Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku

 Ketika Korban KDRT Tidak Mau Melaporkan Pelaku

Gambar (Sumber: Free-photo/Freepik.com)

Oleh: Ema Mukarramah

Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) umumnya dilakukan oleh suami kepada istri, dan bahkan terhadap anak. Seringkali, KDRT terjadi berulang kali. Intensitasnya pun menjadi semakin meningkat.

Apabila terjadi KDRT, ada berbagai upaya yang dapat dilakukan korban untuk mencari pertolongan agar KDRT itu dapat dihentikan. Misalnya, menceritakan kepada keluarga terdekat atau aparat desa terdekat, meminta bantuan kepada lembaga penyedia layanan, atau melaporkan ke pihak yang berwenang.

Namun demikian, di masyarakat kerap kali dijumpai terdapat korban KDRT yang seolah hanya pasrah dengan keadaan. Korban nampak seperti tidak melakukan upaya untuk keluar dari situasi yang tidak manusiawi tersebut. Bahkan, tak sedikit pula yang hanya menyimpan sendiri situasi itu tanpa diketahui pihak manapun.

Mengapa situasi itu terjadi? Kemudian dalam situasi itu, apa yang harus dilakukan? Simak ulasannya berikut ini:

  1. Tidak Melapor Bukan Berarti Pasrah

Apabila mengetahui telah terjadi KDRT namun korban sama sekali tidak melapor kepada siapapun, tidak perlu buru-buru menyimpulkan bahwa korban hanya pasrah. Dalam situasi tersebut, terlebih dahulu perlu didalami hal yang membuat korban tidak berani atau tidak mau melapor.

Pihak yang peduli terhadap korban hendaknya melakukan pendekatan untuk menggali hal-hal yang tidak terungkap di permukaan yang menjadi faktor penghambat korban untuk melapor.

Baca Juga: Dukungan untuk Perempuan Korban KDRT

  1. Tidak Melapor Bukan Berarti Tidak Butuh Melepaskan Diri dari KDRT

Dalam hal korban tidak melapor, hal itu juga bukan berarti korban tidak memerlukan pertolongan. Justru dalam situasi tersebut, korban memerlukan dukungan untuk dapat menguatkan diri sehingga dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya dan keluarganya.

Seorang penyintas menuturkan, melalui pendekatan dari sejumlah pihak yang melakukan pendampingan, keluarga penyintas akhirnya dapat mengambil keputusan untuk berpindah tempat tinggal agar terhindar dari pelaku.  Mereka memprioritaskan keselamatan keluarga penyintas sekalipun tidak menempuh proses hukum untuk melaporkan KDRT yang dilakukan pelaku. Hal itupun dilakukan dengan pertimbangan bahwa resiko yang akan dialami keluarga penyintas jauh lebih tinggi jika melaporkan pelaku.

Dalam peristiwa lainnya, dengan mempertimbangkan anak, terdapat korban yang mencoba terus bertahan dalam situasi kekerasan yang terus terjadi. Keputusan ini tentu tetap perlu dihormati, yang perlu dimaknai tidak sama dengan membiarkan kekerasan itu terjadi lagi. Jika menghormati keputusan itu dilakukan dengan mengacuhkan fakta kekerasan yang terus menerus dialami korban, ini artinya hanya menunda korban jatuh dalam potensi situasi yang membahayakan keselamatan.

 Baca Juga: Korban KDRT, Kenyang Dipukuli dan Disalahkan

  1. Menghadirkan Pihak Keluarga yang Memperingatkan Pelaku

Pelaku kekerasan perlu menyadari bahwa KDRT tidak boleh dilakukan. Sayangnya, sebagian masyarakat masih menormalkan perbuatan itu untuk dilakukan.

Dalam situasi di mana perempuan dan anak yang menjadi korban terhambat untuk melapor, hendaknya ada pihak keluarga yang menghentikan kekerasan itu. Harus ada keluarga yang memperingatkan pelaku, terutama pihak keluarga yang paling berpengaruh di lingkungan tersebut. Namun, hendaknya pihak keluarga tersebut tentu haruslah yang berperspektif gender, yang antara lain tidak menyatakan sikap dan ungkapan yang menyalahkan korban.

