Kekerasan pada Pendamping Korban Kekerasan Seksual di Pesantren
Oleh MD
Ini adalah kisah TAM, kawan saya yang merupakan seorang santri di daerah Jombang. Ia adalah seseorang yang mengadvokasi kasus kekerasan seksual di pesantrennya. Ia juga menjadi korban penganiayaan akibat advokasi dan kampanye kasus kekerasan seksual tersebut. Ternyata, korbannya adalah beberapa kawan TAM sendiri. Sedangkan pelaku merupakan orang berpengaruh di pesantren, yaitu putra pendiri pondok pesantren. Sebut saja MSA.
Saya baru mengetahui kasus-kasus ini pada 2020, ketika TAM mengkampanyekan kasus di media sosial kolektifnya. Yaitu kolektif yang fokus memperjuangkan penghapusan kekerasan seksual di pesantren.
Menurut TAM, munculnya kasus-kasus kekerasan seksual ini bermula saat pertengahan tahun 2017. TAM menyebutkan, kawannya menceritakan kepada TAM bahwa ia mengalami kekerasan seksual oleh MSA. Tak hanya itu, kawan TAM juga menjadi korban penculikan dan kekerasan fisik. Tubuhnya menjadi lebam-lebam dan memar.
Beberapa waktu belakangan ini, TAM baru tahu bahwa kawannya tersebut bukan satu-satunya korban dari MSA. Ada belasan kawan-kawan perempuan lain yang mengalami hal sama, oleh pelaku yang sama.
Pelaporan
Sekitar tahun 2018, salah satu kawan TAM yang menjadi korban kekerasan seksual melaporkan kasusnya di Polres Jombang. Namun, korban mendapatkan berbagai intimidasi dari pelaku yang memaksa korban untuk mencabut laporan tersebut.
Baca Juga: Menjadi Pendamping Korban
Masih dalam tahun yang sama, TAM sendiri turut melaporkan MSA atas kasus kekerasan seksual terhadap beberapa korban lainnya. Namun, polres Jombang menyebutkan bahwa laporan TAM atas kasus tersebut minim bukti dan bukan perkara pidana. Akhirnya Polres Jombang sebatas melakukan SP3.
Setahun berlalu, korban lain yang sudah berani melapor turut melaporkan MSA pada Oktober, 2019. Sebulan kemudian, tepatnya pada 12 November 2019, Polres Jombang menetapkan MSA sebagai tersangka kasus kekerasan seksual. Saat ini, kasus telah dialihkan ke Polda Jawa Timur.
Tidak Diproses
Upaya pelaporan oleh korban-korban kekerasan seksual sudah ditempuh oleh TAM dan korban. Namun kasus ini belum juga diproses secara hukum. Kasus ini mangkrak tanpa penyelesaian yang jelas.
Ketidakjelasan proses hukum ini diperburuk dengan perspektif pihak pesantren yang melakukan victim blaming. Dalam berbagai ceramah yang dilakukan oleh Ayah MSA, ia menyatakan bahwa kasus kekerasan oleh MSA tidak benar adanya. Kasus kekerasan seksual oleh anaknya itu dianggap sebagai laporan palsu. Ia juga mengajak para jamaahnya untuk membenci korban kekerasan seksual yang melaporkan kasus-kasusnya. Tak hanya itu, ia menyebutkan bahwa kasus tersebut sengaja diciptakan untuk menghancurkan pesantren.
Hal ini membuat TAM marah atas tindakan-tindakan yang justru menyudutkan korban kekerasan seksual ini. TAM juga kecewa dengan tindakan pihak pesantren. Kemarahan dan kekecewaan TAM ini membuat dirinya tergerak untuk menuliskan keresahan dan kekhawatirannya tentang perkembangan kasus MSA. Pada akhirnya, TAM menuliskan persoalan tersebut di laman Facebook pribadi.
Intimidasi
Pada 9 Mei 2021, TAM menghadiri undangan khataman Alqur’an di rumah salah satu tetangganya. Sekitar pukul 10.00 WIB, terdapat 6 orang yang tiba-tiba saja berteriak dan mengepung TAM.
