Tiga Tantangan Implementasi UU Penghapusan KDRT

 Tiga Tantangan Implementasi UU Penghapusan KDRT

Gambar (Tangkapan Layar Kick Off Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)

Tanggal 22 September 2004 UU Penghapusan KDRT diundangkan. UU yang mengusung semangat melindungi dan memenuhi hak perempuan sebagai kelompok rentan. Namun seiring perjalanannya, kasus KDRT masih terus berulang. Bahkan tak jarang KDRT menjadi siklus kekerasan yang melembaga di lingkup rumah tangga.

Direktur Eksekutif JalaStoria Indonesia Ninik Rahayu, dalam “Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan KDRT” pada Senin (4/9/2023) menegaskan betapa UU PKDRT menjadi salah satu jalan bagi perempuan korban untuk mencari keadilan. Meski begitu, hampir dua dekade implementasi UU PKDRT masih menyisakan banyak tantangan dan hambatan. Apa saja tantangan dan hambatannya?

1. Pandangan KDRT adalah Aib (Masih) Diyakini

Sejak dari proses legislasi, tantangan dan hambatan tak urung berkurang. Persoalan perspektif yang memposisikan dan mengkondisikan perempuan secara berbeda, utamanya di level sosial  pun mempersulit dalam proses legislasi. Mendobrak ruang privat, melawan tabu, dan mengikis rasa malu atas anggapan bahwa KDRT tidak pantas diungkap ke luar rumah.  Hal ini lantaran suami, sebagai pemegang otoritas dalam rumah tangga merasa menjadi si paling berkuasa. Posisi laki-laki ini bahkan dilegitimasi dalam Undang-Undang Perkawinan dengan menyatakan kalau laki-laki adalah kepala keluarga, pencari nafkah.

Jelang dua dekade UU PKDRT, tantangan ini masih mudah ditemui di masyarakat.

2. Relasi Kuasa dan Penilaian Buruk Perempuan Bekerja

Dari lima kasus besar yang terjadi kurun 5 tahun lalu, yakni 2018, menunjukkan KDRT masih terjadi dengan modus serupa. Akibat pola relasi yang tidak setara, pandangan yang menyatakan surga istri dengan taat pada suami sehingga menempatkan perempuan (istri) sebagai objek dalam keluarga.

Baca Juga: Cerita Korban Perkosaan dan KDRT yang Terancam Pidana

Dalam relasi sosial, penilaian baik dan buruk terhadap istri yang berkegiatan di ruang publik masih nyata. Sebagian lain, mungkin sudah menggeser pandangan tersebut dan membolehkan istri bekerja. Tapi sebagian lain masih berpandangan perempuan bersuami dilarang keluar rumah karena istri di bawah tanggung jawab suami.

3. KDRT (Masih) Terjadi Dekat Pusat Pemerintahan

Berkaca dari kasus KDRT yang terjadi di Jakarta Pusat, suami menginjak tubuh istri, menunjukkan bahwa KDRT juga jadi tantangan di wilayah yang dekat dengan kekuasaan, dekat dengan informasi, bahkan dekat dengan UU PKDRT disahkan. Ini juga menjadi tantangan.

“Saya meyakini bahwa si suami ini tahu ada Undang-Undang PKDRT. Kalaupun dia tidak tahu, begitu diundangkan dia dianggap tahu. Tapi di Jakarta Pusat, posisinya yang dekat dengan informasi, ada peristiwa suami menginjak tubuh Istri sampai mengalami luka dalam,” terang Ninik.

Jelang dua dekade sejak UU PKDRT diundangkan, refleksi menjadi penting sebagai upaya mitigasi atau pencegahan baik dalam penanganan maupun pemulihan. Peningkatan angka kasus KDRT bukan berarti tidak ada upaya pencegahan dan penanganan, melainkan akses korban untuk melapor jauh lebih terbuka dan mudah diakses.

“Masyarakat mulai memiliki pemahaman yang cukup bahwa kalau terjadi kekerasan di dalam rumah tangga, mereka punya hak untuk melaporkan,” katanya.

Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

Kasus KDRT di kalangan publik figur bahkan bisa jadi contoh baik bagi keluarga-keluarga yang mengalami KDRT untuk kemudian berani melapor.

Ada tiga hal yang menjadi refleksi dari implementasi UU PKDRT. Pertama, masih banyak kasus KDRT di mana korban takut untuk melapor. Kedua, dalam konteks  akses, adanya delik aduan dalam Pasal 44 dan Pasal 45 UU PKDRT seringkali digunakan penegak hukum untuk menyelesaikan KDRT dengan cara musyawarah mufakat. Ketiga, menyelesaikan perkara melalui tokoh agama, didamaikan dengan keluarga atau orang tua.

“Di satu hal harus kita akui undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga itu tujuannya memang mewujudkan keluarga yang bahagia. Artinya perdamaian atau kesepakatan untuk memperbaharui keluarga itu penting, tidak bisa dikatakan bahwa pokoknya harus dipidana, tidak begitu juga penyelesaiannya. Tetapi memang harus dipastikan, perdamaian pun harus menggunakan pendekatan efek jera bagi pelaku,” tegas Ninik. [Nur Azizah]

 

Sumber:

Presentasi Ninik Rahayu dalam “Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan KDRT.” Kerja sama KPPPA dan JalaStoria, Senin 4 September 2023.

Kegiatan dapat disimak melalui tautan: https://www.youtube.com/watch?v=L9cihirGULs

 

 

 

Digiqole ad