Membangun Memori Bangsa atas Kekerasan Seksual Massal di Indonesia

 Membangun Memori Bangsa atas Kekerasan Seksual Massal di Indonesia

Ilustrasi (Sumber: Mat Brown/Pexels.com)

Buat kamu yang milenial, apakah pernah mendengar peristiwa kekerasan seksual massal sebelum dan sesudah era reformasi? Sebut saja mulai dari era perjuangan kemerdekaan sampai sekitar tahun 2005. Ada berapa yang bisa kamu sebutkan?

Nah, buat kamu yang bisa menyebutkan beberapa peristiwa di antaranya, kamu adalah generasi muda bangsa Indonesia yang memilih tidak melupakan peristiwa kelam dalam sejarah bangsa ini. Ya, dengan berjalannya waktu, sejumlah peristiwa kekerasan seksual yang terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia nyaris dilupakan oleh bangsa kita sendiri. Padahal, dalam era perkembangan teknologi informasi seperti saat ini, sebenarnya gampang banget ya mencari informasi terkait peristiwa kekerasan seksual massal di masa lalu.

Lantas, apa pentingnya mengingat peristiwa yang bagi korbannya saja traumatik dan justru ingin dilupakan? Begini nih, Sobat JalaStoria! Sebagai bangsa, kalau kita melupakan peristiwa kekerasan seksual dalam sejarah perjalanan bangsa, maka bangsa Indonesia tercinta akan sulit untuk membangun langkah agar peristiwa serupa tidak terulang.

Mengingat peristiwa traumatik, tentu hal yang menyakitkan. Namun, kalo negara melakukan penyangkalan atau nggak mau mengakui bahwa peristiwa itu pernah terjadi, negara kita nggak akan pernah siap untuk setidaknya mencegah keberulangan. Well, kalo itu yang terjadi, peristiwa serupa mungkin bakal terjadi lagi.

Nah, sebagai generasi muda, apa aja nih yang bisa dilakukan? Berikut ini sejumlah ide yang semoga menginspirasi ya….

  1. Kampanye Narasi Kekerasan Seksual Massal sebagai Alat Politik

Dhyta Caturani, pendiri PurpleCode, menyatakan kekerasan seksual massal yang terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia bukan hanya sesuatu yang insidental, tapi politis. Oleh karena itu, menurut Dhyta, berkampanye soal narasi kekerasan seksual massal sebagai alat politik perlu dilakukan. Tujuannya, agar permasalahan ini menjadi diketahui banyak orang.

“Harus ada transfer pengetahuan soal kekerasan seksual di masa lalu, karena kasus-kasus ini tidak pernah diselesaikan dan tidak dilirik oleh negara dan sebagian masyarakat,” jelasnya dalam sebuah webinar yang diselenggarakan LETSS TALK (22/05/2021) bertajuk Politik Kekerasan Seksual: Mengenang Mei 1998 dan Berbagai Kasus Kekerasan Seksual Massal.

Dhyta menceritakan, di kalangan anak muda, isu kekerasan seksual massal tidak pernah menjadi suatu hal yang mainstream. Oleh karena itu, perlu membangun strategi dengan menjadikan kasus kekerasan seksual massal sebagai perspektif.  Hal ini sangat penting dilakukan, “untuk terus merawat ingatan dan melawan lupa bahwa kasus kekerasan seksual ini ada,” tegasnya.

Diakui Dhyta, informasi terkait peristiwa kekerasan seksual massal di masa lalu tidak sebanyak informasi terkait peristiwa lain.  Oleh karenanya, menurut Dhyta, perlu ada upaya untuk mencari pengetahuan ini. Melalui kampanye tentang narasi kekerasan seksual massal sebagai alat politik, menurut Dhyta, akan menjadi upaya kolektif untuk menyediakan informasi sebanyak-banyaknya, sehingga pengetahuan kolektif di banyak kalangan menjadi terbangun.

  1. Menjadi Anak Muda yang Berperspektif Kebangsaan dan Pro Rakyat

Kalo bicara tentang anak muda, biasanya erat dikaitkan dengan melek teknologi, Bener nggak? Nah, sebagai anak muda, menurut Dhyta, nggak cukup hanya dengan melek teknologi. Namun, perlu menjadi anak muda yang mengakui beban sejarah bangsa terkait kekerasan seksual massal di masa lalu. “Anak muda mestinya merawat ingatan (atas peristiwa-Red) kelam yang dilakukan oleh negara,” jelas Dhyta (22/05/2021) di acara yang sama.

