Menjawab Pertanyaan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

 Menjawab Pertanyaan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Cover Booklet Mengapa DPR dan Pemerintah Harus Segera Membahas dan Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (JalaStoria.id)

Penulis                 : Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3)

Desain                  : Neka Rusyda Supriatna dan Kharisanty Soufi Aulia

Tahun Terbit        : Maret 2019

Volume                : I, II, III

Penerbit               : JKP3 bekerja sama dengan MAPPI FH UI

 

Mengapa Indonesia perlu memiliki sebuah UU yang secara khusus mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual? Apakah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual selaras dengan falsafah bangsa Indonesia yang menganut ideologi Pancasila dan khususnya berKetuhanan Yang Maha Esa? Bukankah sudah ada UU lain yang dapat digunakan untuk melindungi korban kekerasan seksual?

Itulah antara lain pertanyaan yang seringkali muncul terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pertanyaan itu setidaknya menggambarkan keraguan sejumlah pihak terhadap RUU ini yang merumuskan sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual di dalamnya.

Nah, untuk menepis keraguan itu, Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) pada 2019 menyusun booklet bertema “Mengapa DPR dan Pemerintah Perlu Segera Membahas dan Mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual?” Booklet ini menyajikan jawaban atas sejumlah pertanyaan yang kerap kali dilontarkan terhadap RUU ini.

Berhubung cukup banyak pertanyaan yang muncul, JKP3 membagi booklet ini menjadi tiga bagian, sebagai berikut ya…: 

  1. Booklet Bagian I: Keselarasan dengan Pancasila Hingga Tujuh Agenda Prioritas

Dalam bagian I ini, terdapat empat hal yang dibahas, yaitu keselarasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Pancasila, dasar pengaturan RUU, kesesuaian dengan ajaran Islam, dan tujuh agenda prioritas dalam RUU.

Bagian ini menegaskan bahwa landasan filosofis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini adalah sila pertama dan kedua Pancasila. Kehadiran Negara dan agama sejatinya memberikan perlindungan bagi orang yang lemah. Korban kekerasan seksual termasuk golongan masyarakat yang lemah dan dilemahkan (mustadh’afin) karena selama ini sulit mengakses keadilan (hlm. 1). Kekerasan seksual adalah perbuatan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, pelanggaran hak asasi manusia (hlm. 7) dan sebuah bentuk kezaliman (hlm. 14).

Namun demikian, korban kekerasan seksual lebih banyak menggantungkan upaya pemulihan kepada lembaga pengada layanan berbasis masyarakat, karena keterbatasan Negara menyediakan layanan pemulihan. Pada akhirnya, tidak jarang di antaranya yang harus berjuang sendiri untuk pulih, karena tidak dapat menjangkau layanan dari manapun. Dalam hal ini, negara perlu memberikan dukungan kepada lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat agar dapat menjangkau korban di manapun berada yang membutuhkan pertolongan (hlm. 2).

Selain itu, kehadiran RUU ini akan melengkapi keberadaan sejumlah UU yang telah ada sebelumnya namun belum mampu memberikan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Kehadiran RUU ini juga tidak menafikan keberadaan sejumlah terobosan kebijakan di sejumlah institusi penegak hukum. Namun, mengingat daya ikat masing-masing kebijakan tersebut terbatas hanya kepada penegak hukum di lingkungan masing-masing institusi, untuk itulah diperlukan peraturan setingkat UU yang mengikat terhadap seluruh aparatur penegak hukum terkait penanganan korban kekerasan seksual (hlm. 4-5).

Dalam hal ini, membentuk RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai UU baru menjadi pilihan ketimbang menyempurnakan UU lain yang telah ada sebelumnya. Hal ini dikarenakan untuk mengintegrasikan perspektif keadilan dalam penanganan korban (atau disingkat perspektif korban), tidak dapat dilakukan dengan menambal sulam UU yang ada. Perspektif korban itu harus dibangun melalui pembentukan norma yang baru, sehingga tidak dapat dilakukan dengan merevisi atau mengubah UU yang sudah ada (hlm. 6)

Selengkapnya, Booklet Bagian I dapat diunduh di sini ya…

  1. Booklet Bagian II: Perbandingan dengan UU Lain Hingga Terobosan Hukum Acara

Pada Bagian II ini, diulas perbandingan RUU ini dengan sejumlah UU. Antara lain, dengan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Nomor 23 Tahun 2002 jo. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Selain itu, UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

RUU ini mempidanakan pelaku yang melakukan kekerasan seksual selain yang diatur UU PKDRT, yaitu selain yang tinggal menetap dalam rumah tangga atau pelaku kekerasan seksual terhadap pasangan.  Dengan demikian, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengatur ketentuan terkait kekerasan seksual yang tidak diatur oleh UU PKDRT (hlm. 29). RUU ini juga mengisi kekosongan hukum dalam UU Perlindungan Anak, khususnya terkait pemaksaan perkawinan yang dilarang oleh UU Perlindungan Anak namun tidak diatur pemidanaannya (hlm. 30).

