Memotret Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Radikalisme
(Studi Kasus Gerakan Radikalisme di Kabupaten Garut)
Oleh: Chotijah Fanaqi
Perempuan dalam segala aspek masih mengalami subordinasi dalam kesehariannya. Bahkan dalam konteks keberagamaan yang paling asasi sekalipun, perempuan masih dibayang-bayangi oleh dominasi budaya patriarki. Lilis Karwati (2020) berpendapat bahwa “Subordinasi gender diartikan sebagai penomorduaan gender baik terjadi pada laki-laki maupun perempuan. Namun banyak kasus umumnya terjadi pada perempuan. [Sehingga] subordinasi perempuan merupakan penomorduaan perempuan, artinya peran, fungsi dan kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki”.
Hal inilah yang menyebabkan posisi perempuan dipandang sebelah mata karena seolah tidak memiliki nilai. Subordinasi terhadap perempuan menyebabkan posisi laki-laki dianggap lebih unggul daripada perempuan. Peran perempuan di ruang publik menjadi terbatas karena hanya pantas ditempati oleh peran laki-laki, sebaliknya peran perempuan hanya dianggap pantas menempati ruang domestik belaka.
Dalam konteks gerakan radikalisme, keterlibatan perempuan tidak bisa dilepaskan dari posisinya yang tersubordinasi dalam keluarga ataupun masyarakat. Bagi kalangan kelompok radikal, kaum perempuan sudah selayaknya menjadi pendukung utama laki-laki, sebagai pendamping atau istri sang mujtahid, yakni orang yang berjuang di jalan jihad.
Salah satu contoh gerakan Negara Islam Indonesia (NII) di kabupaten Garut yang dianggap menjadi pemicu lahir dan berkembangnya paham radikalisme di masyarakat juga menyeret keterlibatan kaum perempuan. Sebagian perempuan yang terlibat kelompok radikal, merasa terjebak dalam hubungan kekerabatan yang mengharuskan dirinya berpihak pada mereka.
Menurut data yang dihimpun oleh tim Satuan Tugas Penanggulangan Radikalisme di Kabupaten Garut (2022) keterlibatan perempuan dalam gerakan radikalisme sebagian besar karena adanya paksaan dari pihak suami atau keluarga yang menganggap bahwa istri harus mengikuti ideologi yang dibawa oleh suami, ayah, atau keluarga mereka. Para perempuan tersebut dipaksa untuk menganut pemahaman yang sebenarnya bertentangan dengan nurani mereka. Akan tetapi, karena ada ancaman perceraian dan pengucilan dari suami, pihak keluarga, dan masyarakat; sebagian perempuan memilih bungkam dan menjadi pengikut gerakan NII tersebut.
Meskipun demikian, di antara kaum perempuan yang terjebak dalam hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan kelompok radikal, terdapat perempuan yang berani bersuara dan memilih untuk mengakhiri perkawinan yang dianggap tidak sehat. Ini memang tidak mencerminkan situasi sebagian dari perempuan yang terlibat dalam radikalisme tersebut. Jumlahnya bahkan sangatlah sedikit, apalagi keputusan berpisah itu tentu tidaklah mudah.
Mereka harus menghadapi bayang-bayang kemiskinan karena harus memikirkan persoalan ekonomi dengan membiayai kehidupan diri dan anak-anaknya yang selama ini sepenuhnya bergantung pada penghasilan suami. Inilah yang harus dilihat sebagai pekerjaan rumah para aktivis perempuan yang saat ini mendampingi kasus keterlibatan perempuan dalam gerakan radikalisme di kabupaten Garut.
Bagi kelompok radikal, keterlibatan perempuan dianggap sebagai aset karena memiliki peranan dalam menjaga ideologi keluarga, di mana melalui pengasuhan yang diperankan oleh perempuan, ideologi yang mereka yakini bisa diwariskan kepada anak-anak mereka. Keterlibatan perempuan tidak bisa dilepaskan dari kacamata kita melihatnya. Selama ini perempuan cenderung dianggap sebagai konco winking semata, sehingga peran mereka seolah tidak dilihat sebagai subjek kebijakan. Sebaliknya, perempuan hanya dianggap sebagai objek dari sekian perencanaan dan strategi yang dilakukan laki-laki, termasuk di dalamnya mengenai gerakan radikalisme.
Menurut Lies Marcoes (2022), teori ekstremisme agama selama ini seolah memandang keterlibatan perempuan dengan analisis dan kacamata yang keliru. Hal itu disebabkan bahwa teori tersebut berpandangan bahwa hasrat melakukan jihad, yang selama ini menjadi alasan kuat bagi laki-laki dan perempuan melakukan aksi radikalisme, hanya dimiliki oleh kaum laki-laki saja.
Padahal jika dilihat dari perspektif gender, di mana pengalaman dan motivasi perempuan memiliki peranan utama, maka aksi kekerasan atau pun juga menjadi pendukung kaum radikal melakukan aksinya dilakukan oleh sebagian perempuan secara sadar sebagai pilihan hidup mereka. Sebuah pilihan yang dianggap sebagai bagian dari gerakan jihad yang diperintah oleh agama.
Hal ini mengapa program deradikalisasi dipandang kurang efektif kepada perempuan karena pemerintah dan stakeholders menyamaratakan aksi radikalisme yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan adalah sama saja, tidak ada spesifikasi penanganan berdasarkan motif dan pengalaman masing-masing aktor. Maka sangat penting untuk selalu menggaungkan keadilan dan keseteraan gender di segala lini, di mana tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam upaya deradikalisasi terhadap keduanya.[]
Pegiat di Fatayat NU Garut, dapat dihubungi melalui elzaara9@gmail.com
Referensi:
Lilis Karwati, 2020. Menolak Subordinasi Gender Berdasarkan Pentingnya Peran Perempuan Dalam Pembangunan Nasional Menjelang Bonus Demografi 2035, Jurnal Cendekiawan Ilmiah PLS Vol 5 No 2 Desember 2020.
Lies Marcoes, 2022. Seperti Memakai Kacamata Yang Salah: Membaca Perempuan dalam Gerakan Radikal, Afkaruna.
Hasil wawancara dengan tim Satgas Penanggulangan Radikalisme di Kabupaten Garut, Dr. KH. Hilman Basori, April 2022.