Mengkritisi RUU KUHP

 Mengkritisi RUU KUHP

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Baru-baru ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM RI menyelenggarakan diskusi publik RUU KUHP di Jakarta (14/06/2021). Dalam kegiatan yang diselenggarakan secara daring dan luring ini, terdapat sejumlah kritik yang disampaikan oleh lembaga masyarakat sipil, baik secara lisan dalam sesi tanya jawab maupun secara tertulis melalui kolom chat dalam aplikasi rapat daring yang tersedia.

Di antaranya disampaikan oleh Khotimun Sutanti, aktivis  Asosiasi LBH APIK Indonesia. Dalam sesi tanya jawab, ia mengingatkan bahwa RUU KUHP masih mengandung sejumlah norma yang mendiskriminasi pihak tertentu. Misalnya, terkait isu disabilitas.

Dalam RUU KUHP masih terdapat pengaturan yang menyatakan “menderita penyandang disabilitas.” Padahal, menurut Khotimun, penyandang disabilitas bukanlah penyakit, namun RUU KUHP malah melekatkannya dengan kata “menderita.” Ketentuan itu, ditambahkannya, tentu menyakiti perasaan penyandang disabilitas. Menurut Khotimun, hal itu terjadi karena masih minimnya proses pembahasan RUU KUHP dalam menggali pengalaman dan perspektif kelompok penyandang disabilitas.

Perlu Pembahasan Substantif

Oleh karena itu, Khotimun juga meminta agar RUU KUHP tidak buru-buru disahkan melainkan harus dibahas terlebih dahulu secara substantif dengan pelibatan stakeholders terkait.  Selain itu, Khotimun juga menyayangkan waktu berdiskusi pada kegiatan itu yang pendek sehingga tidak dapat menggali masukan dari peserta.

“Upaya Kemenkumham untuk menyelenggarakan diskusi publik di banyak provinsi adalah hal yang baik, namun waktu yang ada tidak memadai untuk banyak menggali dari peserta,” tutur Khotimun.

Hal serupa disampaikan juga oleh Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Melalui siaran pers yang dimuat di laman reformasikuhp.org (14/06/2021), jejaring masyarakat sipil yang memberi perhatian pada RUU KUHP ini menyatakan, waktu yang disediakan dalam diskusi publik ini sangat terbatas.

Aliansi mengkritisi porsi masukan hanya dialokasikan satu jam itupun di sesi tanya jawab. Hal ini dinilai tidak seimbang dengan materi substansi yang melibatkan enam pembicara dari tim perumus pemerintah dan DPR dengan alokasi waktu selama tiga jam lebih.

Aliansi juga menyayangkan tidak semua kalangan masyarakat sipil yang berpotensi terdampak diundang oleh Pemerintah. Antara lain, kelompok penyandang disabilitas, kelompok advokasi kesehatan reproduksi, kelompok rentan, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, Aliansi menilai acara diskusi publik tentang RUU KUHP yang diselenggarakan ke-12 kalinya ini lebih merupakan sosialisasi searah ketimbang diskusi substansi. Padahal, menurut Aliansi, diskusi substansi justru lebih genting untuk dilakukan agar RKUHP tidak lagi mendapatkan penolakan dari masyarakat.

Pembahasan Tematik

Dari sisi waktu, diskusi publik RUU KUHP yang digelar di Jakarta itu terbilang singkat. Oleh karena itu, Khotimun menyarankan agar Kementerian Hukum dan HAM RI memfasilitasi diskusi yang lebih mendalam dan tematik. Hal itu perlu dilakukan dengan melibatkan representasi kelompok rentan, baik kelompok penyandang disabilitas dan masyarakat adat maupun perempuan. “Karena para praktisi hukum dan kelompok rentanlah yang akan sering menghadapi pasal-pasal RUU KUHP ini jika disahkan,” ungkap Khotimun.

Pelibatan kelompok perempuan, menurut Khotimun, mutlak diperlukan terutama untuk mencermati kembali pengaturan yang terkait dengan permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Misalnya, pengaturan pasal perkosaan. Menurut Khotimun, dalam RUU KUHP sudah terdapat sejumlah kemajuan. Namun demikian, ia mempertanyakan norma dalam RUU KUHP yang masih belum mengakomodasi sejumlah unsur seperti tipu daya, relasi kuasa, dan rangkaian kebohongan.

Pengaturan Perkosaan dalam RUU KUHP

Apa saja kemajuan RUU KUHP dalam pengaturan pasal tentang perkosaan? Jawabannya diuraikan oleh Prof. Marcus Priyo Gunarto, Kepala Departemen Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, dan Prof. Topo Santoso, Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Dalam paparannya (14/06/2021), Prof. Marcus menyampaikan sejumlah perubahan norma pasal tentang perkosaan dalam RUU KUHP.

Antara lain, menurut Prof. Marcus, RUU KUHP memperluas makna perkosaan dari yang sebelumnya terdapat dalam KUHP. Dalam KUHP yang sekarang berlaku, perkosaan hanya didakwakan apabila terjadi penetrasi penis ke vagina. Hal itu diubah oleh RUU KUHP, yang mengatur juga perkosaan dengan memasukkan bagian tubuh selain alat kelamin ke dalam alat kelamin atau anus. Misalnya, menggunakan jari tangan. Selain itu, RUU KUHP juga mengatur perkosaan dengan memasukkan suatu benda ke dalam alat kelamin atau anus.

Kemajuan lainnya, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Topo Santoso dalam acara yang sama, terdapat dalam perubahan struktur pengaturan dalam RUU KUHP. KUHP yang saat ini berlaku mengatur perkosaan dalam Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan. Sementara dalam RUU KUHP, pasal perkosaan diatur dalam Bab Tindak Pidana terhadap Tubuh.

Argumentasi atas perubahan itu selaras dengan pandangan Komnas Perempuan, sebagaimana tertuang dalam buku Menghadirkan Hukum Pidana Nasional yang Melindungi Perempuan Korban Kekerasan (2017). Menurut Komnas Perempuan, hakikat perkosaan dan pencabulan adalah perbuatan yang melanggar integritas tubuh korban dan melanggar hak korban atas rasa aman dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan. Oleh karenanya, penempatan pasal itu dalam Bab Kejahatan terhadap Kesusilaan mereduksi perkosaan dan pencabulan menjadi persoalan pelanggaran rasa susila masyarakat. Inilah paradigma yang rentan berbalik menjadi penyalahan korban (victim-blaming).

Namun demikian, sekalipun terdapat sejumlah kemajuan, sebagaimana diingatkan oleh Khotimun, masih terdapat sejumlah hal dalam RUU KUHP yang perlu disempurnakan. Penyempurnaan itu diharapkan tidak terbatas pada tim perumus RUU KUHP saja. Namun, perlu melibatkan juga representasi dari kelompok rentan yang selama ini belum didengarkan aspirasinya oleh tim perumus RUU KUHP. [MUK]

 

 

Digiqole ad