6 Masukan atas RUU TPKS

 6 Masukan atas RUU TPKS

Ilustrasi (Sumber: Pixel2013/Pixabay.com)

JAKARTA, JALASTORIA.ID – RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) kembali mendapatkan tanggapan. Menjelang berakhirnya masa persidangan I Tahun 2021-2022 DPR RI, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) melayangkan masukan terhadap RUU TPKS yang telah dibahas dalam rapat pleno Badan Legislasi DPR RI 30 Agustus 2021 lalu.

Berdasarkan pernyataan sikap yang diterima oleh JalaStoria (7/9/21), jejaring organisasi dan individu yang berdiri sejak 2005 ini  menyatakan mengapresiasi kemajuan dalam tahapan penyusunan RUU ini. Selain itu, jejaring yang telah bergerak sejak 2016 dalam advokasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual itu juga menyatakan dukungan terhadap upaya penyempurnaan RUU TPKS.

“Hal ini ditujukan untuk menutup rapat potensi kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual dan sekaligus membuka seluas-luasnya pemenuhan kewajiban konstitusional negara untuk menghadirkan jaminan hak atas rasa aman bagi semua warga negara tanpa diskriminasi,” ungkap Lucia Wenehen, Anggota Tim Eksekutif JKP3.

Selain itu, jejaring yang dikomandoi oleh 5 orang penggerak sebagai tim eksekutif ini menyatakan JKP3 mendukung masukan konstruktif yang telah disampaikan berbagai pihak terhadap RUU TPKS. Antara lain, Komnas Perempuan, KOMPAKS, LBH Jakarta, Koalisi Bantuan Hukum Kritis, Jaringan Masyarakat Sipil, dan jejaring lainnya yang bekerja tulus ikhlas dalam pendampingan korban kekerasan seksual.

Dengan demikian, penyampaian 6 masukan JKP3 terhadap RUU TPKS dimaksudkan untuk melengkapi masukan konstruktif lainnya kepada Baleg DPR RI.

Baca Juga: Mendorong Langkah Maju RUU TPKS

Pertimbangan Filosofis dan Fakta Sosial Terkait Kekerasan Seksual dalam Konsiderans

JKP3 menyerukan agar pertimbangan terkait aspek filosofis dan fakta sosial terkait kekerasan seksual dituangkan secara spesifik dalam bagian konsiderans. Antara lain, JKP3 mengusulkan rumusan konsiderans yang menegaskan bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak untuk dilindungi kemuliaan harkat dan martabatnya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Masukan tersebut disampaikan dengan pertimbangan bahwa pada prinsipnya RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual perlu mengadopsi paradigma baru dalam hukum yang menekankan pendekatan keadilan rehabilitatif, di mana pendekatan ini mengutamakan pemulihan pada korban dan rehabilitasi pada pelaku.

Penyempurnaan Definisi Kekerasan Seksual  

Masukan JKP3 terhadap definisi kekerasan seksual antara lain penambahan sejumlah norma yaitu penggunaan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan/atau memanfaatkan posisi rentan. Selain itu, jejaring ini juga mengusulkan perumusan delik materil sebagai norma yang opsional, dengan merumuskan akibat dari kekerasan seksual menjadi “yang dapat mengakibatkan penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual dan kerugian ekonomis.”

Menurut Lucia, korban kekerasan seksual seringkali terhambat dalam proses hukum ketika rumusan deliknya menyebutkan harus adanya akibat dari perbuatan tindak pidana (delik materiil) yang sulit pembuktiannya. “Oleh karena itu, rumusan definisi kekerasan seksual pada RUU PTKS sebaiknya merupakan rumusan delik formil yang tidak diperlukan pembuktian keberadaan akibat dari perbuatan, namun cukup pada rumusan adanya perbuatan yang telah dilakukan,” ungkapnya.

Baca Juga: RUU TPKS: Langkah Maju yang Butuh Penyempurnaan

 

Pengaturan 9 Jenis Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Menurut JKP3, RUU TPKS hendaklah mengatur 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual, walaupun tidak berdiri sendiri sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, JKP3 mengusulkan perumusan ulang sejumlah tindak pidana agar mencakup juga tindak pidana kekerasan seksual yang belum diatur dalam RUU TPKS. Misalnya, rumusan eksploitasi seksual dalam RUU TPKS diperluas dengan perumusan tindakan lain yang mengakibatkan korban tereksploitasi secara seksual. Dengan demikian,  tindak pidana eksploitasi seksual meliputi juga perbuatan yang ditujukan untuk dilakukan perkawinan dengan dirinya atau orang lain, serta untuk tujuan pelacuran.