Dalam hal ini, Dhyta menilai ada upaya negara untuk menghapus beban sejarah dari anak muda. Hal itu ditunjukkan misalnya dengan penunjukan staf khusus Presiden dari unsur milenial yang dinilai menggambarkan melek teknologi tetapi tidak menunjukkan perspektif kebangsaan yang pro rakyat dan pro keadilan. Ketika kelompok masyarakat yang terkategori milenial tidak paham beban sejarah bangsa, menurut Dhyta, hal itu sama saja dengan upaya menghapus rekam jejak kejahatan kemanusiaan yang sudah dilakukan negara selama berpuluh-puluh tahun.

Intinya, menurut Dhyta, sebagai anak muda harus punya perspektif kebangsaan dan juga pro rakyat, ya. Dengan demikian, kalo kita sebagai anak muda nantinya meneruskan tonggak kepemimpinan bangsa ini, kita tidak akan mengamini kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk yang terjadi di masa lalu.

  1. Membantu Pemulihan Penyintas

Sampai saat ini, belum ada pengakuan secara resmi dari negara dan permintaan maaf secara langsung kepada penyintas atas berbagai peristiwa kekerasan seksual massal yang terjadi dalam perjalanan sejarah bangsa. Namun demikian, hal itu tidak menyurutkan gerakan di masyarakat yang mendorong agar negara memberikan pengakuan. Demikian pula, upaya pemulihan terhadap penyintas.

Sejumlah laporan menunjukkan, penyintas dari berbagai peristiwa kekerasan seksual massal itu mengalami dampak yang sungguh berat untuk dilukiskan. Nah, supaya pengetahuanmu makin kece, dalam artikel tentang Kekerasan Seksual Massal dalam Sejarah Bangsa (Bagian 1) dan Bagian (2), kamu bisa baca sendiri lho sejumlah referensi yang tidak diragukan validitasnya.

Salah satu dampak yang dihadapi penyintas adalah adanya pandangan buruk terhadap penyintas. Untuk menepis pandangan buruk itu, tentu perlu ada upaya khusus.

Itulah yang dilakukan oleh I Gusti Agung Ayu Ratih, peneliti Institut Sejarah Sosial Indonesia. Dia mendokumentasikan penuturan penyintas Peristiwa 1965 untuk mengubah pandangan buruk terhadap mereka. Walaupun demikian, hal itu tidaklah mudah. Menurut Ayu, sebagaimana disampaikan dalam acara yang sama (22/05/2021) hambatan terbesar adalah korban takut untuk berbicara.

Itulah yang mendasari langkahnya mendirikan Lingkar Tutur Perempuan. Forum ini didedikasikan sebagai ruang informal untuk perempuan penyintas Peristiwa 1965 bercerita soal pengalamannya dengan nyaman dan aman. Selain itu, forum ini juga mendorong rekonsiliasi antara penyintas dengan keluarganya.

Selain membangun ruang bercerita yang aman dan nyaman bagi penyintas, upaya lainnya yang dapat kamu lakukan adalah penguatan kepada penyintas. Terutama agar penyintas memperoleh hak-haknya agar menjadi pulih.

Well, konkretnya seperti apa, ya? Misalnya, memberikan bantuan pemberdayaan ekonomi kepada penyintas yang mengalami kemiskinan. Atau, membantu penyintas untuk memperoleh akses terhadap layanan kesehatan bebas biaya. Demikian pula halnya menyertakan penyintas sebagai penerima manfaat program jaminan sosial yang disediakan oleh pemerintah.

==

Jadi, itulah tiga langkah yang dapat kita lakukan untuk membantu diri kita dan bangsa Indonesia untuk tidak melupakan kekerasan seksual massal di masa lalu. Semoga, ketika segenap bangsa kita sepenuhnya memahami beban sejarah itu, terbuka kesadaran kolektif untuk mengatasinya dan mencegah agar peristiwa serupa tidak akan pernah terulang.[MUK/Reporter: ANHS]

Digiqole ad