RUU TPKS: Langkah Maju yang Butuh Penyempurnaan
JAKARTA, JALASTORIA.ID – Pada 30 Agustus 2021, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (Baleg DPR RI) menggelar Rapat Pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dalam Rapat Pleno tersebut dibahas draf baru terkait RUU PKS berjudul RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
RUU TPKS yang dibahas itu mendapat tanggapan dari sejumlah pihak, antara lain KOMPAKS (2/9/21), LBH Jakarta (2/9/21) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) (10/9/21).
Dalam rilisnya, Komnas Perempuan menyampaikan dukungan terhadap Baleg DPR RI. Langkah Baleg DPR ini dianggap Komnas Perempuan sebagai langkah maju RUU PKS. Menurut Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, kemajuan langkah ini tentunya diharapkan dapat segera menuju tahapan selanjutnya. “Yaitu penetapan RUU TPKS ini sebagai RUU Inisiatif DPR RI,” tegasnya.
Kemajuan Substantif
Sejumlah kemajuan dalam RUU TPKS menurut Komnas Perempuan antara lain: Pertama, draf RUU TPKS disusun dalam Sistematika Pidana Khusus internal. Hal ini menegaskan bahwa kekerasan seksual sebagai tindak pidana yang pelakunya harus dijatuhi dengan ancaman pidana. Komnas Perempuan mengharapkan perumusan ini akan memudahkan Aparatur Penegak Hukum (APH) dalam mengidentifikasi unsur tindak pidana kekerasan seksual dan ancaman pidananya.
Kedua, judul naskah RUU telah menunjukkan keselarasan dengan sistematika UU pidana khusus internal. Menurut Komnas Perempuan, pilihan pidana khusus internal tidak akan menghilangkan substansi pencegahan dan pelindungan korban kekerasan seksual.
Ketiga, pemidanaan sistem dua jalur (double track system) dapat memungkinkan hakim untuk menjatuhkan dua jenis sanksi sekaligus, pokok dan tambahan, serta tindakan rehabilitasi. Hal ini dilakukan agar terjadi perubahan bagi pelaku dalam memandang kekerasan seksual. Kendati demikian, Komnas Perempuan menyebutkan mekanisme ini masih butuh penajaman.
Baca Juga: Pengaturan Kekerasan Seksual di Negara Laos
Keempat, pembuktian kekerasan seksual sebagai bagian dari hukum acara pidana mendapat kekhususan dalam RUU TPKS. Keterangan seorang korban sudah cukup jadi alat bukti bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti lainnya. Keterangan korban atau saksi anak, penyandang disabilitas dan sensorik memiliki kekuatan hukum yang setara.
Kelima, pengaturan hak atas resitusi dan pendampingan bagi korban dan saksi. Selama ini hak restitusi lebih kepada korban tindak pidana perdagangan orang, sehingga ketentuan mengenai hal ini merupakan kemajuan berarti.
Butuh Penyempurnaan
Sementara itu, Andi Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan menyatakan pentingnya penyempurnaan substansi RUU TPKS. “Hal ini agar RUU TPKS dapat sepenuhnya menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang dialami korban,” jelasnya.
Oleh karena itu Komnas Perempuan turut menyertakan 6 (enam) saran untuk penyempurnaan substansi RUU TPKS.
Pertama, pentingnya melakukan integrasi tindak pidana pemaksaan aborsi, pelacuran, perkawinan dan perbudakan seksual ke dalam RUU TPKS. Kedua, merumuskan Kekerasan Seksual Berbasis Gender Siber (KSBGS)
Ketiga, menguatkan aturan yang berhubungan dengan upaya pencegahan dengan pemetaan strategis berbagai pihak dan peran yang dimandatkan. Keempat, menegaskan kembali pelindungan hak korban dalam bagian tersendiri.
Kelima, perumusan ketentuan delegatif UU ke dalam peraturan pelaksanaan. Keenam, penegasan peran lembaga nasional HAM dan lembaga independen lainnya terkait pemantauan dalam RUU TPKS.
