Jelang Dua Dekade UU PKDRT, Ini 4 Fakta yang Ada
UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) genap berusia 19 tahun. Jelang dua dekade sejak diundangkan, faktanya kekerasan terhadap perempuan di ranah privat tak berkesudahan.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Eni Widiyanti, S.E., MPP., M.S.E menyatakan, perempuan dan anak merupakan SDM yang sangat penting, harus dilindungi dan berdaya. Sebab, di lingkup nasional, perempuan mengisi hampir setengah dari total populasi penduduk Indonesia. Sedangkan anak mengisi hampir sepertiga dari total populasi penduduk. Ini menunjukkan betapa perempuan dan anak punya potensi luar biasa. Kendati begitu, jaminan perlindungan terhadap perempuan dan anak belum sepenuhnya terlaksana.
Dalam “Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)” yang digelar Senin (4/9/2023) melalui zoom meeting, berikut empat fakta yang disampaikan KPPPA yang masih menjadi target kolaborasi bersama baik pemerintah maupun masyarakat untuk terus menghapus kekerasan dalam rumah tangga.
- KDRT Masih Tinggi dalam Setiap Survei
Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2021 menunjukkan, 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik atau kekerasan seksual.
Baca Juga: Bayang-bayang Broken Home bagi Korban KDRT
Dalam survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021 mengungkap, 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya, baik itu kekerasan fisik, seksual, maupun kekerasan emosional.
Berdasarkan data SIMFONI PPPA dari Januari-Juni 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami perempuan adalah KDRT masih tertinggi yakni sebesar 48,04% (7.649 kasus) diikuti kemudian fasilitas umum, tempat kerja, sekolah dan lembaga pendidikan.
Sementara itu, temuan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) juga mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi. Sepanjang tahun 2022 hingga Juni 2023 masih terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang. Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran sejumlah 2.199 kasus.
Adapun untuk kasus kekerasan terhadap anak, sebanyak 25.802 anak menjadi korban dari 23.363 kasus kekerasan.
- KDRT Masalah Serius
Tingginya angka KDRT menandakan ada masalah serius di negara ini. Angka yang bersumber dari pelaporan ini tentu tidak sebanding dengan kasus KDRT yang masih terus terjadi di masyarakat. Untuk itu, salah satu tugas dan fungsi KPPA adalah sebagai penyedia layanan rujukan akhir bagi perempuan korban kekerasan yang memerlukan koordinasi tingkat nasional, lintas provinsi, dan internasional. Perhatian, komitmen, dan peran berbagai stakeholder dalam upaya pencegahan menjadi salah satu pilar penting untuk memutus mata rantai terjadinya kekerasan.
Baca Juga: Diskriminasi Hukum terhadap Perempuan Korban KDRT
- Penghapusan KDRT Isu Prioritas Arahan Presiden
Amanat ke-3 Presiden Joko Widodo kepada Kementerian PPPA adalah “Penurunan kekerasan terhadap perempuan dan anak.” Ini termasuk upaya penghapusan KDRT. Adanya UU PKDRT menjadi bukti bahwa negara hadir untuk mewujudkan tujuan “melindungi segenap bangsa Indonesia” khususnya pada kelompok rentan yang menjadi korban, yaitu perempuan. Sebab, perempuan lebih banyak menjadi korban. Sebab, dari pengakuan laki-laki yang menjadi korban, perempuan yang menjadi pelaku kekerasan seringkali sudah lebih dulu menjadi korban KDRT tersembunyi. Terlebih, laju pelaporan perempuan korban pun penanganan kasusnya bisa jadi tidak secepat penanganan pihak pasangannya. Ini juga masih menjadi permasalahan dalam penegakan hukum kasus KDRT.
- Kolaborasi Kampanye UU PKDRT
Sosialisasi bersama UU PKDRT masih harus dilanjutkan. Ada dua dimensi penghapusan KDRT, yakni, pencegahan dan penanganan. Pencegahan berarti mengerahkan segala upaya untuk mengatasi akar masalah terjadinya KDRT. Pencegahan agar masyarakat tidak menganggap KDRT sebagai hal lumrah dan wajar sehingga KDRT terus berulang.
Sedangkan penanganan adalah mengerahkan segenap sumber daya yang tersedia untuk menindak pelaku, memberikan pelindungan dan pemulihan kepada korban. Ada kolaborasi unsur negara dalam hal penanganan. Yaitu aparat penegak hukum (APH) dan unit pelaksana teknis daerah perlindungan perempuan dan anak (UPTD PPA). Keduanya berperan penting dalam menyediakan layanan yang dibutuhkan korban agar dapat pulih dan berdaya.
***
Tanggal 22 September 2004 UU PKDRT diundangkan. Jelang usianya menuju dua dekade, masih banyak langkah yang harus diambil bangsa ini agar perempuan dan anak terlindungi sepenuhnya dari KDRT. [Nur Azizah]
Sumber:
Sambutan Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Eni Widiyanti, S.E., MPP., M.S.E dalam Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kerja sama KPPPA dan JalaStoria, Senin 4 September 2023.
Kegiatan dapat disimak melalui tautan: https://www.youtube.com/watch?v=L9cihirGULs