Definisi Kekerasan Seksual dalam Hukum di Indonesia

 Definisi Kekerasan Seksual dalam Hukum di Indonesia

Ilustrasi (JalaStoria.id)

Di Indonesia, istilah kekerasan seksual mungkin sudah tidak asing lagi di telinga. Apalagi, setelah muncul usulan untuk mengatur tindak pidana kekerasan seksual dalam undang-undang, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Padahal, jika menelusuri sejumlah laporan terkait kekerasan terhadap perempuan, istilah kekerasan seksual bukanlah hal baru yang muncul di Indonesia. Kekerasan seksual justru merupakan peristiwa kelam dalam sejarah perjalanan bangsa yang nyaris terlupakan.

Lihat ulasan mengenai kekerasan seksual dalam perjalanan bangsa di tautan berikut ini dan di sini ya … Dengan mengingat peristiwa itu, bangsa Indonesia diharapkan juga mampu mencegah agar peristiwa serupa tidak berulang.

Nah, bicara tentang kekerasan seksual, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan definisi kekerasan seksual? Bagaimana hukum di Indonesia mengenali kekerasan seksual sebagai tindak pidana sehingga pelakunya dapat ditindak secara hukum?

Komnas Perempuan (2014) menunjukkan bahwa selama ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang menguraikan arti kekerasan seksual secara utuh dalam sebuah definisi. Walaupun demikian, terdapat sejumlah UU yang menyebutkan frasa “kekerasan seksual” tanpa disertai uraian apa yang dimaksud dengan frasa tersebut, atau dimaknai terbatas pada jenis kekerasan seksual tertentu, atau tidak adanya pemidanaan terhadap perbuatan yang disebutkan.

  1. UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengenali kekerasan seksual dalam definisi yang terbatas pada pemaksaan hubungan seksual. Pasal 5 huruf c UU PKDRT menyebutkan definisi kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilarang.

Lebih lanjut Pasal 8 UU ini menegaskan bahwa kekerasan seksual itu meliputi:

  1. pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; dan
  2. pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan/atau tujuan tertentu.

Dalam hal kekerasan seksual dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangganya, ancaman pidana yang dijatuhkan adalah paling lama 12 tahun penjara atau denda paling banyak 36 juta rupiah (Pasal 46 UU PKDRT). Sementara itu, apabila kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain, ancaman pidana yang dijatuhkan paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun, atau denda paling sedikit 12 juta rupiah (Pasal 47 UU PKDRT).

Pengaturan kekerasan seksual dalam UU PKDRT merupakan terobosan terhadap kekosongan hukum dalam KUHP, di mana KUHP mengecualikan terjadinya kekerasan seksual terhadap istri sebagai perkosaan.

  1. UU Pengadilan Hak Asasi Manusia

Dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, kekerasan seksual disebutkan sebagai perbuatan yang setara dengan perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa dan sterilisasi secara paksa. UU Pengadilan HAM menegaskan bahwa untuk diidentifikasi sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, perbuatan berupa kekerasan seksual itu harus merupakan bentuk tindak pidana sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang ditujukan langsung terhadap masyarakat sipil (Pasal 9).

Dengan demikian, UU Pengadilan HAM membuka peluang bentuk-bentuk kekerasan seksual selain yang disebutkan yaitu perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, dan sterilisasi secara paksa. Namun hal itu terbatas apabila bentuk kekerasan seksual itu dilakukan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, yaitu sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan kepada masyarakat sipil.

Dengan kata lain, peristiwa kekerasan seksual yang terjadi di luar konteks “serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan kepada masyarakat sipil” itu tidak dapat menggunakan UU ini sebagai dasar hukum untuk mempidanakan pelaku.

  1. UU Pornografi

UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi menggunakan frasa kekerasan seksual bukan sebagai tindak pidana. Istilah ini justru ditujukan sebagai muatan pornografi yang penyebarluasannya dilarang.

Pasal 4 ayat (1) UU Pormografi menyebutkan sebagai berikut:
“Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; dan
f. pornografi anak.”

Penjelasan UU ini selanjutnya memaknai kekerasan seksual terbatas sebagai hubungan seksual yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan. Uraian ini berbeda dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menyebutkan terdapat sembilan jenis kekerasan seksual.

Ketentuan dalam UU Pornografi sama sekali tidak mempidanakan pelaku kekerasan seksual. Bahkan, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3, 2019) mengingatkan, ketentuan dalam UU Pornografi tersebut justru dapat memosisikan perempuan korban kekerasan seksual sebagai pelaku pornografi. Hal itu mengingat terdapat ketentuan lain dalam UU Pornografi yang mempidanakan siapapun yang kedapatan menjadi objek atau model dalam pornografi (Pasal 8) dan juga jerat pasal sebagai penyedia jasa pornografi (Pasal 4 ayat (2)).

Pasal 4 ayat (2) berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.”

Adapun Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

“Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi.“

Dalam hal ini, terdapat penjelasan atas Pasal 8 yang menyebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana. Namun demikian, dalam praktik, tidak mudah bagi perempuan korban kekerasan seksual untuk membuktikan adanya ancaman, tekanan, bujukan, tipu daya, atau telah dibohongi orang lain.

Oleh karena itu, JKP3 menyatakan (2019), kelemahan UU Pornografi itu akan diatasi oleh RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menegaskan bahwa korban berhak atas perlindungan dan pemulihan dari tindak pidana yang dialaminya, termasuk berhak untuk terhindar dari tuntutan pidana berdasarkan tuduhan pencemaran nama baik, pelaku pornografi, atau tuduhan tindak pidana lainnya.

  1. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Pendokumentasian Komnas Perempuan dari tahun 1998 sampai 2013 mengidentifikasi terdapat 15 jenis kekerasan seksual. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukan hanya terbatas pada perkosaan dan perbuatan cabul sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Namun, ketiadaan payung hukum atas jenis kekerasan seksual lainnya membuat korban tidak dapat memperoleh perlindungan hukum atas kekerasan seksual yang dialaminya. Hukum sama sekali tidak mengenali tindak pidana yang dialami korban. Penegak hukum tidak dapat memproses karena tidak ada kejelasan pasal yang harus digunakan.

Dari 15 jenis kekerasan seksual, sembilan di antaranya dirumuskan  dalam draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah menjadi RUU usul DPR RI pada 2016. Yaitu, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Dengan kata lain, makna kekerasan seksual dalam RUU ini adalah meliputi sembilan jenis kekerasan seksual. Adapun sembilan jenis kekerasan seksual itu dirumuskan berdasarkan pada pendokumentasian kasus kekerasan seksual 1998-2013, yang di dalamnya teridentifikasi korban yang sungguh tidak sedikit jumlahnya.

Apabila RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dibahas dan disahkan dengan mencakup pengaturan sembilan jenis kekerasan seksual, artinya terbuka peluang bagi korban untuk mengakses ke keadilan. Namun, sepanjang tidak ada norma hukum untuk mempidanakan pelaku, harapan korban atas akses ke keadilan masih akan terhambat.[]

Ema Mukarramah

Senang menulis terkait pemberdayaan perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan

 

Bahan Bacaan:

Komnas Perempuan, Kenali dan Tangani Kekerasan Seksual!, 2013.

Komnas Perempuan, Mewujudkan Perlindungan Hak-hak Perempuan Korban dalam Kebijakan: Himpunan Kertas Posisi dan Kajian dari Berbagai Kebijakan Tahun 2010-2013, 2014.

Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Mengapa DPR dan Pemerintah Harus Segera Membahas dan Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?, Vol. II, 2019.

Digiqole ad