Sejarah Perempuan adalah Sejarah Ketidakadilan

 Sejarah Perempuan adalah Sejarah Ketidakadilan

Ilustrasi (Freepik/Freepik.com)

Oleh: Ade Mulyono

Dari dulu, seringkali masyarakat memandang perempuan sebelah mata. Ia dianggap objek yang dapat dieksploitasi dan dikapitalisasi dalam hal apa pun (politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan). Dari situ dapat dimengerti, bahwa tubuh perempuan tidak dimiliki oleh dirinya sendiri, melainkan oleh orang lain: orang tua, suami, kekasih lelakinya, dan seterusnya. Sejatinya pada tubuh perempuan melekat simbol perlawanan: gender equality.

Di ruang privat kita mengenal sosok Inggit Garnasih (istri Presiden Soekarno yang menolak dimadu) dan ruang publik kita mengenang Marsinah (aktivis dan buruh yang dibunuh secara keji “femisida” di masa Orde Baru). Begitulah sejarah mencatat dan peristiwa selalu diingat.

Tidak bisa dipungkiri budaya patriarki ialah sponsor utama di balik terjadinya diskriminasi terhadap tubuh perempuan. Baik di ruang privat maupun publik, ada kekuasaan yang mengendalikan tubuh perempuan. Hal itu memberi “pesan”, bahwa tubuh perempuan terikat di ruang privat dan terperangkap di ruang publik. Ketidakadilan itu membuat perempuan hanya memiliki satu bahasa tubuh: mengangguk. Meminjam Foucault:  ‘Bahwa kekuasaan tidak netral dari gender. Term biopolitik menyembunyikan realitas kekuasaan laki-laki atas tubuh perempuan’ (Sejarah Seksualitas: 1997).

Baca Juga: Perempuan, Masyarakat Patriarki, dan Kesetaraan Gender

 

Femme fatale

Sejarah perempuan adalah sejarah ketidakadilan. Perempuan dianggap pembawa sial itu sebabnya ia dipandang sebagai “second sex”. Perempuan yang mempunyai wajah cantik dianggap “kutukan”. Abad 18 di Eropa istilah femme fatale berkembang pesat. Istilah itu diberikan pada perempuan yang dianggap berbahaya. Helene of Troy ialah sosok yang terkenal dalam sejarah famee fatale. Dalam mitologi Yunani, kecantikan Helene yang tidak diragukan oleh lelaki mana pun. Tetapi, dari situ ia dituding sebagai biang kerok penyebab hancurnya dua peradaban besar karena peperangan.

Sosok Medusa perempuan berambut ular dan bermata api, juga kerap disebut sebagai femme fatale. Karena kutukan kecantikannya berubah menjadi mengerikan. Siapa saja yang menatap matanya akan binasa. Begitulah gambaran mitologi kuno yang gemar merendahkan perempuan. Dalam aspek agama, sosok Hawa juga tidak luput dari tudingan istilah dehumanisasi: femme fatale. Hawa dianggap bersalah atas terusirnya Adam dari surga. Begitulah sejarah perempuan ditulis dengan nuansa misoginis.

Sejarah perempuan adalah sejarah penaklukan tubuh. Perempuan tidak hanya dianggap berbahaya, tetapi juga hiasan—perabotan. Ia lumrah diperebutkan dan kerap dijadikan barang hadiah dan sayembara—dalam sejarah, film, dan sastra.

Baca Juga: Sulitnya Hidup Sebagai Perempuan

 

Perjodohan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka Citraresmi dianggap penyerahan kekuasaan Kerajaan Sunda di bawah Majapahit oleh Gajah Mada—meski berujung pembantaian. Lain cerita dengan Roro Mendut, kecantikan perempuan dianggap mampu mengangkat kepercayaan diri kaum lelaki. Itu sebabnya Tumenggung Wiraguna bersikeras menuruti kelaminnya untuk mendapatkan Roro Mendut untuk dijadikan istri—lebih tepatnya pelengkap kebahagiaan sang senapati. Seperti Romeo dan Juliette, Roro Mendut memilih mati bersama kekasihnya ketimbang takluk di bawah kuasa lelaki yang tidak dicintai.

Dalam film, sosok perempuan tidak luput dari “eksploitasi”. Cerita epos Angling Dharma seperti diketahui tidak hanya menjadi raja Malwapati, tetapi juga menjadi suami Setyawati yang dijadikan hadiah sayembara oleh kakaknya Batik Madrim. Seperti kebanyakan perempuan di zamannya, ia layaknya perabotan yang tak mempunyai peran apa-apa selain “pemanis”.

Cerita film horor juga ikut andil melestarikan penaklukan tubuh perempuan atas nama industri. Film horor gemar menampilkan hantu perempuan ketimbang laki-laki. Menurut Dosen Budaya Populer Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran, Justito Adiprasetio dikutip dari Detik.com; sejak tahun 1970-an. Ia menyebut ada 559 film horor Indonesia selama tahun 1970-2019. 60,47 Persen atau 338 film memiliki sosok perempuan sebagai hantu utama. Sedangkan 24,15 persen atau 135 film menghadirkan sosok laki-laki.

Menurut Tito hal itu merupakan representasi folklor tiap daerah. Meski alasan industrinya lebih mencengangkan: film masih didominasi kaum lelaki maka tak heran cara pandang masih maskulin. Perempuan dan laki-laki ditempatkan pada posisi berlawanan. Perempuan sebagai sosok hantu yang menyeramkan dan jahat, sedangkan laki-laki tampil sebagai sosok pahlawan yang memikat.

Tidak hanya dalam film horor perempuan tidak mendapatkan peran terhormat. Di hadapan hukum pun demikian. Sejarah hukum adalah sejarah perselisihan di antara laki-laki. Begitu sejarah hukum ditulis—dimaknai dan dieksploitasi oleh kaum lelaki. Perempuan bukanlah subjek hukum, itulah yang menyebabkan perempuan diperlukan tidak sama dengan laki-laki.

Baca Juga: Menyuarakan Kesetaraan Bukan Pilihan

Roman Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer melukiskan kuasa atas tubuh perempuan lewat tokoh Nyai Ontosoroh—seorang gundik. Sang tokoh tidak hanya kehilangan hartanya, anak gadisnya, tetapi juga kehormatannya sebagai perempuan pribumi di hadapan kedigdayaan hukum kolonial. Ia lupa jika seorang nyai hanya dijadikan penghangat ranjang oleh para konglomerat laki-laki Belanda. Ia tidak berhak atas warisan dan anak yang dilahirkan. Begitu bunyi perintah sistem hukum kolonial. Di situlah bekerja politik hukum yang dikotomis, hierarkis, dan hegemonis. Tetapi dari situ kita mengerti, sejarah perempuan tidak ditulis oleh dirinya sendiri.[]

 

Lahir di Tegal. Esais dan prosais. Tulisannya dimuat di sejumlah media. Novel terbarunya Namaku Bunga (2022).

Digiqole ad