Bantuan Hukum: Apakah Berpihak kepada Perempuan Korban?
Beberapa waktu lalu, seorang pengacara mempertanyakan peruntukan Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang bukan hanya bagi orang miskin. Pertanyaan itu muncul karena ditemukan adanya pemberian konsultasi dan pembuatan gugatan oleh Posbakum terhadap klien yang tidak dapat menunjukkan dokumen sebagai orang miskin.
Namun demikian, benarkah Posbakum dianggap tidak tepat sasaran dan menjadi peluang bagi penyelewengan uang negara?
Lalu seperti apa prosedur dan mekanisme mendapatkan bantuan hukum dan syarat bagi masyarakat miskin? Apakah konsultasi dan pembuatan gugatan termasuk bentuk bantuan hukum? Jika demikian apakah prosedur tersebut berdampak pada kelompok rentan seperti perempuan yang termiskinkan saat berhadapan dengan hukum?
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, definisi Bantuan Hukum adalah jasa hukum yang diberikan oleh Pemberi Bantuan Hukum secara cuma-cuma kepada Penerima Bantuan Hukum. Sedangkan dalam Pasal 4 ayat (2), Bantuan Hukum meliputi masalah pidana, perdata, tata usaha negara, litigasi dan non litigasi. Lebih lanjut dijelaskan, ruang lingkup bantuan hukum yaitu menjalankan kuasa, mendampingi, mewakili, membela, dan/atau melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Penerima Bantuan Hukum.
Mencermati definisi dan ruang lingkup Bantuan Hukum tersebut, konsultasi dan pembuatan gugatan tidak termasuk dalam lingkup Bantuan Hukum. Sementara untuk memperoleh Bantuan Hukum, menurut Pasal 14 ayat (1) pemohon Bantuan Hukum harus memenuhi syarat:
- mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi sekurang-kurangnya identitas pemohon dan uraian singkat mengenai pokok persoalan yang dimohonkan Bantuan Hukum;
- menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara; dan
- melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa, atau pejabat yang setingkat di tempat tinggal pemohon Bantuan Hukum.
Artinya ketika masyarakat ingin berkonsultasi atau meminta bantuan pembuatan dokumen hukum, tidak perlu menyertakan surat keterangan miskin.
Namun, dalam petunjuk teknis sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 63 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2018, salah satu aspek Bantuan Hukum secara nonlitigasi di antaranya adalah konsultasi hukum dan perancangan dokumen hukum. Untuk dapat mengaksesnya pun harus menyertakan surat keterangan miskin atau dokumen lain yang menunjukan kemiskinan orang tersebut.
Lalu bagaimana dengan kelompok rentan seperti perempuan?
Prosedur yang mengharuskan tersedianya Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau sejenisnya akan berdampak pada akses perempuan terhadap keadilan, terutama perempuan korban kekerasan. Kenapa? Karena di tahapan pertama di mana perempuan korban belum yakin dengan pilihan untuk menempuh jalur hukum, sejatinya dia membutuhkan informasi yang cukup tentang proses hukum itu sendiri, termasuk pilihan yang akan ditempuh. Kebijakan terkait persyaratan SKTM ini justru akan semakin menjauhkan perempuan korban dalam mengakses keadilan karena kebijakan ini tidak mengakui adanya relasi kuasa dan diskriminasi gender sebagai faktor yang menghambat korban untuk mendapatkan dokumen hukum.
Selain itu, penyertaan dokumen miskin juga berpotensi mengungkap identitas korban kekerasan. Dengan demikian, kebijakan ini belum selaras dengan prinsip kerahasiaan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan. Bukankah salah satu landasan filosofis dari terbentuknya UU Bantuan Hukum adalah berorientasi terwujudnya perubahan sosial yang berkeadilan? Bukankah equality before the law berarti persamaan dalam hukum, bukan kesamaan dalam hukum?
Mengutip Sri Wiyanti Eddyono sebagaimana disampaikan dalam beberapa diskusi, “persamaan” berarti pengakuan atas adanya ketidaksamaan dalam hukum. Ketidaksamaan dalam hukum itu disebabkan dalam penyusunan kebijakan dan implementasinya, kewenangan itu dijalankan dengan dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tidak netral gender.
Sementara itu, “kesamaan dalam hukum” pasti hasilnya tidak adil. Persamaan dalam hukum itulah yang melandasi bagi kelompok tertentu seperti penyandang disabilitas harus disediakan sarana prasana serta fasilitas khusus yang memudahkan atau memungkinkan bagi mereka selama berhadapan dengan hukum, seperti ramp, ruang sidang yang aksesible, dan penerjemah.
Jika menganut “kesamaan” maka semua orang dianggap sama, sehingga tidak perlu affirmasi. Untuk itulah kelompok perempuan terus bersuara agar hukum dapat mengakui dan mengadopsi pengalaman perempuan dalam penyusunan perundang-undangan yang adil gender atau sering disebut feminist legal theory. Demikian pula dalam menyikapi Undang-Undang Bantuan Hukum.
Dengan demikian program Posbakum yang saat ini berjalan tidak tepat sasaran, karena belum mampu menjangkau kelompok rentan yang membutuhkan Bantuan Hukum seperti perempuan korban kekerasan. Untuk itu dibutuhkan kebijakan khusus agar kelompok rentan tersebut mudah mengakses Bantuan Hukum sehingga cita-cita mewujudkan masyarakat yang berkeadilan melalui Posbakum dapat tercapai.
Dian Puspitasari
Mahasiswa Magister Hukum Universitas Semarang, Direktur LRC-KJHAM Semarang tahun 2016 – 2018