Dengan kasarnya, mereka merampas ponsel TAM. Mereka mengatakan TAM telah melakukan penghinaan terhadap gurunya. Mereka juga mencengkram mulut TAM. Kepala TAM dibenturkan beberapa kali ke tembok dengan sangat keras.
Mereka tidak peduli saat TAM menyebut bahwa kekerasan tidak dibenarkan. Mereka bahkan berusaha memukul TAM lagi. Namun, pemilik rumah menghalangi mereka.
Pada akhirnya, mereka berhasil diusir dan diminta untuk tidak membuat kekacauan. 6 orang tak diundang itu berhenti melakukan kekerasan fisik. Namun, mereka mengancam TAM secara verbal. “Ingat, sekarang kita datang cuma 6 orang, nanti malam semua orang pesantren akan mendatangi rumahmu, kamu tidak akan selamat,” ujar mereka.
Setelah itu, mereka berlari untuk pergi dengan membawa ponsel TAM.
Berbagai Serangan
Peristiwa penganiayaan itu membuat TAM melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwajib, tertanggal 9 Mei 2021. Di saat yang bersamaan, ternyata puluhan santri dari pesantren MSA itu mendatangi rumah TAM. Banyak mobil dan motor yang berhenti di sekitar rumah TAM dan mengepungnya.
Keluarga TAM merasa takut, begitu pula dengan tetangga TAM yang merasa terintimidasi karena pengepungan tersebut. Setelah peristiwa pengepungan ini, TAM kemudian pergi ke rumah aman untuk mengamankan diri. Sedangkan warga kampung berupaya meningkatkan keamanan keluarga TAM dengan cara berjaga secara bergantian.
Namun intimidasi yang TAM terima nyatanya tidak berhenti pada kekerasan fisik dan teror. Melainkan juga berbagai serangan digital. Melalui media sosial, pihak pesantren melakukan ujaran kebencian dan menyebarkan identitas TAM beserta keluarga.
Dampak
Berbagai intimidasi yang tak kunjung usai membuat TAM merasakan trauma cukup berat dan ketakutan. TAM mengalami sakit kepala selama berhari-hari. Selain itu, TAM juga tidak berani pulang ke rumah karena sangat riskan, sehingga ia tidak bisa bertemu dengan keluarga.
Baca Juga: Peran Pendamping dan Kerahasiaan Identitas Korban
Sementara itu, TAM juga kehilangan barang berharganya, yaitu ponsel. Hal ini membuat TAM sulit menjalin komunikasi dengan siapapun. Kini TAM dalam ancaman pihak pesantren yang melaporkannya dengan kasus pencemaran nama baik. Selain itu, TAM juga disebutkan sebagai pelaku pengrusakan mobil, yang sama sekali tidak TAM lakukan.
TAM melakukan sensor diri karena kemunculannya bisa memantik intimidasi yang lebih luas dari pihak pesantren. TAM meneguhkan dirinya untuk tetap setia pada kebenaran dan berpihak pada korban kekerasan seksual. “Hari-hari yang saya lalui rasanya seperti berada pada titik nol. Apa yang saya lawan bukanlah suatu hal kecil, melainkan raksasa. Mereka memiliki modal sosial, ekonomi, serta politik yang membuat mereka berkuasa. Sedangkan saya, hanyalah seorang perempuan muda yang tidak punya kuasa apa pun, selain keyakinan dan keteguhan saya untuk memihak pada kebenaran,” jelas TAM.
Advokasi Kasus
Setelah kasus penganiayaan yang terjadi kepada TAM, kawan-kawan TAM di Jawa Timur membentuk aliansi untuk mengadvokasi kasus ini. Kini, TAM berada dalam perlindungan lembaga berwenang. Aliansi untuk mengadvokasi kasus TAM ini juga semakin meluas ke luar daerah Jawa Timur. Kawan-kawan yang tergabung dalam aliansi berkomitmen untuk bersolidaritas serta mengawal kasus penganiayaan terhadap TAM. []
Tulisan ini dituliskan ulang berdasarkan testimoni penyintas. Identitas penyintas ada pada redaksi