Mencari Nafkah: Siapakah yang Harus Melakukannya?
Oleh: Regina Aprilia*
Pertanyaan tentang siapa yang harus mencari nafkah dan membiayai dalam sebuah hubungan telah menjadi subjek perdebatan belakangan ini. Derasnya informasi dan upaya menyebarkan informasi melalui internet membuat banyak orang berbagi pengalaman yang sebelumnya hanya disimpan sebagai rahasia dapur, resep andalan hubungan harmonis.
Sejak jaman batu hingga hari ini, dinamika sosial telah membentuk dan menggerus pemikiran kita tentang peran dan tanggung jawab gender. Pada jaman batu misalnya, berburu dilakukan untuk kelangsungan hidup di mana perempuan dan laki-laki turut serta. Namun, tugas reproduksi menghambat perempuan untuk memiliki porsi yang sama dalam berburu. Manusia modern juga membagi peran dan tanggung jawab secara serupa. Laki-laki dituntut untuk memahami logika pasar, menggerakkan ekonomi, melunasi cicilan dan tagihan. Sedangkan perempuan harus mendukungnya, merawat dan menggantikan posisinya bila diperlukan tanpa melupakan beban kerja mengurus rumah tangga yang juga dilimpahkan padanya.
Pembagian kerja ini dikatakan berakar pada fungsi biologis. Secara sederhana ditarik kesimpulan, perempuan hamil dan melahirkan sehingga perempuan jugalah yang harus mengurus anak, memasak, mencuci baju dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Namun, bagaimana upaya pembagian kerja dari segi lain? Statistik mencatat banyak sekali keunggulan dan kesempatan yang didapatkan laki-laki pada berbagai bidang yang mendukungnya untuk memiliki kesempatan lebih besar dalam bekerja. Statistik tidak mencatat atau tidak memiliki angka pasti untuk jumlah pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepada perempuan, jam kerja yang dilakukan perempuan dalam rumah tangga karena perlu diingat semua itu harus dilakukan oleh dasar kasih dan kesukarelaan. Perempuan boleh bekerja jika telah menyelesaikan tanggung jawabnya di rumah. Laki-laki boleh bekerja tanpa harus memikirkan apa tanggung jawabnya di rumah.
Baca Juga: Ketika Laki-Laki Bicara Perempuan Korban Kekerasan
Fenomena tersebut menempatkan keduanya pada posisi yang menyakitkan. Semua dituntut menjalankan peran yang diartikan secara kaku pada gender tanpa memikirkan “apakah ini yang saya inginkan?”, “apakah saya mampu?”, dan “apakah saya sanggup menjalani semua ini sendiri?” Pola-pola yang dibentuk dan pertanyaan “selamanya itu berapa lama?” akan terus muncul dan membuat luka yang tak kunjung sembuh.
Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghadapi permasalahan ini. Yang pertama adalah egalitarianisme. Egalitarianisme adalah gagasan yang mendorong kesetaraan dalam masyarakat. Pandangan ini menganjurkan bahwa semua manusia pada dasarnya setara dan oleh karena itu berhak atas hak yang sama. Kesetaraan dalam suatu hubungan dapat dicapai melalui negosiasi atau perundingan. Hubungan yang harmonis dan saling memahami akan tercipta dari negosiasi untuk mencapai kesetaraan. Tren yang berkembang mulai menunjukan nilai-nilai egalitarianisme hadir dan diterapkan pada kehidupan berelasi. Perjanjian pranikah, pembagian tugas rumah tangga, persetujuan seksual (sexual consent) dan hal-hal kecil lain yang berdampak untuk menciptakan keseimbangan distribusi peran serta tanggung jawab masing-masing pihak.
Berikutnya yang kedua, penting sekali untuk memahami dampak buruk patriarki bagi perempuan dan laki-laki. Transformasi Gregor Samsa dalam “Metamorphosis” karya Franz Kafka, misalnya. Diceritakan pada suatu hari, ia berubah menjadi serangga dan tidak mampu melakukan apa-apa selain berbaring dan mengurung diri di kamar. Keluarganya mulai khawatir, lama-lama jengkel karena dia tidak lagi mampu melakukan fungsinya sebagai pencari nafkah (the provider). Pemahaman akan dampak buruk patriarki bukan untuk membandingkan siapakah yang paling sengsara dan harus diganjar seberat-beratnya, melainkan dapat memberikan kita pengertian untuk terus memahami satu sama lain dan memandang seseorang secara utuh bukan hanya dari nilai-nilai ekonomi.
Baca Juga: Siapa Bilang Perempuan Berpendidikan untuk Mendominasi Kaum Laki-Laki?
Ketiga, membangun kesadaran dan menghilangkan stigma yang melekat dengan perempuan dan laki-laki dari peran gender tradisional. Keyakinan budaya yang merugikan perlu ditentang dan disesuaikan dengan sikap yang dapat menjawab kondisi yang sebenarnya terjadi. Hubungan yang terjalin perlu menghadirkan kegiatan saling mengisi, bukan semata-mata menjawab dan memenuhi peran-peran yang dilekatkan pada gender. Bagaimana bila suatu saat ayah dipecat atau sakit dan tidak dapat bekerja? Apakah pada saat itu anak harus berhenti makan dan kebutuhan rumah dapat dijeda sampai ayah diterima di tempat kerja baru?
Pertanyaan tentang siapa yang harus mencari nafkah perlu dipertimbangkan berdasarkan kesepakatan, pendidikan, dan kondisi yang sebenarnya terjadi. Setiap pasangan akan memiliki keputusan yang unik dan kompleks. Menitikberatkan peran pada satu gender bertentangan dengan definisi hubungan yang resiprokal atau saling mengisi. Laki-laki perlu ikut andil dalam urusan rumah tangga. Mengutip Katrine Marçal dalam “Who Cooked Adam Smith’s Dinner?”, tugas perempuan bukan hanya menyeimbangkan kehidupan laki-laki melalui perawatan dan empati. Perempuan juga perlu menciptakan keseimbangan dalam masyarakat.
Referensi:
Iglesias-Lopez, T. (2018, May 4). Women Against Violence Europe (WAVE). Retrieved from Why I call myself a feminist: https://wave-network.org/why-i-call-myself-a-feminist/
Kafka, F. (2016). Metamorphosis. London: Penguin Classics.
Marçal, K. (2015). Who Cooked Adam Smith’s Dinner? London: Portobello Books.
*Manusia biasa, menyukai kesenggangan, agaknya sulit mendeskripsikan diri