Gunting

 Gunting

Ilustrasi (JalaStoria.id)

 

Oleh Karina Sjamsul

 

Sejujurnya, pemberontakan sudah saya mulai 24 tahun lalu. Saya tidak teriak ataupun menangis menjerit-jerit seperti anak kebanyakan saat bapak memarahi. Saya hanya diam menatap bapak. Biasanya bapak akan memukul saya karena menurutnya, tatapan mata saya itu adalah bentuk perlawanan

Saya berteman akrab dengan gunting dan silet. Saat bapak sudah tidak pukul saya lagi, saya mulai beraksi. Saya sangat suka menggunting celana dalam bapak yang sedang dijemur. Ada kepuasan dalam hati saat tangan saya dengan beringas menggunting celana dalam bapak. Setelah puas, saya mencencang celana dalam bapak, saya lipat rapi sekali hingga tidak ada orang yang menyadari kalau sebenarnya celana dalam bapak itu sudah hancur. Jadilah ketika akan dipakai oleh bapak, malah dia yang menjerit-jerit.

Saya beruntung memiliki mama yang sangat lembut hatinya. Dia tidak ikutan menjerit kepada saya saat bapak menjerit melihat celana dalamnya yang saya gunting. Saya justru diajarkannya menggunting dan menjahit baju boneka dari kain perca. Alhamdulillah, kebiasaan saya mencencang celana dalam bapak mulai hilang. Tapi naluri pemberontak saya tidak pernah hilang sampai detik ini.

Suatu hari mama membelikan saya boneka Barbie. Saya sangat menyukai Rosie (nama Barbie saya). Dia begitu cantik dengan senyumnya yang lebar dan tidak pernah cemberut. Rosie  memakai mantel kulit warna merah dan sepatu Pump Shoes warna nude.

Kapanpun dan dimanapun, imajinasi saya selalu bermain. Kadang saya berpikir akan jadi hair dresser, maka saya gunting rambut Rosie dengan berbagai macam model hingga akhirnya Rosie botak. Kadang saya berpikir akan menjadi make-up artist, langsung saja saya tebalkan alis mata Rosie dengan spidol permanen yang ternyata malah membuat Rosie terlihat seperti dakocan. Namun Rosie tetap dengan senyum lebarnya, ia tidak pernah marah seperti bapak. Saya pun semakin mencintai Rosie.

Saat saya berpikir ingin menjadi fashion designer, maka saya gunting mantel merah yang sedang dipakai Rosie dan membentuknya menjadi sebuah mini dress, tetapi malah sempit dan tidak muat di tubuh Rosie hingga akhirnya menjadi bikini. Saat mama melihat Rosie yang berbikini, mama bilang “malu, kasihan dada Rosie terbuka”. Jadilah saya gunting singlet bekas bapak (beneran bekas, bukan yang lagi dijemur), lalu saya buatkan Rosie gaun yang cantik.

Puas rasanya melihat Rosie yang terlihat begitu cantik dengan gaun buatan saya. Ternyata saya cocok jadi fashion designer, pikir saya. Sejak hari itu Saya menjadi begitu bersemangat untuk menjahit apapun. Dimulai dari baju Rosie, hingga membuat celana dan baju untuk saya pakai sendiri. Saat saya berhasil menjahit sesuatu, ada gelanyar hangat yang mengalir di tubuh ini. Seperti ada kembang api yang seakan ingin meledakkan tubuh saya. Bahagia.

Tibalah saatnya saya lulus Sekolah Menengah Pertama. Saya minta izin akan masuk sekolah kejuruan tata busana kepada orangtua saya. Kali ini bapak menjerit lagi. Ia bilang, saya hanya akan jadi tukang jahit kacangan, tidak akan pernah bisa hidup mapan (Padahal sejak saya Sekolah Dasar, mama menghidupi kami dengan bekerja sebagai tukang jahit).

Mama menangis, memohon supaya saya masuk Sekolah Menengah Atas, sesuai keinginan bapak. Mama takut kalau saya tetap memaksakan diri masuk sekolah kejuruan, bapak akan lepas tangan tidak mau membiayai sekolah saya. Mama merasa tidak akan mampu menyekolahkan saya sampai tamat. Saya tidak marah ketika bapak menjerit melarang dan menggunting habis mimpi saya. Tapi saya benci bapak, gara-gara dia mama menangis.

Meski sempat digunting, impian saya tidak pernah mati. Sekalipun saya tidak bisa jadi fashion designer dan punya butik, saya bisa membuatkan gaun untuk bocah cantik yang sejak dia tumbuh dalam tubuh ini, sudah saya ajari untuk memanggil saya dengan panggilan Ibu. Saya berhasil menjadi fashion designer pribadi anak saya, membuatkan baju model apapun yang dia mau. Setiap melihat senyum lebar dan hidungnya yang mengembang saat mencoba baju baru jahitan saya, sensasi ajaib itu datang lagi dan lagi.

Bapak pun tidak menjerit kali ini.

 

Penulis lahir pada 11 Januari 1995, hobi berdiplomasi terhadap mama tetapi selalu menepati janji kepada anaknya sendiri.

 

Digiqole ad