Waspada Kekerasan Berbasis Gender Online (2)

Ilustrasi (Sumber: Pexels/Burst)
Sobat, saat penggunaan internet semakin tinggi, kekerasan berbasis gender online juga potensial meningkat ya! Misalnya, saat pemberlakuan kebijakan kerja dari rumah alias Work from Home maupun sekolah dari rumah alias School from Home.
Nah sobat, JalaStoria berharap kita semua terhindar dari kekerasan berbasis gender online! Kenali ya bentuk-bentuknya, sehingga kamu dapat segera menghindar kalau ada permintaan yang mengarah ke sana. Dan tegaskan diri untuk berkata “Tidak!” kepada siapapun yang meminta foto atau video yang akan mengeksploitasi seksualitas.
Selain itu, perlu juga membatasi untuk tidak mengunggah konten yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain secara tidak bertanggung jawab. Perlu diingat lho sobat, meskipun kita sudah memasang media sosial dalam mode private sekalipun, itu sebenarnya nggak sama sekali “benar-benar” private. Namanya juga media sosial, kita pasti tetap berteman dengan banyak orang kan, walaupun circlenya dapat kita pilih siapa saja yang bisa melihat linimasa kita.
Dalam mode private sekalipun, tetap ada celah, seperti teknologi screenshot. Misalnya, kamu hanya membagi update di akun Instagrammu ke satu orang, sebutlah namanya Jani. Nah, siapa yang dapat mencegah Jani untuk tidak me-screenshot dan mengirimkannya kepada Juki? Maka, tetap perlu berhati-hati ya!
Tangani Jika Terjadi
Kalau kekerasan berbasis gender online itu sudah terjadi, segeralah mencari pertolongan! Pertama, sebaiknya bercerita ke lembaga penyedia layanan yang bekerja memberikan pendampingan yang berperspektif gender. Cek lembaga penyedia layanan terdekat dari tempat tinggalmu. Misalnya, di Jakarta dapat menjangkau LBH APIK Jakarta, Yayasan Pulih; di Yogyakarta ke Rifka Annisa; di Bengkulu ke Yayasan Pupa; di Makassar ke LBH APIK Makasar, dan lain-lain.
Baca Juga: Daftar Kontak Institusi Penyedia Layanan bagi Perempuan dan Anak Korban Kekerasan
Kedua, apabila ingin melapor ke kepolisian, sebaiknya melapor dengan disertai pendampingan dari lembaga penyedia layanan. Mengapa? Hmm…begini masalahnya: nggak semua personel di kepolisian paham dengan persoalan kekerasan seksual, termasuk yang dilakukan menggunakan media online. Bukan bermaksud menakut-nakuti, tapi tanpa pendampingan yang cukup, potensi korban disalahkan sangat terbuka lebar.
Ketiga, untuk mengantisipasi kebutuhan pembuktian, tayangan yang menampilkan konten yang mengeksploitasi itu agar disimpan, baik melalui screenshot, copy URL, atau cara lainnya. Hal ini untuk mengantisipasi konten yang dinilai mengandung muatan pornografi akan dihapus oleh media mainstream. Kalau tayangan itu belum sempat disimpan, pembuktian mungkin akan terhambat. Dan apabila diproses melalui jalur hukum, kurangnya pembuktian dapat membuat proses hukum malah tidak berlanjut.
Keempat, bekali dengan pemulihan psikologis, tidak perlu takut dan malu. Dalam banyak kasus, kekerasan berbasis gender online seringkali tidak dilaporkan oleh korban karena takut ketahuan oleh orang tua, teman, dan lain-lain. Hal itu di satu sisi justru akan membuat korban semakin larut dalam tekanan psikis, sementara pelaku seolah-olah dapat melenggang bebas. (Bagian kedua dan terakhir dari tulisan Waspada Kekerasan Berbasis Gender Online)
Kontributor: Vera Fauziah, Jodi Ibrahim