Sementara itu, UU Pornografi merekatkan eksploitasi seksual sebagai memamerkan aktivitas seksual. Hal ini rentan memosisikan korban kekerasan seksual sebagai pelaku pornografi. Kekeliruan inilah yang akan dikoreksi oleh RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan menegaskan bahwa korban berhak atas perlindungan dan pemulihan dari tindak pidana yang dialaminya, termasuk berhak untuk terhindar dari tuntutan pidana berdasarkan tuduhan pencemaran nama baik, pelaku pornografi, atau tuduhan tindak pidana lainnya (hlm. 32).

Selain itu, UU Pornografi tidak memberikan perlindungan terhadap orang dewasa yang menjadi korban pornografi. UU ini hanya memberikan perlindungan kepada anak yang menjadi korban atau pelaku dari tindak pornografi (Pasal 16 UU Pornografi). Padahal banyak korban pornografi adalah orang dewasa akibat eksploitasi atau perdagangan orang. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, perlindungan kepada korban kekerasan seksual diberikan kepada setiap korban (hlm. 32).

Gimana, Sobat JalaStoria, masih penasaran apa perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU lainnya? Langsung saja unduh Booklet Bagian II di sini ya….

  1. Booklet Bagian III: Dampak Kekerasan Seksual pada Korban hingga Jaminan Hak Korban

Bagian ini menguraikan tiga hal, yaitu dampak kekerasan seksual pada korban, pemulihan korban, dan jaminan hak korban dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Dampak pada korban sangat beragam, namun secara psikologis, akan terdapat suatu fase di mana korban menolak untuk mengakui terjadinya peristiwa itu. Bukan hanya korban yang akan mengalami dampak dari peristiwa kekerasan seksual, melainkan juga pihak terdekatnya seperti keluarga dan pasangan (hlm. 81).

Bagian ini juga menguraikan perbedaan dampak yang mungkin dialami oleh laki-laki dan perempuan. Namun demikian, baik korban laki-laki maupun perempuan mengalami kesulitan tersendiri terutama terkait stereotip yang melekat dari masyarakat. Misalnya, laki-laki distereotipkan sebagai pelaku sehingga sulit bagi laki-laki untuk terbuka bercerita sebagai korban. Demikian pula perempuan yang distereotipkan sebagai pihak yang mengundang terjadinya kekerasan seksual (hlm. 82). Pada intinya, steteotip telah menimbulkan ketidakadilan pada korban, baik laki-laki maupun perempuan.

Selain itu, bagian ini juga menjelaskan satu pertanyaan yang sering muncul, yaitu mengenai kondisi korban yang tidak melawan atau diam saja sehingga dianggap menyetujui terjadinya kekerasan seksual. Dalam ilmu psikologi, respons korban yang diam mematung atau tidak bergerak itu disebut freeze. Ini adalah reaksi yang seringkali muncul ketika seseorang mengalami situasi yang menekan, mengancam keselamatan dan martabat dirinya. Tekanan ini akan lebih berat lagi jika pelakunya adalah orang yang dihormati korban, seperti orang tua, guru, atau atasan (hlm. 84). Dengan demikian, diamnya korban bukan berarti korban tidak melawan atau tidak mau melawan.

Sejumlah pertanyaan terkait kebutuhan pemulihan korban juga diuraikan di sini. Antara lain, berapa lama waktu pemulihan yang dibutuhkan korban? Mengapa pemulihan perlu diatur secara khusus dalam RUU ini? Bagaimana membuktikan bahwa korban mengalami kekerasan seksual jika tidak segera melapor? Seperti apa pemulihan yang perlu diperoleh korban?

Lantas, apa saja penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan itu? Temukan jawabannya di Booklet Bagian III yang dapat diunduh di sini!

***

Setelah membaca Booklet tersebut, diharapkan sejumlah pertanyaan yang selama ini muncul terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat terjawab. Namun, jika Sobat JalaStoria masih punya daftar pertanyaan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang belum ada jawabannya, silahkan menuliskan pertanyaanmu dan mari diskusikan bersama! [RAM]

 

 

Digiqole ad