Regulasi Nasional Responsif Perempuan di Tahun 2022
255 produk hukum di tingkat nasional disahkan sepanjang 2022. Dilansir dari Setneg.go.id produk hukum tersebut berupa 29 UU, 2 Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang), dan 63 PP (Peraturan Pemerintah). Selain itu terdapat 134 Perpres (Peraturan Presiden), 19 Keppres (Keputusan Presiden), 8 Inpres (Instruksi Presiden).
Di antara regulasi berupa UU, terdapat satu produk hukum yang responsif perempuan, yakni UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang diundangkan pada 9 Mei 2022. Dua lainnya mengenai anak, yakni PP Nomor 58 Tahun 2022 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan terhadap Anak, Perpres Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak. Masing-masing diundangkan pada 26 Desember 2022 dan 15 Juli 2022. Selebihnya adalah undang-undang tentang provinsi, PP tentang penyertaan modal negara, PP tentang perguruan tinggi, pembangunan, dan sebagainya.
UU TPKS, Tonggak Peradaban Indonesia
Menengok ulang perjalanan panjang pengesahan UU TPKS, ini merupakan upaya besar negara dalam menghadirkan sistem hukum yang mengatur beragam jenis kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang belum dikenali di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kehadiran UU TPKS juga mengatur kebutuhan pelindungan korban secara menyeluruh dalam suatu undang-undang khusus.
JalaStoria sebelumnya telah menghadirkan beragam tulisan yang mengupas seputar UU TPKS. Di antaranya, UU TPKS sebagai tonggak pembaruan hukum acara, utamanya keberpihakan bagi korban. Dalam hal pelaporan misalnya, UU TPKS memberikan kemudahan bagi korban dengan tidak mengharuskan korban melapor tapi bisa dilakukan oleh pendamping.
Baca Juga: Kutulis Sepenggal Ingatan Tentang RUU PKS – RUU TPKS dan Kini menjadi UU TPKS
Baca Juga: UU TPKS: Tonggak Baru Peradaban Indonesia
Baca Juga: Kilasan Perjalanan RUU TPKS Menjadi UU
Kemudahan lainnya adalah manakala korban pada akhirnya memutuskan berproses hukum, UU TPKS mengatur pelayanan terpadu “satu atap” yang siap membantu. Pelayanan terpadu satu atap ini merupakan kolaborasi komprehensif pemerintah, penegak hukum, dan layanan berbasis masyarakat. Pelayanan terpadu bertujuan agar korban tidak tidak lagi berlama-lama saat berproses hukum sekaligus mencegah terjadinya reviktimisasi.
Pengaturan lain dalam UU TPKS adalah perluasan alat bukti. Demikian pula dengan partisipasi masyarakat dalam pencegahan, pendampingan, pemulihan, dan pemantauan terhadap TPKS. Terobosan lainnya juga terkait ketentuan mengenai partisipasi keluarga dalam pencegahan TPKS.
Regulasi Nasional Responsif Anak
PP Nomor 58 Tahun 2022 Tentang Bentuk dan Tata Cara Pelaksanaan Pidana dan Tindakan terhadap Anak mendefinisikan anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun dan belum 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam Peraturan Pemerintah ini dua jenis pidana dapat dijatuhkan kepada anak yaitu pidana pokok dan pidana tambahan.
Pidana pokok terdiri dari pidana peringatan, pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, penjara, dan pidana dengan syarat. Yang terakhir ini mencakup pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan.
Pidana peringatan merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak. Pidana ini bertujuan sebagai efek jera bagi anak.
Adapun pidana dengan syarat memiliki batas maksimal yang bisa dijatuhkan yakni 2 tahun. Jangka waktu paling lama 3 tahun.
Pidana dengan syarat ini mencakup syarat umum dan khusus. Disebutkan dalam PP, syarat umum adalah anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama masa pidana dengan syarat. Sedangkan syarat khusus, “adalah anak melakukan atau tidak hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan pengadilan dengan tetap memperhatikan kebebasan anak.” Masa pidana anak dengan syarat khusus ini lebih lama dari syarat umum.
Adapun pidana tambahan yang dijatuhkan berupa perampasan keuntungan dari tindak pidana dan pemenuhan kewajiban adat.
PP Nomor 58 Tahun 2022 menegaskan agar hakim menjatuhkan putusan pidana semata demi kepentingan terbaik anak. Pada saat pelaksanaan putusan pengadilan, ABH wajib didampingi pembimbing kemasyarakatan.
Baca Juga: Kerangka Hukum Perlindungan Anak di Indonesia
Stranas PKTA
Regulasi nasional mengenai anak yang juga hadir di tahun 2022 adalah Perpres Nomor 101 Tahun 2022 tentang Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak (Stranas PKTA). Perpres ini mendefinisikan strategi nasional penghapusan kekerasan terhadap anak (Stranas PKTA), “adalah strategi nasional yang dituangkan dalam dokumen yang memuat arah kebijakan, strategi, fokus strategi, dan intervensi kunci, serta target, peran, dan tanggung jawab kementerianf lembaga, pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/ kota, dan masyarakat untuk mewujudkan penghapusan kekerasan terhadap anak.”
Hal yang melatari terbitnya Perpres Stranas PKTA salah satunya adalah hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2O18. Survei nasional ini menunjukan bahwa satu dari 17 anak laki-laki dan satu dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual. Temuan lainnya adalah 14 dari 100 anak laki-laki dan 13 dari 10O anak perempuan pernah mengalami kekerasan psikis tidak langsung melalui daring (cyberbullying), satu dari tiga anak laki-laki dan satu dari lima anak perempuan mengalami kekerasan fisik.
Dari temuan SNPHAR disimpulkan bahwa dua dari tiga anak laki-laki dan perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Anak bahkan cenderung menerima lebih dari satu jenis kekerasan.
***
Pada 2022, regulasi nasional yang responsif perempuan berjumlah hanya terbilang jari. Demikian juga dengan regulasi nasional yang responsif terhadap anak, yang juga dapat dicatat sebagai responsif perempuan karena anak meliputi anak laki-laki dan anak perempuan. Jumlah yang sangat minim itu patut disyukuri dan diapresiasi mengingat perjuangannya yang tidak semudah membalikkan tangan.
Di saat yang sama, masih ada regulasi lainnya yang dinantikan, yaitu RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). UU ini diharapkan dapat mewujudkan perlindungan kepada profesi ini yang jumlah terbesarnya adalah perempuan. PR lainnya adalah UU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang sampai sekarang masih belum dibahas. [Nur Azizah]