Menemukenali Siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Oleh: Siti Aminah Tardi
Dalam relasi personal seringkali ditemui siklus kekerasan dengan pola berulang: KETEGANGAN MENINGKAT-TINDAK KEKERASAN-MASA TENANG.
Puan Retno (37 tahun) menunjukkan telapak tangan kanannya yang luka. Luka yang disebabkan karena perebutan pisau antara dirinya, suaminya dan wanita idaman lain (WIL) di rumah sekaligus tempat kerja suami dan wanita idamannya.
Puan sudah menjalani pernikahan selama sembilan tahun dan dikaruniai dua anak yang berusia 8 dan 5 tahun. Sehari-harinya, ia bekerja sebagai bidan di sebuah rumah sakit swasta dan membuka praktik di rumahnya.
Suaminya, Tuan Hendro (38), berasal dari keluarga terpandang di Kota Semarang. Dari empat bersaudara, penghidupan Hendro tidak secemerlang saudaranya yang lain, yang berprofesi sebagai pengacara, dosen dan pastor.
Hendro tidak punya pekerjaan tetap. Terakhir, ia justru membuka rumah kos-kosan, yang ditengarai khusus untuk pekerja seks kelas atas. Di sinilah ia bertemu salah seorang pekerja seks yang kemudian hidup bersamanya.
Awalnya, Retno sama sekali tidak peduli dengan apa yang dikerjakan suaminya. Namun, begitu mengetahui suaminya tinggal bersama dengan perempuan lain yang tengah hamil, ia memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian.
Bagi Retno, merencanakan pisah dari suaminya merupakan keputusan yang berat. Apalagi langkah itu tidak dibenarkan menurut agama dan keyakinannya.
Sebenarnya ia pernah mengambil cara lain untuk menyelesaikan masalah rumah tangganya. Ia pernah bermusyawarah dengan keluarga besar suaminya. Akan tetapi, rapat keluarga yang seharusnya menawarkan penyelesaian masalah, malah berakhir kisruh.
Hendro yang tidak terima Retno mengadukan masalah rumah tangga kepada keluarganya, secara mendadak, menyiramkan minyak tanah ke tubuhnya dan sang istri. “Ketimbang pisah, lebih baik kita mati bersama!” ancamnya. Untunglah upaya bakar diri itu bisa digagalkan oleh keluarga.
Rupanya kisruh terus berlanjut. Beberapa hari kemudian saat Hendro pulang, tanpa alasan yang jelas, ia mencoret-coret dinding rumah dan mencopot papan tanda praktik bidan.
Mereka bertengkar hebat: pukulan, dorongan dan tendangan mendera Retno sampai kemudian Hendro menanyakan dan mencari pedang katana yang biasa dipakai oleh seorang samurai.
Khawatir dengan keselamatan diri dan dua anaknya, Retno menghubungi polisi. Dan benar saja, polisi berhasil menggagalkan upaya pembunuhan atas diri Retno yang saat itu tengah dalam ancaman pedang oleh Hendro.
Hendro ditangkap. Tetapi yang terjadi kemudian di luar dugaan. Keluarga besar Hendro datang dan meminta Retno mencabut laporannya ke polisi, termasuk menggalang jaminan penangguhan penahanan dari kerabat dan jaringan kerja mereka. Alasannya, masalah ini cuma persoalan rumah tangga, yang bisa diselesaikan di internal keluarga.
Jika dilanjutkan, khawatir akan merugikan nama baik keluarga, terutama anak-anak. Terutama jika diketahui bahwa ayah mereka dipenjara.
Polisi kemudian memanggil Hendro agar keluar dari jeruji besi, dan dengan sangat dramatis, Hendro bersujud, mencium istrinya dan meminta pengampunan.
Retno luluh, dan menandatangani surat perjanjian, dengan salah satu klausul: “pihak kedua (Hendro) akan meninggalkan wanita idamannya dan kembali kepada pihak pertama (Retno)”. Perjanjian ini sekaligus mencabut laporan KDRT yang dialami Retno.
