangkan sekat-sekat sosial ekonomi serta akibat yang mengiringinya, dan yang lebih penting menghapus sematan atribut wong cilik itu. Berkaca pada masa lalu warga sekitar kampung halaman Marsinah, menjadi wong cilik itu sangat tidak mengenakkan ternyata.

Bawang merah telah sedikit mengubah keadaan. Di tengah kesuksesan hasil tanaman bawang merah warga Sukomoro, hal yang mungkin belum sempat dinikmati Marsinah semasa hidupnya, upaya menghapus kesenjangan itu kian terwujud bilamana dilihat dari dampaknya kini, meski masih belum sepenuhnya berhasil. Sekarang pasar sentra bawang merah telah berdiri dan kualitas bawang merah Sukomoro sangat teruji. Sukomoro pelan namun pasti, menjadi ikon bawang merah tingkat regional bahkan nasional. Spirit perjuangan Marsinah dalam merebut mimpinya mungkin menginspirasi warga Sukomoro dan Nganjuk pada umumnya, untuk terus menjaga bara api semangat perubahan ke arah perbaikan itu.[]

 

Esais Sosial Humaniora

Digiqole ad