Selain itu, Mariana Amiruddin, Komisioner Komnas Perempuan menilai, pengaturan tentang perkosaan masih sempit dan parsial di dalam KUHP. “Sejumlah kelemahan dalam tata cara pelaksanaan formal hukum pidana sebagaimana diatur di dalam KUHAP juga menciderai hak korban kekerasan seksual, khususnya perempuan korban perkosaan,” jelasnya.
Sedangkan korban masih tidak mendapat pelindungan.
Sebaliknya korban perkosaan kerap mengalami kerugian dan trauma berulang dalam proses memperjuangkan keadilan. Tak jarang, perempuan korban perkosaan kerap berjuang sendiri untuk pemulihan, sekalipun pasca pemidanaan pelaku. “Berdasarkan hal ini, maka pengaturan tentang perkosaan mesti integral di dalam ruh gagasan RUU TPKS ini,” tegasnya.
Catatan-catatan
Sementara itu, LBH Jakarta, lembaga yang memberikan bantuan hukum untuk kelompok marginal, dalam rilis tertanggal 2 September 2021 menyampaikan sejumlah catatan lainnya terhadap RUU TPKS.
LBH Jakarta menilai, pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri. Menurut LBH Jakarta, pengubahan nomenklatur ini mempersulit korban perkosaan karena pembuktian terbatas pada adanya penetrasi penis ke vagina saja. Dengan kata lain terbatas pada pembuktian fisik akibat tindakan penetrasi tersebut.
Selain itu, LBH Jakarta menyayangkan RUU TPKS menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak. Menurut LBH Jakarta, hal ini dapat menghambat penegakan dan pelindungan terhadap anak korban kekerasan seksual. Padahal, seharusnya terdapat kondisi khusus apabila korban adalah anak. Korban tidak perlu harus memenuhi seluruh unsur “adanya tindak kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, penyesatan, penipuan, ketidakberdayaan, atau tanpa persetujuan” karena pada dasarnya anak tidak dalam kapasitas/kemampuan dan tidak dapat memberikan persetujuan secara sadar.
Baca Juga: UU Kekerasan terhadap Perempuan, Kemajuan dari Tunisia
Selanjutnya, LBH Jakarta menyatakan pentingnya sanksi berupa Tindakan bagi pelaku kekerasan seksual. Salah satunya yaitu dengan memberikan tindakan rehabilitasi khusus bagi pelaku yang berorientasi untuk mengubah perspektif pelaku mengenai kekerasan seksual. Hal ini diperlukan agar mencegah keberulangan tindak kekerasan seksual yang dilakukannya.
LBH Jakarta juga mencatat, draf RUU TPKS tidak memuat pelindungan khusus bagi korban dengan disabilitas. RUU TPKS ini mestinya memenuhi seluruh kebutuhan korban dengan disabilitas, salah satunya adalah aksesibilitas agar tidak diskriminatif.
Mengenai upaya pencegahan, baik Komnas Perempuan dan LBH Jakarta melihat hal ini belum diatur secara komprehensif dalam draf. Ketiadaan pengaturan ini, mengakibatkan tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan. LBH Jakarta menegaskan perlunya pengaturan bidang yang harus diintervensi untuk melakukan pencegahan, seperti bidang pendidikan, pelayanan publik, pemerintahan, hingga ekonomi, sosial dan budaya.
Hal yang tak kalah penting menurut LBH Jakarta adalah perlu memasukkan materi penghapusan kekerasan seksual sebagai bahan ajar dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Selain itu, diperlukan diperlukan penetapan kebijakan untuk penguatan pengetahuan dan keterampilan tenaga pendidik agar memiliki peran strategis dalam upaya pencegahan kekerasan seksual sejak dini.
Selain itu, LBH Jakarta menyoroti kebutuhan agar RUU TPKS memuat larangan Aparat Penegak Hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum tindak pidana kekerasan seksual.
Hal ini berangkat dari kasus-kasus yang acapkali terjadi saat proses peradilan. Menurut LBH Jakarta, diskriminasi, intimidasi dan strereotip gender yang dilakukan APH merupakan bukti bahwa APH belum memiliki perspektif korban kekerasan seksual. [ZA]