Pengalaman Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Bagian 2 dari 2 Tulisan)

 Pengalaman Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Bagian 2 dari 2 Tulisan)

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Oleh: Dian Puspitasari, SH

 

Progres dan Tantangan Implementasi Perma

Dari pengalaman N pada tahun 2018,  serta AA dan K tahun 2021, menunjukkan kehadiran kebijakan yang progesif terhadap perempuan. Regulasi itu secara serta merta menjamin hak-hak perempuan ketika berhadapan dengan hukum. Selain itu lamanya kebijakan hukum juga tidak menjadi ukuran kebijakan tersebut terinternalisasi secara baik di lingkup pengadilan terutama di pengadilan tingkat pertama.

Pernyataan majelis hakim  dalam kasus N bertentangan dengan Pasal 15 huruf (a), (c) dan (d) yang menyatakan, “Dalam pemeriksaan perempuan berhadapan dengan hukum, hakim tidak boleh: (a.) menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/ atau mengintimidasi perempuan berhadapan dengan hukum; (c.) mempertanyakan dan/ atau mempertimbangkan mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan hukuman pelaku; dan (d.) mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip gender.

Sementara dalam perkara percerian AA, pengalaman AA perempuan korban kekerasan cenderung tidak terlihat dan tidak dikenali majelis hakim di pengadilan agama. Ppengalaman traumatis AA tidak menjadi acuan dalam memperlakukan AA sebagai perempuan pihak yang berperkara. Hal ini terjadi karena kewenangan pengadilan agama tidak diperuntukkan untuk menggali dan memperjelas kasus kekerasannya.

Kehadiran Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum menjadi landasan kuat untuk melindungi perempuan dari segala bentuk tindakan diskriminasi selama proses peradilan. Baik pada saat pemeriksaan perempuan sebagai korban atau terdakwa maupun sebagai para pihak. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1)  bahwa “Perempuan       Berhadapan dengan Hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai      korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.Pasal ini menjadi dasar dialog saya dengan wakil ketua pengadilan agama, majelis hakim dan hakim mediator dalam mengomunikasikan kondisi psikologis AA.

Baca Juga: Pengalaman Perempuan Berhadapan dengan Hukum (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Akhirnya mediasi kasus AA dengan suaminya dilakukan secara terpisah karena pada saat itu meskipun sudah ada ruang teleconference namun sistem perangkatnya masih belum siap digunakan. Mediasi AA yang dilakukan secara terpisah sesuai dengan ketentuan Pasal 10  huruf (a) yang menyatakan, Hakim atas inisiatif sendiri dan/atau permohonan  para pihak, penuntut umum, penasihat hukum dan/atau    korban dapat memerintahkan Perempuan Berhadapan dengan Hukum untuk didengar keterangannya melalui pemeriksaan dengan komunikasi audio visual jarak jauh di pengadilan setempat atau di tempat lain, apabila kondisi mental/jiwa Perempuan Berhadapan dengan Hukum  tidak sehat diakibatkan oleh rasa takut/trauma psikis berdasarkan penilaian dokter atau psikolog.

Secara formil sebagai kuasa hukum dapat mewakili klien dalam proses mediasi menggunakan kuasa khusus istimewa. Namun dalam praktek, hal ini sangat bergantung dari perspektif hakim di pengadilan. Dari pengalaman dan beberapa praktisi, ini sangat jarang dilakukan, kuasa hukum mewakili klien dalam proses mediasi.

Ada yang berpedoman mediasi hanya dapat diwakili oleh kuasa hukum jika penggugat/pemohon berada di luar negeri. Selain itu ada sebagian hakim yang berpedoman proses mediasi adalah proses yang harus ditempuh kedua belah pihak. Ketidakhadiran salah satu principal dapat dianggap sebagai tidak adanya itikad baik dari pihak tersebut yang bisa saja berdampak pada jalannya proses sidang.

Sementara dalam kasus K, ketidakhadiran tergugat selama proses sidang menyulitkan hakim dalam memutuskan besaran jumlah nafkah iddah, muttah yang menjadi hak perempuan dalam perkara cerai gugat. Hal ini disampaikan langsung majelis hakim dalam persidangan. Bahkan majelis hakim meminta saya untuk membatalkan tuntutan nafkah karena akan sulit.

Kesimpulan

Keberadaan kebijakan yang diterbitkan Mahkamah Agung tidak serta merta dipahami dan diterapkan oleh hakim terutama hakim tingkat pertama. Selain karena kuatnya stigma buruk terhadap perempuan dengan orientasi seksual seperti kasus N, di lingkup pengadilan agama tidak banyak pihak terutama advokat yang menggunakan landasan ini dalam berperkara di pengadilan agama terutama di daerah. Sementara hakim juga bersikap pasif.

Baca Juga: Cerita Korban Perkosaan dan KDRT yang Terancam Pidana

Pengalaman teman sejawat bahkan menyarankan perempuan ke luar negeri dahulu ketika tidak ingin hadir dalam persidangan. Pengalaman teman sejawat lain menggunakan kuasa khusus istimewa yang dibuat di hadapan notaris disertai dengan surat keterangan medis

Meskipun demikian harus diakui bahwa Perma 3 tahun 2017 menjadi landasan awal bagi Mahkamah Agung dalam menerbitkan kebijakan internal yang memperkuat pemenuhan hak perempuan terutama yang berhubungan dengan hukum keluarga. Dalam Sema Nomor 3 Tahun 2018 bagian hukum keluarga 3.1 c menyatakan, Kewajiban suami akibat perceraian terhadap isteri yang tidak nusyuz, dalam perkara cerai gugat dapat diberikan mutt`ah dan nafkah  iddah sepanjang tidak terbukti nusyuz.

Sementara dalam Sema Nomor 2 tahun 2019  terdapat 2 klausul yang secara eksplisit ditunjukkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak –hak perempuan pascaperceraian. Dalam point 1 huruf a dan c menyatakan, “Dalam amar putusan pembayaran kewajiban suami terhadap istri pascaperceraian dalam perkara cerai gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut:….yang dibayar sebelum tergugat mengambil akta cerai.

Dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita dan petitum gugatan. Sementara huruf c mempertegas pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, pembagian gajinya harus dinyatakan dalam amar putusan secara declaratoir yang pelaksanaannya melalui instansi yang bersangkutan.

Oleh karena itu keberadaan Perma yang progresif tidak akan cukup untuk menjamin pemenuhan hak perempuan jika tidak didukung ruang dialog yang intensif dengan institusi peradilan untuk mengimplementasikan Perma tersebut. Selain itu dibutuhkan penguatan terhadap advokat sebagai salah satu elemen dalam mendukung dan mengawasi pelaksanaan implementasi pemenuhan hak perempuan. []

 

Direktur LRC-KJHAM Periode 2016-2018, Sekretaris Seknas FPL (Forum Penyedia Layanan), AdvokatSekretaris LBH Advokasi Maritim Nusantara “AMAN” Pati-Jawa Tengah

 

 

 

Digiqole ad