Ngobrolin Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

 Ngobrolin Hak dan Kesehatan Seksual dan Reproduksi

Ilustrasi (Pexels/August de Richeliu)

Halo Sobat JalaStoria, #NgobrolBareng hadir lagi, kali ini mengangkat topik hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, atau disingkat HKSR. Ini terjemahan dari sexual and reproductive health and rights atau SRHR.

#NgobrolBareng kali ini menghadirkan Fridanty Elisabeth Buang, pegiat SRHR dari Yayasan Centrum Inisiatif Rakyat Mandiri/CIRMA, yang bekerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur, antara lain di Desa Tanah Merah, Kabupaten Kupang. Selain itu, juga menghadirkan narasumber Riska Carolina, Spesialis Advokasi & Kebijakan Publik PKBI. Kegiatan yang dipandu oleh Afriadi, Owner Tour n Travel yang juga menjadi relawan dalam isu SRHR ini diselenggarakan pada hari Senin, 29 Juni 2020.

Supaya kamu nggak ketinggalan acaranya, yuk simak liputan berikut ini:

Menurut Riska, HKSR pertama kali muncul dari Konferensi Internasional untuk Kependudukan dan Pembangunan 1994 di Kairo, Mesir yang menghasilkan Program Aksi dan Konferensi Dunia tentang perempuan ke-4 tahun 1995 di Beijing, China yang menghasilkan Platform Aksi. HKSR  menjamin setiap individu untuk dapat mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka, tanpa adanya diskriminasi, paksaan, dan kekerasan. HKSR juga memastikan seorang individu untuk dapat memilih apakah ia akan melakukan aktvitas seksual atau tidak, kapan dia akan melakukan aktivitas itu, dan dengan siapa dia akan melakukan aktivitas tersebut.

“Jadi tidak hanya tentang kesehatan reproduksinya, kesehatan seksualnya juga, secara individu ketubuhan dirinya, dijamin dalam HKSR,” ungkap Riska.

Apa saja sebenarnya HKSR? Ada 9 yang teridentifikasi, yaitu:

  1. Mencari, menerima, dan mengkomunikasikan informasi terkait seksualitas.
  2. Menerima pendidikan seksual.
  3. Mendapatkan penghormatan atas integritas tubuhnya
  4. Memilih pasangan
  5. Memilih untuk aktif secara seksual atau tidak
  6. Melakukan hubungan seks konsensual
  7. Menikah secara konsensual
  8. Memutuskan untuk memiliki anak atau tidak, dan kapan waktu yang tepat untuk memiliki anak
  9. Memiliki kehidupan seksual yang memuaskan, aman dan menyenangkan

Namun demikian, sampai saat ini pendidikan HKSR masih dianggap tabu, sehingga keingintahuan yang direpresi justru membuat faktor resiko terhadap kesehatan seksual dan reproduksi bertambah tinggi. Hal ini tidak terlepas dari anggapan umum bahwa mengajarkan pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi dianggap mengajarkan berhubungan seksual. Hmm, makanya perlu banget tahu ya Sobat, sebenarnya apa aja yang seharusnya diajarkan dalam pendidikan HKSR.

Riska menegaskan ada 7 isu dalam pendidikan HKSR, yaitu:

  1. Pendidikan seksualitas yang komprehensif.

Hal-hal mendasar seperti pubertas, menstruasi, pertumbuhan badan, sampai pilihan apa saja yang bisa digunakan perempuan saat menstruasi pertama. Ada pembalut kalin misalnya, tampon, cawn menstruasi, celana menstruasi, pembalut sekali pakai, itu banyak modelnya. Itu sebenernya yang harus diajarkan pertama kali kepada remaja. Lalu membahas juga tentang mimpi basah, masturbasi, dorongan seksual, sampai dengan Infeksi Menular Seksual, relasi tidak sehat, dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Comprehensive Sexuality Education. Topik kebersihan diri seperti bau badan dan kebersihan organ reproduksi juga dibahas di sini.

  1. Kerangka relasi.

Misalnya, hubungan spesial atau pacaran, relasi antara yang horizontal dan vertikal. Ibu sama anak misalnya, antara anak sama ayahnya, atau dengan sesama kolega di kantor, atau dengan teman sebaya di sekolah, di kampus seperti apa.

