Menjadi Pendamping Korban
Oleh: Helga Inneke Worotijan
Tentu kita semua berharap untuk dapat menikmati hidup damai tanpa kekerasan terhadap perempuan. Sayangnya, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih banyak terjadi.
Lantas, apa yang harus dilakukan apabila mendapati saudara, rekan, atau orang lain mengalami kekerasan? Berikanlah ia pertolongan. Jadilah pendamping korban yang menemaninya untuk meraih keadilan.
Semua orang dapat menjadi pendamping korban, termasuk para penyintas. Namun demikian, berperan sebagai pendamping korban tentu harus memiliki basis pengetahuan dan keterampilan dalam penanganan perempuan dan anak korban kekerasan. Hal ini nyata urgensinya agar pendamping korban tidak menjadi orang yang menyalahkan korban atau justru membuat korban tidak nyaman untuk mengambil keputusan.
Berdasarkan pengalaman, ada sejumlah hal yang harus diperhatikan oleh pendamping korban, khususnya dalam hal ini para-konselor nonprofessional.
Pertama, butuh kepedulian. Dalam benak setiap pendamping korban, hendaknya dicamkan bahwa kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih banyak terjadi, sementara keberadaan pendamping korban masih belum memadai.
Dengan berkomitmen menjadi pendamping korban, setidaknya kita akan dapat menyelamatkan korban dari keterpurukan dan membantunya agar dapat bangkit dan pulih kembali.
Kedua, butuh pelatihan untuk mengasah pemahaman tentang hak asasi manusia dan keadilan gender. Pendamping wajib paham prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan gender sehingga dalam pendampingan yang dilakukan dapat menerapkan pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia dan juga terhindar dari perlakuan diskriminatif dan bias gender kepada korban.
Ketiga, butuh latihan dan disiplin. Dalam melakukan pendampingan, pendamping korban itu harus punya stamina mendengarkan yang sangat besar. Ingat ya, stamina mendengarkan, bukan stamina bicara! Ini tentu perlu dilatih.
Keempat, butuh kepekaan. Prinsip pendampingan adalah memberdayakan korban kembali. Pendamping korban itu berperan untuk mengembalikan fungsi kontrol diri korban yang dirampas pelaku saat kejadian kekerasan. Hindari memberi saran atau masukan! Dorong korban memilih sendiri proses penyelesaian masalahnya!
Tentu saja, pendamping koban juga perlu menjelaskan apa saja pilihan yang dapat diambil, bagaimana caranya, dan apa saja konsekuensi yang akan muncul.
Kelima, butuh ketulusan. Korban bukan alat bagi seorang pendamping untuk mencari panggung. Jangan membawa korban ke media untuk wawancara terbuka. Bila ada laporan kasus, minimalisir identitas korban, keluarga korban, tempat belajar, tempat kerja dll, termasuk identitas pendamping. Apalagi bila kasusnya diproses secara hukum, akan lebih banyak merugikan korban. Dalam hal ini, pendamping wajib memberi pandangan dan informasi yang memadai pada korban yang memaksakan diri tampil di depan media.
Keenam, butuh berjarak. Minimalisir kontak pribadi pendamping korban kepada korban, tentukan sebuah cara berkontak yang aman. Sebaiknya pendamping korban dan korban yang berada dalam suatu proses yang masih berlangsung, tidak saling berkoneksi di media sosial. Ingat, prinsip-prinsip hidup bahkan ideologi sangat mungkin berbeda, bisa menimbulkan ketidaknyamanan. Ruang pribadi pendamping korban juga harus dijaga demi kesehatan mental bersama.
Ketujuh, butuh self-control. Bila mungkin, seorang pendamping korban sebaiknya memiliki nomor telepon khusus penanganan kasus yang terpisah dari nomor pribadi. Kontrol cara berkoneksi antara pendamping dan korban agar tidak tumpang tindih dan merugikan kita sendiri.
Kedelapan, butuh logika sehat. Katakan dengan jujur kepada korban yang didampingi apabila pendamping korban membutuhkan butuh biaya transportasi, atau cari ruang dan tempat untuk mengajaknya bercakap-cakap di tempat yang tidak membebani pendamping korban atau korban dengan biaya ekstra. Jangan karena hendak menolong orang lain justru kita menyusahkan diri sendiri.
Kesembilan, butuh pemulihan. Lakukan konseling atau pemulihan berkala bagi diri sendiri. Ini menjaga setiap kita yang melakukan pendampingan agar tetap awas & berjarak dengan masalah orang lain. Ingat, selalu hindari menyerap energi negatif yang kelak akan membebani kesehatan mental kita. Hal ini terutama sangat penting diperhatikan oleh para penyintas yang memutuskan menjadi pendamping korban.
Selamat mendampingi, berkatNya selalu.[]
Penyintas
Foto: Pixabay.com