  1. Meminta Bantuan kepada Pihak Keluarga dari Pihak Pelaku

Secara khusus, disarankan untuk meminta bantuan kepada pihak keluarga dari pihak pelaku. Terutama pihak yang dihormati di lingkungan keluarga pelaku. Umumnya, pihak tersebut merupakan pihak yang didengarkan atau dituakan atau pihak yang menjadi tujuan keluarga dalam mencari nasihat. Kepada pihak yang dihormati tersebut, hendaknya disampaikan mengenai perlakuan pelaku terhadap korban.

Saran ini, sekali lagi, tentu dengan catatan bahwa pihak tersebut hendaklah bukan pihak yang justru akan menyuruh korban hanya diam atau menganggap KDRT itu sendiri sebagai aib yang harus ditutupi. Demikian pula bukanlah pihak yang menganggap istri sebagai pihak yang lebih rendah dari suami sehingga harus taat patuh terhadap apapun kehendak suami.

Baca Juga: Perlindungan Perempuan dan Anak Korban KDRT

  1. Mencari Pertolongan ke Luar Lingkaran Keluarga

Namun demikian, tidak sedikit pihak keluarga yang justru tidak memberikan dukungan kepada korban. Sebaliknya, mereka malah mendukung pelaku atau tidak mengambil tindakan apapun dengan membiarkan kekerasan itu terus terjadi kepada korban.

Di sini, pihak yang mengetahui kekerasan yang dialami korban hendaknya memberikan informasi agar korban dapat mencari pertolongan keluar lingkaran keluarga. Misalnya, informasi layanan pengaduan, pemulihan psikososial, rumah aman, atau lainnya. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan kebutuhan korban dan memastikan keamanan dan keselamatan korban. Tentu dengan sebelumnya dilakukan pendekatan sehingga pilihan yang diambil sesuai dengan kebutuhan korban.

Namun ketika sebelumnya tidak ada yang mengetahui KDRT itu terjadi, pada akhirnya korban lah yang menentukan pencarian saluran bantuan dari pihak lain yang ia percayai. Misalnya, dengan bercerita kepada rekan kerja, pemerintahan setempat mulai dari lingkungan RT/RW, atau ke lembaga penyedia layanan yang melakukan pendampingan pada korban. Hal itu sangat dimungkinkan dengan dukungan kampanye dan upaya penyadaran yang meluas mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.

  1. Utamakan Pemulihan Korban

Ketika korban tidak melapor, bisa jadi korban tidak mengakses pemulihan yang seharusnya ia peroleh. Korban pada akhirnya harus mencari cara sendiri untuk pulih dari dampak kekerasan yang terjadi. Atau, justru korban menjadi semakin terpuruk karena dampak kekerasan sudah sangat membebani.

Ini tentu sama sekali bukan situasi ideal, sehingga siapapun yang mengetahui adanya korban yang membutuhkan pertolongan, hendaknya memberikan informasi dan membantu korban untuk mengakses pemulihan. Terutama agar dampak KDRT itu tidak sampai mengganggu kesehatan mental korban.

Baca Juga: Pengaruh Mental pada Perempuan dan Anak akibat KDRT

***

Tak seorangpun yang akan merasa bahagia terkungkung dalam rumah tangga yang dipenuhi kekerasan. Sebaliknya, dominasi pelaku akan semakin menguat ketika tidak ada pihak keluarga atau pihak lainnya menghentikan pelaku dan mengulurkan tangan kepada korban yang tidak berdaya. Oleh karena itu, diamnya korban bukan berarti tidak membutuhkan pertolongan. []

Senang menulis seputar isu hukum, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak

 

Tulisan ini terinspirasi dari percakapan di grup chat Sahabat Jala Storia pada 30-31 Mei 2022. Penulis menyampaikan terima kasih kepada para sahabat yang telah berbagi inspirasi dan pengalamannya: Kak S di Sultra, kak N di Jakarta, kak R di Sultra, kak I di Sulsel, dan rekan-rekan lainnya.

 

 

Digiqole ad