  1. Kekerasan berbasis gender
  2. Seks beresiko
  3. Identitas dan ekspresi gender, orientasi seksual, dan karakter seks
  4. Kontrasepsi untuk semua
  5. Kehamilan tidak direncanakan
  6. Kontribusi remaja

Dengan uraian di atas, menjadi jelas ya, bahwa pendidikan  HKSR tidak bicara tentang seks bebas atau hubungan seksual. Topik yang dibicarakan luas, kesehatan seputar alat dan organ reproduksi, juga kesehatan fisik, psikis, dan sosial. Menurut Riska, dengan mempelajari HKSR, setiap orang akan belajar tentang diri sendiri dan juga masa depan.

Sementara Fridanty menceritakan bagaimana lembaga tempatnya beraktivitas mencoba mengedukasi masyarakat melalui penyediaan jamban sehat dan akses air bersih. Selain itu, yayasan CIRMA juga bergerak membangun pengetahuan HKSR pada remaja meningat akses informasi di desa masih sangat terbatas.

“Jangankan berbicara tentang hak kesehatan seksual atau reproduksi, berbicara untuk kespro saja itu masih lumayan susah. Jadi kami berbicara masih mengenai kespro, masih secara umum. Tapi sedikit demi sedikit kami mulai menambah juga mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi,” ungkap Fridanty.

Meskipun akses informasi masih kurang dan air terbatas, tetapi dengan keterbatasan itu bukan sebagai penghambat remaja memiliki personal hygine. Yayasan CIRMA tetap memberikan edukasi bagaimana dengan air yang sedikit bisa untuk membersihkan tubuh semaksimal mungkin.

Ketika ada lembaga/yayasan sosial yang berkunjung, hal ini menjadi ruang diskusi bersama dengan warga. Namun yang menjadi kendala, informasi yang diberikan tidak bisa hanya sekali penyampaian, harus berulang kali, dan menggunakan bahasa sehari-hari yang masyarakat gunakan. Bahasa Indonesia atau bahasa buku tidak bisa digunakan. Misal, istilah haid pertama tidak dimengerti, jadi harus yang familiar dan lugas dengan menggunakan istilah setempat.

Ketika belajar mengenai kespro, umumnya anak-anak dan remaja merasa malu. Karena merasa ada orang asing secara tiba-tiba berbicara kespro, mereka pun merasa sungkan dan jadi tidak mau terbuka. Oleh karena itu diperlukan pendekatan khusus dalam membangun pemahaman mengenai hal-hal yang masih dianggap tabu ini. Terlebih jika ada teman-teman laki, para remaja perempuan jadi makin tidak mau berbicara.

Oleh karena itu, daripada berbicara secara publik, membagi remaja dalam kelompok-kelompok kecil untuk membahas kespro menjadi lebih efektif. Diharapkan dalam lingkaran yang lebih kecil ini, mereka jadi nyaman untuk saling berbagi.

Pendidikan HKSR

Riska dan Fridanty keduanya bersepakat bahwa materi HKSR harus masuk secara khusus di dalam kurikulum. Hal ini dalam rangka meruntuhkan tembok tabu di dunia pendidikan formal.  Selain itu, materi HKSR tidak dapat sekedar diselipkan di mata pelajaran lain dengan mengandalkan pemahaman dari guru saja. Hal ini untuk meminimalisir bias dari guru, karena beragamnya pemikirannya dan persepsi mengenai kespro yang tidak terlepas dari pendidikan yang selama ini merepresi. Oleh karena itu harus ada pedoman dari pemerintah mengenai hal ini lebih lanjut. Selain itu, penyusunan kurikulum juga harus melibatkan lembaga atau organisasi yang concern tentang HKSR yang berpengalaman di lapangan.

Orang tua juga harus terlibat aktif memberikan pendidikan seks secara berjenjang sesuai dengan usia anaknya. Pendidikan seks juga sama dengan pendidikan karakter. Ketika seorang anak ingin melakukan atau memutuskan sesuatu, mereka dapat mempertimbangkannya secara matang. Orang tua jadi pihak paling bertanggung jawab dalam mengajarkan nilai-nilai ini.

Nah, buat kamu yang ingin tahu lebih banyak tentang HKSR, carilah informasi dari buku dan sumber terpercaya ya, terutama dari lembaga swadaya masyarakat yang selama ini concern terhadap isu ini.  Dengan demikian, setiap kita dapat menumbuhkan sikap bertanggung jawab atas tubuh dan seksualitasnya dan sekaligus menghormati tubuh dan seksualitas orang lain.[]

Tonton siaran ulangnya di Facebook.com/jalastoria

Kontributor: Vera Fauziah

Digiqole ad