Selain itu, ketentuan mengenai pelecehan seksual juga diperluas selain berupa isyarat, tulisan, dan perkataan, juga meliputi gambar dan/atau tindakan lainnya tanpa kontak atau bersentuhan fisik kepada orang lain di luar kehendak orang lain tersebut dan/atau melanggar kehormatan.

 Baca Juga: Definisi Kekerasan Seksual dalam Hukum di Indonesia

 

Penguatan Pasal yang Menjembatani Ketentuan terkait Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam UU Lainnya

Dalam pandangan JKP3, ketentuan lain-lain dalam Pasal 33 RUU TPKS agar merujuk terhadap nomenklatur tindak pidana yang merupakan kekerasan seksual yang diatur dalam UU lainnya sepanjang tidak diatur dalam RUU TPKS. Hal ini dengan pertimbangan bahwa KUHP dan RUU KUHP mengandung sejumlah pasal yang erat terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual, yaitu perkosaan dan pemaksaan aborsi. Demikian pula dengan sejumlah UU lainnya, seperti UU Perlindungan Anak yang mengatur persetubuhan dengan anak dan eksploitasi seksual terhadap anak. Selain itu, juga terdapat UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang mengatur kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga.

Hadirnya pasal yang menjembatani tersebut, menurut Lucia, kehadiran RUU TPKS akan melengkapi berbagai norma dalam RUU KUHP dan berbagai UU tersebut.

 

Penanganan Terpadu

Untuk menguatkan pemberian layanan pada perempuan korban kekerasan seksual, JKP3 mengusulkan agar RUU TPKS mengatur ketentuan baru yang mengatur tentang pendampingan korban dan saksi secara terpadu dan terintegrasi. Menurut JKP3, ketentuan baru itu perlu menegaskan mengenai pemberian layanan medis, psikologis, dan proses hukum secara terpadu dan terintegrasi, baik di bawah satu atap maupun terkoordinasi. 

Masukan itu didasarkan pada pertimbangan bahwa korban seringkali harus dirujuk berkali-kali sehingga menempuh jalan yang cukup panjang dan melelahkan, serta berulangkali menyampaikan permasalahan yang dialaminya. “Padahal bagi korban kekerasan seksual, menceritakan berulang peristiwa kekerasan yang dialaminya dapat menimbulkan retraumatisasi dan kerap membuat mereka enggan untuk melanjutkan proses penanganan maupun pemulihan karena terlalu menyakitkan,” jelas Lucia.

Selain itu, pada kasus anak, selain menimbulkan retraumatisasi, proses pertanyaan mengulang juga dapat mempengaruhi kualitas keterangan anak sehingga anak kerap dianggap tidak konsisten. Di sisi lain, korban kekerasan seksual memiliki kekhasan karakteristik dampak kekerasan berupa implikasi medis yang perlu penanganan segera, baik aspek medikolegal maupun medis (kontrasepsi darurat dan pencegahan IMS/HIV), yang bersamaan dengan kebutuhan penanganan hukum dan psikologis;

 Baca Juga: Menjawab Pertanyaan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

 

Aspek Filosofis dalam Penjelasan Umum

Selain penyampaian masukan terhadap RUU, JKP3 juga menyampaikan masukan terhadap naskah penjelasan umum RUU. Masukan itu menegaskan agar penjelasan umum RUU TPKS mempertimbangkan bahwa UU TPKS hadir dilatarbelakangi oleh tingginya kasus kekerasan seksual yang dialami oleh kaum perempuan dalam semua usia dan kondisi (anak, remaja, dewasa, lansia, disabilitas). Berbagai kasus itu setiap tahunnya dilaporkan oleh Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan serta lembaga penyedia layanan bagi korban kekerasan seksual baik yang dibentuk oleh pemerintah maupun masyarakat.  Fakta kekerasan seksual yang lebih banyak dialami  perempuan di segala usia dan kondisi, menegaskan bahwa kekerasan seksual pada dasarnya merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender dan/atau jenis kelamin.

Menurut JKP3, masukan itu sekaligus mengingatkan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan merupakan kekerasan berbasis gender dan/atau jenis kelamin. Masukan tersebut selaras dengan Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Desember 1993.  Deklarasi ini juga menegaskan bahwa  kekerasan seksual terhadap perempuan  adalah perwujudan dari ketimpangan hubungan kekuasaan antara kaum laki-laki dan perempuan sepanjang sejarah, yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan menghambat kemajuan mereka.

Melalui 6 masukan terhadap RUU TPKS itu, JKP3 berharap, perlindungan bagi setiap orang dari segala jenis kekerasan seksual dapat segera diwujudkan.[MUK]

 

 

 

 

 

Digiqole ad