Pengaruh Mental pada Perempuan dan Anak akibat KDRT
Saya adalah anak perempuan penyintas KDRT. Ayah saya selalu melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kepada saya semenjak saya berusia 2 tahun. Ia juga melakukan KDRT kepada Ibu saya. Bentuk KDRT tersebut berupa ancaman, bentakan, pukulan, hingga kekerasan menggunakan pisau dan batu bata. Pisau tersebut diarahkan kepada saya sebagai ancaman, sedangkan batu bata dilemparkan ke kepala Ibu saya . Awalnya semua terasa baik-baik saja. Toh saya sudah terbiasa dengan hal tersebut karena sudah saya alami sejak usia dini.
Akan tetapi mulailah muncul beberapa keanehan dalam diri saya. Ketika saya beranjak usia 21 tahun, saya mulai merasa ketakutan, mendengar suara aneh dan merasa diikuti kemanapun saya pergi. Saya pikir, “ah paling hanya kelelahan,” sedangkan kekerasan pun terus terjadi. Sampai suatu ketika, saya melihat sosok laki-laki membawa pisau mendekat ke arah saya. Saya berteriak, hingga mengalihkan perhatian kedua orang tua saya yang sedang bertengkar.
Akhirnya, saya dibawa ke Poli Sehat Jiwa di Rumah Sakit Jiwa terdekat. Saya didiagnosa menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan Skizofrenia tipe paranoid. Psikiater saya mengatakan, saya mengalami banyak trauma yang membuat otak saya tidak bekerja dengan baik. Kekerasan demi kekerasan terekam jelas oleh otak saya sedari saya kecil, menyebabkan mental saya terganggu. Saya tidak bisa bekerja dengan baik dan harus meminum obat seumur hidup saya untuk membantu saya bekerja dan beraktivitas seperti biasanya. Halusinasi yang timbul biasanya berupa sosok ayah saya memegang benda tajam dan hendak mengejar saya. Atau suara-suara yang datang ketika saya bekerja, suara jeritan Ibu saya meminta tolong, suara anak kecil menangis dan suara perempuan yang memanggil nama saya sembari terisak. Terkadang muncul juga suara yang membuat saya drop seperti suara ayah saya yang terus menghina saya, atau mematahkan semangat saya. Oleh karenanya, saya tidak bisa hidup tanpa bantuan obat sedikitpun.
Barulah saya sadar bahwa KDRT berpengaruh kepada tumbuh kembang seorang anak dalam keluarga. Akibat dari KDRT bukan hanya berpengaruh secara fisik, melainkan juga secara psikis. Mental seorang korban KDRT sangat dipengaruhi dengan kekerasan yang diterimanya. Bisa saja mereka terlihat biasa saja, akan tetapi mentalnya sudah terkoyak sejak kekerasan dalam rumah tangga itu dimulai.
Apakah setelah mengetahui hal ini kekerasan di rumah saya berakhir?
Tidak. Kekerasan yang terjadi malah semakin menjadi. Sampai akhirnya, psikiater mendiagnosa Ibu saya menderita PTSD layaknya saya. Pada titik ini, Ibu saya pun harus mengonsumsi obat-obatan setiap harinya. Akan tetapi, masih ada sosok Ibu hebat di dalam dirinya. Ia masih terus bekerja keras demi pengobatan kami berdua hingga detik ini.
Saya sangat sedih, karena saya kehilangan masa kecil yang harusnya bahagia menjadi suatu pengalaman traumatis yang tidak bisa saya hapuskan dari memori ingatan saya. Akhirnya saya dan Ibu saya memutuskan untuk pergi sementara waktu ke rumah kerabat, sembari menjalani pengobatan rutin. Kami berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya karena ayah terus mengejar kami.
Untuk pasangan orang tua di luar sana yang mungkin membaca tulisan ini, jagalah mental anak kalian. Karena sedikit saja mental anak kalian rusak, maka konsekuensinya harus ditanggung seumur hidup. Mental seorang anak yang sudah terganggu akan sulit dipulihkan kembali. Jika pun pulih, maka akan ada bekas mendalam yang akan terus diingat oleh sang anak seumur hidupnya. Jangan biarkan ada kekerasan di ruang lingkup keluarga.
Sebagaimana diceritakan oleh N kepada JalaStoria.id pada Kamis, 20 Mei 2021. Identitas penyintas ada pada redaksi.