Korban KDRT, Kenyang Dipukuli dan Disalahkan
Penceramah yang juga seorang artis Oki Setiana Dewi perlu belajar lebih banyak dan berempati dengan sesama perempuan sebelum dia mengucapkan tentang pentingnya perempuan menempatkan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dialami dalam kehidupan berumah tangga. Apalagi menganggap perempuan yang mengalami KDRT kerap ‘lebay’ saat menceritakan kasusnya. Tentu pengalaman setiap perempuan dalam berumah tangga berbeda, termasuk menghadapi permasalahan yang berbeda. Namun, menganggap kasus kekerasan dalam rumah tangga sebagai sebuah aib yang harus ditutupi jelas merupakan pernyataan yang salah besar.
Sebagaimana pengalaman yang kuhadapi selama menjadi istri, ibu, dan anak. Usiaku lima puluh tahun lebih. Kawin dengan suami pertama, aku mempunyai dua anak, perempuan dan laki-laki. Kami bercerai karena suami selingkuh. Lalu kawin dengan suami kedua, kami memiliki dua anak laki-laki. Suami kedua ini seorang duda beranak lima. Pertemuan dengan suami kedua ini adalah jawaban doa saat masa persiapan pemberangkatan menjadi tenaga kerja wanita. Di dalam rumah penampungan aku ragu antara harus berangkat atau tidak meskipun jelas akan berangkat. Namun, ada luka berat karena harus meninggalkan dua anak yang masih kecil yang justru dikuasai mantan suami. Sebagai ibunya, yang berdasarkan putusan pengadilan mendapatkan kuasa penuh mengasuh dua anak justru tak bisa membawa mereka, jangankan membawa, melihat saja aku tak bisa. Tiba-tiba aku merasa seperti sendiri. Dalam kondisi kalut justru semua keluarga besar menyalahkanku mengapa menggugat cerai suami. Tak ingin disalahkan aku memilih memutuskan mendaftar menjadi TKW ke Saudi.
Baca Juga: Kekerasan terhadap Perempuan dan Upaya Pemberdayaan Korban
Dalam kekalutan, aku bertegur sapa dengan seorang teman yang sejak tahu kondisi kehidupan rumah tanggaku dia mengenalkan dengan laki-laki setengah baya duda dengan lima anak yang masih kecil-kecil, yang kemudian menjadi suamiku. Datanglah lelaki itu ke rumah penampungan dan menebusku, dan menyatakan diri akan menikahiku sebagai istrinya. Lalu menikahlah kami secara sederhana.
Dalam perkawinan dengan lima anak yang masih kecil tak mudah. Sebagai ibu baru aku yang mengasuh dan merawat kelima anak sampai anak-anak beranjak besar, dan kemudian satu per satu anak-anak yang besar masuk ke pesantren. Sementara yang kecil-kecil masih tinggal bersama kami, akulah yang mengasuh mereka. Suami bekerja di sebuah kampus swasta di bagian administrasi.
Aku hamil anak pertama dengan sambil mengasuh tiga anak yang masih hidup bersama kami, dan empat tahun kemudian hamil kembali anak kedua.
Perjalanan perkawinan kami tidak seperti kehidupan normal pasangan pengantin lainnya. Aku lebih sering diperlakukan sebagai pengasuh ketimbang sebagai istri. Tidak pernah ditanya apakah merasa capek atau tidak, atau sekadar ditanya apakah aku ingin makan sesuatu yang ingin kumakan? Lahir anak kedua peristiwa besar terjadi.
Baca Juga: Di Tahun Kelima Perkawinanku
Anak pertama dari perkawinan pertamaku datang ingin tinggal bersama kami. Kami menerimanya dengan sukacita. Sampai kemudian anak perempuanku pamit ingin tinggal kembali bersama neneknya di kota yang jarak tempuh dengan naik bus sekitar lima jam dari tempat kami tinggal. Aku ingat Ia menangis berderai air mata, kukira karena kangen dengan neneknya aku tak berpikir macam-macam tentang tangisannya. Kuantarkan ia ke kota tempat tinggal neneknya tanpa berpikir yang aneh-aneh dengan membawa kedua anak laki-lakiku yang masih kecil-kecil. Tak kusangka, saat hendak kembali pulang ibuku menceritakan pengalaman yang dialami anak perempuanku. Kepada neneknya anak perempuanku cerita telah beberapa kali digerayangi bapak tirinya. Lebih dari sekali suami keduaku memperlakukan anakku sebagai fantasi seks. Ia menyelinap masuk kamar dan menggerayangi paha dan melepas celana dalam anakku dengan ancaman. Dia melakukannya selalu ketika aku pergi keluar rumah. Aku ingat suatu kali aku pernah memergoki suami menciumi celana dalam anak perempuanku. Tetapi kala itu aku tak berpikir macam-macam.
