GPPI: Konsultasi CEDAW Review 37 Tahun Pasca Ratifikasi

 GPPI: Konsultasi CEDAW Review 37 Tahun Pasca Ratifikasi

Paparan KPPPA dalam Konsultasi CEDAW (16/10/21) (Sumber: GPPI)

 JAKARTA, JALASTORIA.ID – Pada 28-29 Oktober 2021, Indonesia akan menghadiri dialog konstruktif dengan Komite CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination againts Women).  Momen ini disambut oleh masyarakat sipil untuk menyuarakan berbagai isu yang menjadi perhatian Komite CEDAW. Antara lain, kegiatan bertajuk “Konsultasi CEDAW” yang diselenggarakan oleh Gerakan Perempuan Peduli Indonesia (GPPI) pada 16 sampai 26 Oktober 2021.

Dalam rangkaian kegiatan yang diawali pada 16 Oktober 2021 ini, GPPI juga mengajak masyarakat sipil untuk mereview kemajuan pelaksanaan CEDAW yang memasuki tahun ke-37 pasca ratifikasi. Sebagaimana diketahui, Indonesia telah meratifikasi Konvensi ini pada 24 Juli 1984 melalui UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. UU yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto itu menyatakan dalam salah satu butir pertimbangannya mengenai kesesuaian CEDAW dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Sebagai negara pihak dalam CEDAW, Indonesia berkewajiban melaporkan perkembangan pelaksanaan CEDAW di tanah air secara periodik kepada Komite CEDAW. Pada 2019, Indonesia telah mengirimkan laporan ke-8 perkembangan pelaksanaan Konvensi CEDAW kepada Komite CEDAW. Selanjutnya, Komite CEDAW memberikan tanggapan melalui list of issues pada 2020 yang kemudian direspons kembali oleh pemerintah Indonesia pada 2021.

 

Laporan dan Tanggapan

Selain pemerintah, organisasi masyarakat sipil di Indonesia juga menyampaikan laporan berupa laporan bayangan (shadow report) dan tanggapan terhadap list of issues Komite CEDAW.

Baca Juga: Perempuan dan Hak Asasi Manusia

“GPPI sudah membuat pandangan tertulis pada 19 September 2021 merepons 23 list of issues Komite CEDAW,” jelas Rita saat membuka diskusi Konsultasi CEDAW (16/10/21). Dokumen tersebut, jelas Rita, dapat diakses di website OHCHR.

Selain GPPI, juga tercatat CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) dan Komnas Perempuan melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, Komnas Perempuan menyampaikan laporan dan sekaligus tanggapan sebagai lembaga nasional hak asasi manusia yang berfokus pada isu anti kekerasan terhadap perempuan.

 

Catatan Masyarakat Sipil

Dialog konstruktif antara pemerintah Indonesia dan Komite CEDAW merupakan momen empat tahunan dalam upaya pemajuan hak perempuan berdasarkan CEDAW. Oleh karena itu, masyarakat sipil menyampaikan sejumlah catatan untuk optimalisasi upaya negara dalam memajukan hak perempuan dan sekaligus menghapuskan diskiminasi berbasis gender di Indonesia.

Antara lain, setelah 37 tahun ratifikasi Konvensi, “Indonesia belum meratifikasi Optional Protocol to CEDAW (OP CEDAW-Red),” ungkap Rita. Selain itu, Rita juga menyoroti masih kurangnya sosialisasi CEDAW kepada aparatur penegak hukum. Hal ini menyebabkan perspektif CEDAW tidak terimplementasi dalam proses hukum, terutama dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.

Rita juga menyoroti CEDAW yang masih belum sepenuhnya menjadi kerangka pembentukan legislasi (legislative framework) di Indonesia. Selain itu, prinsip CEDAW juga tidak secara eksplisit dituangkan dalam Konstitusi dalam proses amandemen UUD 1945 yang berlangsung pada 1999 sampai 2002. “Sehingga masih banyak UU yang diskriminatif, dan CEDAW belum menjadi pedoman bagi pembuat kebijakan,” ungkap Rita.

Di sisi lain, tambah Rita, RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai landasan mekanisme nasional untuk pemajuan perempuan belum terealisasi.

 

National Women’s Machineries

Mengawali rangkaian Konsultasi CEDAW, GPPI menyoroti national women’s machineries (mekanisme nasional pemajuan perempuan) sebagai salah satu isu yang diangkat oleh Komite CEDAW. Menurut GPPI, terdapat permasalahan dalam upaya pemajuan hak perempuan di Indonesia ketika kementerian yang sebelumnya menjalankan fungsi pemberdayaan perempuan digabung dengan fungsi perlindungan anak. “Penggabungan fungsi perlindungan anak melemahkan fungsi pemberdayaan perempuan,” jelas Rita.

Selain itu, KPPPA juga menghadapi berbagai tantangan dalam struktur pemerintahan Indonesia. Antara lain, menurut Staf Ahli Utama Kantor Staf Presiden Syvana Apituley, isu pembubaran kementerian dan minimnya anggaran. Tantangan lainnya terdapat pada posisi KPPPA sebagai kementerian koordinatif yang membatasi gerak KPPPA walaupun masalah yang dihadapi luas dan kompleks. Sebagai kementerian yang bukan mengoordinasikan melainkan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lainnya, terdapat kesulitan untuk mengundang sesama kementerian/lembaga.

