Bayang-bayang Broken Home bagi Korban KDRT
Oleh: Uung Hasanah
Suatu hari saya bertanya kepada salah seorang teman di tengah pertemuan kami di sebuah kafe, “Kamu masih bertahan dengan dia? Nggak mau gugat cerai?” Diketahui teman saya adalah istri yang baik dan penurut, tapi jika ada kesalahan sedikit dalam pekerjaan rumah tangganya, seperti lupa mencuci baju suami yang ingin dipakai keesokan hari, memasak makanan yang terlalu asin, atau membeli barang mahal yang dianggap unfaedah, lantas ia akan mendapat umpatan dan tak jarang mengalami kekerasan fisik.
Bagi saya, hubungan yang demikian semena-mena selayaknya segera diakhiri. Nilai pernikahan yang penuh kasih dan pengertian sudah tidak tampak lagi. Namun, sesaat kemudian saya merasa tercengang dengan jawabannya, ”Aku gak bisa cerai demi masa depan anak-anak. Mereka masih butuh sosok ayah,” dia memberi jeda satu tarikan nafas. Ragu-ragu dia melanjutkan, “Kalau kita cerai, aku takut anak-anak jadi nakal karena broken home.”
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Imron Muttaqin dan Bagus Sulistyo dalam jurnal studi gender dan anak, menunjukkan dampak broken home mulai dari perilaku agresif anak, kenakalan, prestasi sekolah menurun. Dampak lainnya adalah perilaku menyimpang dan gangguan kejiwaan berupa broken heart, broken integrity, broken value, dan broken relation.
Dampak negatif seperti di atas, menjadi beban moril tersendiri bagi ibu. Apalagi di tengah masyarakat kita yang patriarkis yang menjadikan tanggung jawab pengasuhan anak cenderung kepada ibu semata. Tidak heran, jika dari banyaknya kasus KDRT tidak sedikit yang berakhir damai dengan alasan pengasuhan anak. Teman saya, contohnya.
Lalu pertanyaannya, benarkah perempuan yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat melakukan tugas pengasuhan dengan baik kepada anaknya? Sebuah artikel “Dampak Psikologis Kekerasan Terhadap Perempuan” yang ditulis Azelia Trifiana dan ditinjau oleh dr. Anandika Pawitri, dampak KDRT meliputi kerugian fisik dan mental. Di antaranya, secara fisik, tubuh mengalami luka serius, siklus tidur tidak teratur, gangguan pola makan, hingga sensitif terhadap bunyi atau sentuhan. Secara psikologis, korban KDRT mengalami trauma, emosi yang tidak stabil, sulit berkonsentrasi, depresi, hingga post-traumatic stress disorder.
Baca Juga: Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku
Pengasuhan anak bukan sesuatu yang mudah. Kesehatan fisik dan mental menjadi syarat utama bagi pengasuh untuk menunjang tumbuh kembang anak dengan baik. Perlu digarisbawahi, tanggung jawab pengasuhan adalah kewajiban orang tua, yaitu ayah dan ibu. Perkembangan anak semestinya diperhatikan oleh kedua orang tua dengan komunikasi dan hubungan yang baik.
Haruskah ibu selalu mengalah? Haruskah ibu yang mengalami KDRT berpura-pura baik-baik saja demi pertumbuhan anak?
Broken Home Bukan Broken Family
Broken home diambil dari bahasa Inggris, broken artinya kehancuran, sedangkan home memiliki arti rumah. Broken home memiliki arti kehancuran yang ada di dalam rumah tangga, diakibatkan adanya pertengkaran yang mengakibatkan cerai dan atau berpisah karena meninggal. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam statistik Indonesia 2022, pada tahun 2021 terdapat 447.743 kasus perceraian. Angka ini melonjak jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya di mana tercatat perceraian sebanyak 291.677 pada 2020.
Mari perhatikan media sosial hari ini, banyak perempuan yang berani bersuara, misalnya dalam kasus pelecehan yang terjadi di pondok pesantren, lembaga pendidikan, ataupun kekerasan dalam rumah tangga. Bukan tanpa sebab keberanian itu muncul bersamaan dengan pemikiran masyarakat yang mulai terbuka serta dukungan oleh komunitas. Dulu, perceraian dianggap sebagai aib keluarga dan mati-matian mendesak supaya rumah tangganya tetap utuh. Tidak peduli seberapa parah kondisinya, perempuan sering kali dipaksa bertahan dan bergelantungan pada ranting keharmonisan keluarga yang rentan patah.
Namun, hari ini pola pikir masyarakat sudah mulai terbuka dan menerima bahwa perceraian bukanlah aib keluarga, meski tidak mesti jadi jalan keluar utama, perceraian bisa jadi solusi efektif.
Perceraian menciptakan broken home, bukan broken family. Terdapat perbedaan diantara (terpisah) keduanya. Broken home akan mengakibatkan suami dan istri tidak lagi tinggal bersama. Tapi keduanya tentu bisa berhubungan baik dan satu sama lain tetap memiliki kesadaran sebagai keluarga besar, terutama bagi anak-anaknya. Broken family adalah kehancuran keharmonisan antara suami dan istri. Di antara keduanya terjalin hubungan toxic dan hal ini bisa terjadi pada pasangan yang bercerai ataupun yang masih bersama. Intinya, broken family adalah suatu hubungan yang jauh dari nilai-nilai kekeluargaan.
Baca Juga: Di Tahun Kelima Perkawinanku
Jika suatu hubungan suami istri yang tidak harmonis dipaksa dipertahankan demi anak, mereka memang tidak bercerai (broken home) tetapi mereka toxic (broken family). Pengasuhan anak membutuhkan keluarga yang harmonis, komunikasi terjalin dengan baik, perhatian yang tidak kurang, dan kuncinya pengasuhan dilakukan oleh ibu dan ayah. Selama nilai-nilai kekeluargaan itu masih ada di antara keduanya, maka kemungkinan besar pengasuhan anak akan berjalan baik, baik di dalam satu atau rumah berbeda.
Meski arus informasi cepat dan mudah diakses, faktanya tidak sedikit perempuan yang masih terperangkap dalam hubungan rumah tangga yang toxic (broken family). Saya tidak bisa meminta teman saya untuk bercerai karena pegambilan keputusan itu harus berdasarkan kesadaran serta keberanian orang yang mengalaminya sendiri. Tetapi hal baik yang bisa dilakukan adalah memberikan dukungan serta terus gencar mengkampanyekan family education di berbagai lini masa. Semoga dengan itu, mampu memberinya keberanian dan mengambil keputusan terbaik. Biar bagaimanapun kekerasan tidak dapat dibenarkan. Women support women.[]
Mahasiswa pascasarjana ini menerbitkan buku pertamanya “Menggugat Feminisme” dengan nama pena Uunk Crispy
Sumber:
http://jurnaliainpontianak.or.id/index.php/raheema/article/download/1492/pdf
https://www.sehatq.com/artikel/dampak-psikologis-kekerasan-terhadap-perempuan/amp