Mendengar pengakuan anak perempuanku yang disampaikan ibuku membuat darahku mendidih. Sesampainya di rumah kutanya suami dan ia tak membantah. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain menangisi perbutannya dan menatapnya nanar tak percaya. Sejak saat itu aku kembali patah hati. Berpikir memutuskan untuk meninggalkannya membuatku kalut, apalagi saat melihat dua anak laki-laki hasil perkawinan dengannya semakin tumbuh besar dan membutuhkan biaya sekolah yang tak sedikit.
Baca Juga: Pelecehan Seksual Dekat dengan Perkosaan
Sejak peristiwa itu hubunganku dengan suami tak lagi harmonis. Dan pertengkaran sering terjadi. Apalagi selama pandemi, gaji yang ia berikan hanya sebanyak Rp.500.000. Di depan anak-anaknya yang kurawat sejak kecil hingga berkeuarga suamiku sering menyalahkan dan menyudutkanku, sama seperti anak-anaknya yang tak pernah menyapaku atau menanyakan keadaanku.
Tak terasa anak perempuanku sudah besar, lulus sekolah menenah atas dan bekerja. Dari dialah aku mendapatkan jatah bulanan tiga kali lipat dari pemberian suamiku. Suatu kali aku bertanya ke suami, mengapa ia hanya memberikan gaji yang tidak akan cukup untuk makan sebulan untuk berempat. Tak menjawab pertanyaanku ia justru menatapku nanar, mencekik, menaboki mukaku. Aku hanya bisa menjerit-jerit menahan sakit dan tak kuat melawan tenaganya yang besar. Kuhitung ia melakukan kekerasan dalam rumah tangga selama lebih dari tiga kali selama pandemi.
Terakhir aku tak kuat karena ia mengulang KDRT yang sama. Kali ini aku melawan. Saat ia menampar mukaku, menendang tubuhku aku mengatakan akan meninggalkannya. Tak kusangka, ia meyeretku ke kamar. Semula ia memukuliku di ruang tamu di depan kedua anak laki-lakiku. Di kamar mukaku dibenturkan ke pinggir ranjang, leherku ditekan. Aku menjerit meminta pertolongan. Beruntung anak lelakiku yang baru lulus sekolah dasar mengancam akan memukul bapaknya jika tak melepaskanku dari cengkeramannya.
Dalam kondisi luka batin, fisik, aku sudah tak bisa lari kemana-mana lagi. Keluargaku pernah memarahiku saat aku mengadukan peristiwa yang kualami.
Kata mereka “Dalam rumah tangga bertengkar itu biasa. Kamu saja yang lebay. Bertengkar begitu saja diceritakan ke orang lain”.
Mendengar respon saudaraku hatiku hancur. Ucapan menyalahkanku karena menggugat cerai suami pertama pernah mereka dilontarkan. Kedua, keluargaku tak membelaku saat anak perempuanku mendapatkan kekerasan seksual, bahkan keluarga besarku menyarankan supaya masalah ini diselesaikan baik-baik, jangan sampai ada keributan, “Kamu pernah menjanda. Jangan sampai menjanda kedua kali” ancam mereka menakut-nakuti. Dan ketiga, saat beberapa kali mendapat KDRT keluarga juga bergeming.
Baca Juga: Masa Pandemi, Ke mana Korban KDRT Mencari Rumah Aman?
Semua peristiwa ini membekas dan membuat luka berat di hati. Keinginan untuk meninggalkannya selalu muncul sama besarnya dengan ketakutan jika meninggalkannya. Ketakutan tak bisa menghidupi kedua anak yang semakin tumbuh besar. Mengingat usia yang tak lagi muda, bisa apa aku jika bercerai lagi. Kedua, keluargaku sudah tak mau lagi menjadi tempat berbagi. Jangankan menampungku jika aku meninggalkan suami, mendengar curhatan masalahku saja mereka enggan, lebih banyak menyeramahi dan menyalahkanku. Aku pernah beberapa kali kebingungan, berpikir untuk mengakhiri hidup, tetapi anak-anak selalu membuatku kembali tersadar, bahwa mereka membutuhkanku.
Sampai kemudian keinginan itu tinggallah keinginan. Aku tak pernah meninggalkannya dan sampai sekarang masih tinggal bersamanya. Jangan tanya bagaimana kehidupanku. Aku tak lagi punya harapan dan hanya menunggu keajaiban datang.
Jakarta, Januari 2022.
Sebagaimana diceritakan penyintas pada Januari 2022, iIdentitas penyintas ada pada JalaStoria.