Perempuan dan Wajah Ekstremisme Beragama
Pengertian ekstremisme sampai saat ini sebenarnya masih terus diperebutkan, dipertentangkan, dan maknanya berbeda di setiap konteks. Ekstremisme bersifat subjektif, bisa saja suatu tindakan dianggap esktrem oleh kelompok tertentu, bisa juga diartikan berbeda oleh kelompok lain. Pada dasarnya subjektifitas ekstremisme bergantung sesuai negara mempersepsikan. Misalnya, ketika negara menerapkan sebuah ideologi, di mana orang yang menentangnya akan dianggap melakukan tindakan ekstremisme.
Ekstremisme merupakan bagasi politik karena pengertiannya masih dipengaruhi peran negara, sejarah konflik, dan dinamika politik global. Ada dua pendekatan mengenai karakter ekstremisme, yaitu berlebihan dan otoriter. Berlebihan karena di luar batasan norma yang berlaku. Otoriter karena tidak membuka ruang pemikiran kritis, ketika suatu pemikiran dipertanyakan.
Ekstremisme beragama adalah sebuah pandangan yang secara aktif dan vokal berlandaskan interpretasi tertentu dari suatu agama yang bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang diyakini dan disepakati bersama dalam sebuah masyarakat yang beragama dan demokratis. Masyarakat yang beragama dan demokratis, menghormati hak asasi manusia sebagai landasan peradaban yang berperikemanusiaan dan perikeadilan. Serta saling menghormati perbedaan agama/kepercayaan. Adapun kesepakatan nilai-nilai fundamental dalam negara adalah konstitusi.
Ada dua wajah ekstremisme, kekerasan dan nirkekerasan. Ekstremisme beragama yang menggunakan cara-cara kekerasan lebih mudah dideteksi. Dapat menimbulkan antipati bahkan di kalangan yang setuju dengan pandangan ekstremisme beragama. Wajah ekstremisme ini mengalami proses radikalisasi. Pemikiran dan tindakan esktrem muncul karena adanya keyakinan superioritas dan kebolehan mendominasi kelompok lain (Chauvinisme), enggan berinteraksi dengan kelompok atau komunitas yang berbeda, dan menyetujui penggunaan kekerasan sebagai alat politik, termasuk untuk mengambil alih kuasa dan/atau antinegara.
Baca Juga: Pelibatan Perempuan Dalam Aksi Terorisme
Keterlibatan perempuan dalam kelompok ini, sebagai instrumentalis, menjadikan reproduksi perempuan sebagai alat rekrutmen, pendanaan, dan strategi pengalih. Strategi pengalih dapat dilihat dalam kasus bom bunuh diri. Perempuan yang melakukan bom bunuh diri memiliki celah untuk lolos dari pengawasan petugas karena perempuan dianggap tidak akan melakukan tindakan terorisme yang biasanya pelaku adalah laki-laki.
Wajah ekstremisme lain adalah ekstremisme beragama nirkekerasan. Terkait tetapi tidak selalu berujung dengan tindak ekstremisme berkekerasan. Ekstremisme beragama nirkekerasan lebih canggih dan kompleks. Menggunakan politik identitas dengan narasi keagamaan dalam konteks politik dan memanfaatkan celah dalam sistem demokrasi. Seperti narasi hak beragama dan berekspresi, menargetkan sebagai suara mayoritas karena prosedur demokrasi menggunakan voting, dan ikut terlibat dalam proses legislasi atau pemilu.
Selain itu, ekstremisme nirkekerasan melibatkan diri pada dunia publik seperti media, pendidikan, seni budaya, media sosial digital, sublimasi perempuan, dan hipermaskulinitas. Misalkan polemik kebijakan daerah untuk kewajiban busana berbasis agama di Indonesia. Kerugian konstitusional akibat kebijakan ini adalah hak fundamental kemerdekaan pikiran dan hati nurani (Pasal 28I ayat (1), 28E ayat (2)), hak kemerdekaan beragama/berkeyakinan (Pasal 28E ayat (1)), dan hak bebas dari rasa takut untuk melakukan tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi manusia (Pasal 28G ayat (1)). Konstitusi adalah nilai fundamental yang dijadikan acuan dalam bernegara, bukan nilai dari agama tertentu atau mayoritas.
Baca Juga: Memotret Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Radikalisme
Pencegahan ekstremisme beragama yang mengarah pada terorisme adalah menggunakan perspektif gender dan pendekatan intervensi, serta memasifkan peran kelompok ulama perempuan. Perspektif gender dan pendekatan intervensi bisa menilik pada posisi atau peran perempuan dalam kelompok ekstremisme dan program yang dikembangkan. Peran kelompok ulama perempuan menggunakan strategi multiaspek dan lintas sektor. Melalui perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan, gerakan ini juga bisa masuk pada tingkat nasional dan daerah.
Secara umum, area perubahan yang dapat dijangkau untuk melawan ekstremisme beragama meliputi antara lain: wacana beragama yang toleran dan setara; penggunaan ruang-ruang kultural (pendidikan, seni budaya, media sosial); keterlibatan dalam proses formal (legislasi dan politik); pendekatan nirkekerasan dan dogma yang mengarah pada otoriterianisme. Jangkauan perubahan juga bisa menyasar nasionalisme dan penggunaan pendekatan keamanan, dukungan pada kepemimpinan perempuan dalam semua lini, dan kemawasan subjektivitas dan prasangka. [Uung Hasanah]
Sumber:
Materi Agenda (Ulama) Perempuan Merawat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari Ekstremisme Beragama: Isu Krusial dan Area Perubahan, oleh Andy Yentriyani (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dalam sesi pramusyawarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-2 pada 25 November 2022 di Jepara