Peran Pendamping dan Kerahasiaan Identitas Korban

 Peran Pendamping dan Kerahasiaan Identitas Korban

Ilustrasi (Sumber: AndrzejRembowski/Pixabay.com)

Dalam sistem hukum di Indonesia, terdapat situasi tertentu di mana pemeriksaan terhadap Perempuan Berhadapan dengan Hukum -khususnya perempuan sebagai korban atau pihak- dilakukan secara tertutup. Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, sebagaimana dimaksud Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, meliputi juga perempuan sebagai korban dalam perkara pidana atau pihak termohon atau pemohon dalam perkara perdata.

Dalam perkara pidana, khususnya terkait perkara kesusilaan dan perkara kekerasan dalam rumah tangga, pemeriksaan perempuan korban dilakukan dalam sidang yang tidak terbuka untuk umum. Demikian pula halnya dengan perkara perceraian yang diproses melalui jalur peradilan perdata. Hal ini merupakan salah satu upaya dalam sistem hukum di Indonesia yang ditujukan untuk menjaga kerahasiaan identitas Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Langkah itu juga merupakan upaya untuk melindungi perempuan dari dampak yang tidak diinginkan apabila perkara pidana atau perdata yang sedang dihadapi oleh perempuan tersebut tersebar dan diketahui oleh publik secara terbuka. Misalnya, korban merasa malu, tidak percaya diri, atau merasa tidak aman.

Baca Juga: Mereka yang Tetap Mendampingi Korban

Namun demikian, ada kalanya perempuan korban kekerasan menghendaki tampil terbuka di depan umum. Misalnya, dalam kegiatan yang mempertemukan dengan jurnalis, diskusi terbuka, atau kegiatan lain yang sejenis.  Dalam hal ini, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan khususnya oleh pendamping yang mendampingi perempuan korban kekerasan.

Memberi Informasi yang Utuh

Pendamping berkewajiban menghormati hak perempuan korban yang menghendaki bicara terbuka di hadapan publik. Namun di sisi lain, pendamping perlu memberikan penjelasan dan infomasi yang utuh kepada korban, baik mengenai konsekuensi maupun dampak atas kehadirannya secara terbuka.

Pada umumnya, korban memilih bercerita ke publik, atau belakangan ini ke media sosial, ketika tidak lagi memiliki jalan atau solusi untuk memperoleh keadilan atas kekerasan yang dialaminya. Sejumlah kasus seperti korban pelecehan seksual seorang artis dan presenter beberapa waktu lalu adalah salah satu kasus yang mengemuka.

Ketika suatu kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi konsumsi publik, tentu tidak selalu berdampak negatif. Tidak sedikit korban yang mendapatkan simpati dan dukungan yang cukup tinggi dari masyarakat. Misalnya kasus YY (13), korban kekerasan seksual di Bengkulu yang viral di 2016,  dan kasus J dan J (bukan nama sebenarnya) yang diperiksa di PN Cibinong pada 2019.

Dalam kasus pertama, atas kolaborasi para pendamping, dukungan masyarakat terhadap korban sekaligus menjadi desakan kepada negara untuk memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam daftar Prolegnas Prioritas. Adapun kasus kedua meningkatkan dukungan masyarakat untuk melakukan pengawasan kepada institusi penegak hukum yang melakukan pemeriksaan perkara.

Baca Juga: Pengalaman Menjadi Pendamping Penyintas Kekerasan Seksual di Organisasi Pers Mahasiswa

Demikian pula dengan Baiq Nuril (2019), di mana selanjutnya ia mendapatkan amnesti  dari Presiden. Sebelumnya, Baiq Nuril diputus bersalah di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung atas tuduhan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik berdasarkan pelaporan kepala sekolah yang melakukan pelecehan seksual kepadanya.

Menyiapkan Kondisi Mental

Namun selain respons positif, tanggapan negatif juga merupakan hal yang kadang muncul. Dalam situasi masyarakat yang sebagian masih menghayati perspektif patriarkhi, ucapan dan ungkapan yang bertendensi menyalahkan korban termasuk yang seringkali muncul. Demikian juga dengan tanggapan yang justru mendukung atau membela pelaku.

Tentu ini bukan berarti korban harus terus menerus menyimpan permasalahan yang dialaminya seorang diri. Hal ini justru menegaskan perlunya menyiapkan situasi mental korban agar tidak menjadi semakin terpuruk atas tanggapan negatif yang mungkin terlontar dari masyarakat.

Di sisi lain, hal ini juga menunjukkan upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap perempuan korban kekerasan masih sangat perlu dilakukan, tak terkecuali oleh pemerintah dan masyarakat.

Menjaga Kerahasiaan Identitas Korban

Menjaga kerahasiaan identitas korban dilakukan misalnya dengan tidak menuliskan nama lengkap korban. Pendamping dapat menyarankan penggunaan inisial atau penggunaan huruf tertentu. Namun, pendamping tentu tidak menyarankan penggunaan nama bunga atau nama objek yang justru akan mengobjektifikasi korban.

Adapun dalam penyelenggaraan kegiatan secara daring atau direkam, apabila korban bersedia tampil untuk direkam atau berbicara di depan layar maka identitas korban seperti wajah dan ciri badan tetap harus disamarkan. Hal ini ditujukan agar tidak membuat publik mengenali korban secara tidak langsung.

Baca Juga: Menjadi Pendamping Korban

Dalam sejumlah media TV misalnya, seringkali suara korban pun disamarkan. Jika korban tampil, wajah dan rambut korban sama sekali tidak terlihat atau direkam tanpa pencahayaan.

Adapun jika korban tidak bersedia menutupi identitas dirinya, hal itu haruslah merupakan akhir dari proses pemberian informasi yang utuh kepada korban. Selain itu, juga harus melalui proses penyiapan kondisi mental sepenuhnya. Pada akhirnya, peran pendamping adalah untuk memastikan bahwa keterbukaan infomasi korban tidak dilakukan kecuali menunjang proses pemulihan korban dan akses terhadap keadilan.[]

 

Ema Mukarramah

Senang menulis mengenai pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di sela aktivitasnya di Sekretariat Kaukus Perempuan Parlemen, pernah bertugas sebagai Koordinator Divisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan 2012-2018.

Digiqole ad