Menurut Sylvana, karakter hirarkis birokrasi pemerintahan berpotensi memperlambat atau bahkan menjadi kendala koordinasi layanan bagi perempuan dan anak korban kekerasan. “Misalnya, dalam konteks pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal bagi korban atau eksekusi program strategis lainnya, koordinasi lintas kementerian/lembaga atau lintas dinas akan lebih efektif jika dilakukan oleh struktur lebih tinggi dalam hirarki pemerintahan,” jelasnya. Ia menambahkan, di tingkat pusat oleh kementerian koordinator dan yang setingkat, dan di tingkat daerah koordinasi itu lebih efektif jika diselenggarakan oleh sekretaris daerah atau yang setingkatnya di daerah.

Di tengah berbagai tantangan itu, Sylvana mencatat terdapat keberhasilan penguatan kelembagaan KPPPA pada 2 periode menteri yang terakhir. “Pada [periode] menteri Yohana, terdapat penambahan anggaran 300-400%, dan pada [periode] menteri Bintang, KPPPA mendapatkan tambahan tugas dan fungsi baru,” jelasnya.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2020, tugas dan fungsi baru yang diamatkan kepada KPPPA adalah penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan dan anak korban kekerasan yang memerlukan koordinasi lintas provinsi, nasional, dan internasional.

Selain KPPPA, Rita juga menyoroti Komnas Perempuan sebagai mekanisme nasional pemajuan perempuan sekaligus lembaga nasional hak asasi manusia. Menurut Rita, Komnas Perempuan sebagai lembaga nasional hak asasi manusia juga masih perlu dikuatkan.

Sementara menurut Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, berdasarkan fungsi yang melekat pada lembaga nasional hak asasi manusia, Komnas Perempuan tidak bisa disebut sebagai national women’s machineries. Berbeda dengan KPPPA sebagai lembaga eksekutif, Komnas Perempuan sebagai lembaga nasional hak asasi manusia menjalankan peran pengawasan kepada negara dalam pelaksanaan kewajiban pemenuhan hak warga negara.

Selain itu, Andy menjelaskan, berdasarkan Paris Principles, lembaga nasional hak asasi manusia juga harus memenuhi 8 kriteria, yaitu mandat yang luas untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia, dan fungsi yang luas yang memungkinkan lembaga menjalankan mandat dalam menyediakan saran, laporan dan pemantauan, penanganan pengaduan dan pendidikan hak asasi manusia, dan tanggung jawab lainnya. Kriteria lainnya yaitu independen dari pemerintah, mencerminkan pluralisme, memiliki sumber daya yang memadai, kerja kolaborasi dengan institusi negara dan organisasi masyarakat sipil, serta berperan di tingkat internasional.

Namun demikian, Komnas Perempuan pada tahun ini menghadapi tantangan baru terkait perubahan prosedur birokrasi di Komite CEDAW. Komite CEDAW mensyaratkan lembaga nasional hak asasi manusia berakreditasi A sebagai lembaga yang dapat berpartisipasi dalam dialog konstruktif dengan Komite CEDAW. Ketentuan ini berbeda dengan momen serupa di tahun 2012, di mana Komnas Perempuan dapat berpartisipasi penuh sekalipun belum mendapatkan akreditasi dari Aliansi Global Lembaga Hak Asasi Manusia (Global Alliance of National Human Rights Institution – GANHRI).

 

Penguatan KPPPA

Dalam kesempatan yang sama, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pemajuan hak perempuan di Indonesia. Apalagi, sebagaimana disampaikan oleh Deputi Perlindungan Hak Perempuan Ratna Susianawati, jumlah perempuan mencapai hampir separuh penduduk Indonesia, yaitu sebanyak 49.42 % atau 133,54 juta jiwa.

Upaya yang dilakukan pemerintah selaras dengan lima arahan presiden kepada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Yaitu, 1) Peningkatan pemberdayaan perempuan dalam kewirausahaan 2) Peningkatan peran ibu dan keluarga dalam pendidikan dan pengasuhan anak 3) Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak 4) Penurunan pekerja anak 5) Pencegahan perkawinan anak.

Misalnya, pembentukan kelembagaan terkait Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Sebagai bagian dari unit pelaksana teknis di daerah, menurut Ratna, UPTD PPA ini merupakan kekuatan dalam penanganan perempuan dan anak korban kekerasan.

Sekalipun berbagai upaya telah dilakukan, GPPI mencatat masih terdapat langkah yang harus dilakukan untuk mendorong kemajuan KPPPA sebagai national women’s machineries. Oleh karena itu, GPPI merekomendasikan agar KPPPA hanya menjalankan satu fungsi yaitu pemberdayaan perempuan.

Adapun CWGI mencatat RUU Keadilan dan Kesetaraan Gender sebagai peluang untuk menguatkan kelembagaan KPPPA. “Agar pengarusutamaan gender tidak hanya [dimandatkan] melalui Peraturan Presiden, tetapi melalui Undang-Undang,” jelas Koordinator CWGI Rena Herdiyani (16/10/21).

 Baca Juga: Sjamsiah Achmad: Untuk Kemitraan yang Adil, Setara, dan Tulus

Kerja Kolaborasi

Menurut Rita, masyarakat sipil mempunyai semangat kerjasama terkait implementasi CEDAW.  Dengan demikian, tujuan dari implementasi CEDAW diharapkan dapat dicapai dengan efektif. Sayangnya, menurut Rita, mekanisme koordinasi untuk melakukan pemantauan atas implementasi CEDAW di Indonesia belum tersedia.

Di sisi lain,  menurut Tenaga Profesional Lemhannas RI Ninik Rahayu, terdapat tantangan dalam implementasi CEDAW karena di masing-masing level pemerintah dan APH punya perspektif sendiri.  Demikian pula dengan masyarakat. Oleh karena itu, Ninik menyarankan untuk membangun satu strategi kerja kolaborasi. “Agar pekerjaan rumah bersama ini tidak selalu datang 5 tahunan,” pungkasnya. [MUK]

 

Digiqole ad