Setelah kejadian itu, kehidupan keluarga Hendro dan Retno kembali normal, dalam pengertian, Hendro lebih banyak tinggal di rumahnya.
Namun, ketika Retno mendapati informasi keberadaan wanita idaman Hendro dan bermaksud untuk menanyakan kondisi kehamilan dan rencana persalinannya, Retno tiba-tiba terkejut.
Hendro berada bersama wanita idamannya itu.
Dengan begitu, janji Hendro untuk meninggalkan wanita idamannya dan menutup kos-kosan tidak pernah ditepati. Pengusiran oleh Hendro terhadap Retno dari rumah kos-kosan itu menjadi akhir pertengkaran ketiganya.
“Saya seperti barang rongsokan yang dilempar, tidak ada sedikitpun pembelaannya. saya sangat terhina diperlakukan seperti ini di depan perempuan itu!”
Siklus KDRT
Penderitaan yang dialami Retno adalah gambaran sempurna siklus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Dalam relasi personal, baik rumah tangga atau pacaran, seringkali ditemui siklus kekerasan, dengan pola berulang: KETEGANGAN MENINGKAT-TINDAK KEKERASAN-MASA TENANG.
Ketegangan muncul ketika terjadi konflik yang diekspresikan dengan marah, adu mulut, menyalahkan, dan kekerasan verbal lainnya. Fase ini akan berlanjut ke bentuk kekerasan, baik fisik, seksual, ancaman verbal, atau menggunakan senjata.
Setelah terjadi kekerasan, ketegangan mereda. Pelaku bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf.
Sementara korban merasa ”berdosa” bila tidak memaafkannya, korban menyalahkan diri sendiri karena merasa atau dianggap menjadi pemicu kejadian, korban mengembangkan harapan akan hubungan yang lebih baik.
Fase ini juga kerap disebut fase “bulan madu”. Namun sesungguhnya, fase ini tidak bertahan lama. Jika tidak ada intervensi khusus, baik internal maupun eksternal, siklus kekerasan dapat terus berputar yang semakin hari intensitas dan kualitasnya akan terus meningkat.
Karena siklus inilah, para korban KDRT, umumnya, baru melapor, setelah menilai dirinya tidak sanggup lagi menerima kekerasan fisik. Namun tidak sedikit pula, laporan yang pada akhirnya dicabut kembali dengan berbagai alasan.
Kita kerapkali mempertanyakan bahkan menyalahkan perempuan yang kehidupan rumah tangganya diwarnai kekerasan, tetapi tetap memilih bertahan dan mendampingi pasangannya.
Banyak alasan yang melingkupinya, di antaranya: ketakutan dan ancaman, tidak ada uang dan tempat lain untuk pergi, tidak ada perlindungan, rasa bersalah, keyakinan keagamaan atau budaya, masih berharap keadaan akan berubah, tidak siap dengan status ‘janda’ atau takut anak-anaknya kehilangan ayahnya.
Untuk keluar dari siklus kekerasan, dibutuhkan penguatan agar korban berdaya untuk mengambil keputusan.
Apapun keputusannya, tindakan pencegahan kekerasan (selanjutnya), pengamanan jika terjadi kekerasan, sampai perencanaan untuk meninggalkan pasangan harus dibangun.
“Sepertinya perkawinan ini sudah tidak ada harapan, saya tidak akan menerimanya kembali di rumah, saya tetap akan mengajukan perceraian, saya akan menunggu dua tahun pisah tempat tidur dan makan, saya akan lebih menyiapkan diri dan anak-anak untuk hidup tanpanya, draf gugatan ini saya bawa ya,” kata Retno
“Iya, ibu hebat dan pasti bisa!”
Kami berpelukan lama, pelukan ini menjadi akhir perpisahan setelah enam bulan menemaninya.[]
Advokat Publik
——
Kasus ini terjadi pada 2008 di Semarang. Nama-nama di atas bukan nama sebenarnya.