Hilangnya Rasa Aman dalam Keluarga

 Hilangnya Rasa Aman dalam Keluarga

Ketika seseorang mengalami tindak kekerasan seksual, keluarga menjadi salah satu opsi yang bisa memberikan pertolongan, dukungan, dan menjaga keamanan korban. Tapi, bagaimana jika pelaku kekerasan seksual justru adalah anggota keluarga korban sendiri?

Dilema ini dialami oleh remaja perempuan berinisial AP umur 17 tahun, asal Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Ia diperkosa oleh 3 sanak keluarga di rumahnya sendiri. Pelaku tidak lain adalah ayah kandung, paman, dan kakek korban.

Pelaku melakukan tindak perkosaan kepada korban secara bergantian selama 5 hari berturut-turut, mulai tanggal 1 sampai dengan 5 agustus 2023. Mulanya, korban diperkosa kakeknya saat tengah tidur siang pada 1 Agustus, lalu diperkosa pamannya pada malam hari, kemudian diperkosa ayah kandungnya sendiri pada saat subuh.

Korban merasa tidak kuat dan akhirnya kabur dari rumah, menginap dari masjid satu ke masjid yang lain. Sebelumnya, korban juga sempat melaporkan kejadian ini ke Polres namun tidak diproses karena korban tidak membawa identitas dan minim saksi.

 

Baca Juga: Kekerasan Seksual Mendominasi Tindak Kekerasan Pada Anak

 

Nasib pilu yang dialami AP hanya salah satu kasus yang terangkat ke publik, bahwa keluarga juga belum tentu bisa menjadi ruang aman bagi korban kekerasan seksual. Kekerasan yang dilakukan di mana antara pelaku dan korban terdapat relasi perkawinan dan kekerabatan termasuk dalam kategori Kekerasan Berbasis Gender (KBG) pada perempuan di ranah personal.

Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komisi Nasional Perempuan tahun 2023, kekerasan seksual pada perempuan di ranah personal menjadi pengaduan yang jumlahnya cukup banyak, yakni berkisar 29% atau 1086 pengaduan. Adapun jenis kekerasan seksual, salah satunya berupa inses atau hubungan seks sedarah sebanyak 221 kasus.

Pelaku kekerasan seksual pada perempuan di ranah personal juga sangat beragam. Di antaranya ayah kandung 117 kasus, ayah angkat 112 kasus, dan kakak atau adik kandung 107 kasus. Disusul oleh paman 56 kasus, kakak atau adik ipar 19 kasus dan kakek kandung 6 kasus.

Kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga sendiri sangat berdampak buruk pada korban. Di antaranya adalah kehamilan yang tidak diinginkan dan resiko hubungan seks sedarah atau inses.

 

Kehamilan yang Tidak Diinginkan

Kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan dalam keluarga berisiko terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan. Salah satu resiko ini terlihat dalam kasus yang dialami oleh gadis berusia 16 tahun di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Korban diperkosa oleh ayahnya hingga hamil 2 kali. Mirisnya, seiring berjalannya penyidikan diketahui bahwa ibu korban turut membantu pelaku melancarkan aksi perkosaan sekaligus membantu korban menggugurkan kandungannya. Kejadian ini berlangsung sejak Februari 2020 sampai dengan November 2023, setelah akhirnya dilaporkan oleh kakak korban ke polisi.

 

Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak, Kenali 3 Tanda Ini

 

Dalam kasus tersebut, korban beresiko ganda yakni resiko kehamilan yang tidak diinginkan dan resiko aborsi. Dalam Jurnal Kesehatan, dampak kehamilan tidak diinginkan akan menimbulkan berbagai permasalahan pada ibu dan bayinya.

Permasalahan yang dialami korban seperti emosi yang tidak stabil, kurangnya perawatan hamil, dan sulit menerima bayinya. Resiko aborsi sendiri dapat menyebabkan kerusakan fisik pada bayi dan perdarahan pada ibu.

 

Resiko Hubungan Sedarah atau Inses

Perkosaan adalah suatu tindakan pemaksaan hubungan seksual oleh pelaku kepada korban. Inses atau hubungan seks sedarah adalah salah satu bentuk perkosaan, di mana pelaku melakukan pemaksaan hubungan seksual kepada korban yang masih memiliki hubungan darah. Seperti ayah dan putrinya, ibu dan putranya, kakek dan cucunya, dan contoh hubungan keluarga lainnya.

Korban hubungan inses akan mengalami kerusakan secara fisik dan psikologis. Tidak hanya korban, anak dari korban hasil hubungan seks sedarah ini secara medis kemungkinan besar akan mengalami kecacatan baik secara fisik maupun mental.

Salah satu kasus yang mencerminkan resiko inses adalah peristiwa pilu yang dialami oleh MTM, perempuan 32 tahun asal Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Ia melaporkan ayah kandungnya sendiri ke polisi karena telah memperkosanya selama 7 tahun. Pemerkosaan terjadi sejak tahun 2007 hingga tahun 2014.

Selama 7 tahun, korban hamil dan melahirkan 3 anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan. Dua di antaranya mengalami cacat mental yakni, Anak sulung yang berusia 13 tahun dan anak bungsunya yang berusia 8 tahun. Sedangkan anak kedua berumur 10 tahun.

Beberapa kasus di atas menunjukkan bahwa kekerasan seksual masih sering terjadi, bahkan di lingkungan keluarga sendiri. Selain itu, korban dalam kasus-kasus tersebut mayoritas adalah anak perempuan, di mana perempuan dan anak perempuan termasuk dalam kelompok rentan mengalami kekerasan seksual. [Uung Hasanah]

Digiqole ad