Mendorong Langkah Maju RUU TPKS
Pers RilisĀ Koalisi Bantuan Hukum Kritis
Koalisi Bantuan Hukum Kritis adalah himpunan lembaga bantuan hukum dan individu yang memiliki kepedulian pada isu akses terhadap keadilan. SebagianĀ besar anggotanya merupakan aktivis hukum/pekerja bantuan hukum dan advokat publik yang memberikan layanan bantuan hukum, termasuk terhadap korban kekerasan seksual.
Koalisi mengamati perkembangan dari pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual telah melangkah maju dengan adanya rapat pleno penyusunan RUU di Badan Legislasi DPR RI pada 30 Agustus 2021. Melalui rapat yang dinyatakan terbuka untuk umum itu, Baleg DPR RI telah membahas draf RUU yang diberi judul RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Baca Juga:Ā RUU TPKS: Langkah Maju yang Butuh Penyempurnaan
Koalisi mencermati bahwa hal ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian proses dalam tahapan Penyusunan sebagaimana dimaksud dalam UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib. Oleh karena itu, masih diperlukan berbagai langkah lainnya agar RUU TPKS ini ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR RI sebelum melangkah ke tahapan berikutya, yaitu Pembahasan Tingkat I dan II.
Berdasarkan perkembangan tersebut, Koalisi menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengapresiasi kerja keras Baleg DPR RI dalam penyusunan RUU TPKS. Di tengah gelombang hoax, disinformasi, dan kecurigaan atas substansi yang dihembuskan terhadap RUU ini, penyusunan RUU TPKS dalam masa bakti Baleg DPR RI periode 2019-2024 ini tentu merupakan upaya yang tidaklah mudah. Dengan hadirnya RUU ini, Pimpinan dan Anggota Baleg DPR RI telah menunjukkan komitmen untuk melengkapi sistem hukum baik substansiĀ dan struktur hukum maupun budaya hukum dalam pelindungan terhadap korban kekerasan seksual.
- Mendukung Baleg DPR RI untuk menuntaskan langkah maju yang telah dibangun, dengan merampungkan draf RUU TPKS dan melengkapinya dengan materi muatan untuk pelindungan korban yang masih terluput dalam rumusan. Koalisi juga menyerukan agar Baleg DPR RI tegas menolak upaya penyisipan rumusan norma yang tidak relevan dengan pelindungan korban, termasuk yang berpotensi mengkriminalisasi korban kekerasan seksual dan menjauhkannya dari akses ke keadilan.
- Mendukung Baleg DPR RI yang meletakkan RUU TPKS sebagai lex specialis dari KUHP, di mana RUU TPKS ini berada di luar KUHP mengingat jenis tindak pidana kekerasan seksual yang dirumuskan dalam RUU ini tidak dapat serta merta dintegrasikan ke dalam KUHP. Selain itu, penggabungan tindak pidana kekerasan seksual ke dalam KUHP berpotensi membuat korban terjatuh ke dalam lingkaran reviktimisasi sebagai pelaku kejahatan kesusilaan. Apalagi kesulitan yang dihadapi korban selama ini terkait hukum acara yang merujuk pada KUHAP, di mana KUHAP tidak memberikan ruang perhatian yang maksimal terhadap korban, terutama dalam pembuktian. Dengan demikian, penggabungan kejahatan kesusilaan dengan kekerasan seksual justru akan menambah persoalan bagi korban.
- Meminta Baleg DPR RI untuk menyerap aspirasi sepenuhnya dari kelompok pendamping korban, termasuk aktivis/pekerja bantuan hukum dan advokat yang mendampingi korban kekerasan seksual, serta dari komunitas korban dan keluarga korban. Kami percaya adanya 1 orang korban pun haruslah dipandang serius, apalagi jika terdapat banyak korban sebagaimana dilaporkan setiap tahun dalam Catahu Komnas Perempuan dan lembaga-lembaga penyedia layanan. Dengan mendengarkan langsung kesulitan yang dihadapi korban, Anggota DPR RI sebagai wakil rakyat tentu memiliki keterbukaan hati dan pikiran untuk menggenapi komitmen pelindungan korban kekerasan seksual dalam menjalankan tugas konstitusional di lembaga legislatif.
Koalisi berkomitmen untuk memberikan dukungan dalam tahapan penyusunan RUU TPKS di Baleg DPR RI. Oleh karena itu, Koalisi memberikan sejumlah catatan untuk penguatan rumusan RUU agar tujuan pelindungan korban sepenuhnya dapat terwujud.
Masukan 1: Tetap menggunakan rumusan judul RUU TPKS, karena judul RUU ini lebih sesuai dengan kerangka sebagai UU yang bersifat tindak pidana khusus. Melalui kerangka ini, RUU TPKS tidak hanya mengatur kekerasan seksual sebagai delik yang merupakan wilayah penegakan hukum, melainkan juga mengintegrasikan dimensi pencegahan kekerasan seksual, peran pemerintah dan pemerintah daerah dalam pelindungan korban, dan mekanisme pelayanan terpadu bagi korban.
Masukan 2: Penyempurnaan sejumlah rumusan norma. Misalnya, definisi kekerasan seksual di Ketentuan Umum perlu disempurnakan dengan tidak menggunakan frasa “secara paksa” karena frasa ini akan membatasi. Selain itu, dalam norma ini perlu dilengkapi dengan frasa ‘penggunaan kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan posisi rentan.
Baca Juga:Ā Definisi Kekerasan Seksual dalam Hukum di Indonesia
Masukan 3: RUU TPKS tetap mengatur 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual. Meskipun, tidak berupa suatu tindak pidana (isolated crime). Unsur -unsur tindak pidana dalam 9 bentuk kekerasan seksual tersebut tetap dapat diakomodasi dalam RUU TPKS. Selain itu, RUU TPKS perlu menjangkau kekerasan seksual berbasis siber atau yang menggunakan sarana penyebaran informasi secara elektronik, yang faktanya semakin memprihatinkan terutama di tengah situasi pandemi Covid-19.
Masukan 4: RUU TPKS agar mengatur pemenuhan hak-hak korban dalam suatu bab tersendiri. Perumusan ketentuan ini pada prinsipnya tetap sejalan dengan kerangka UU pidana khusus internal di mana secara substantif UU pidana khusus internal dapat meliputi berbagai ketentuan selain pengaturan tindak pidana itu sendiri.
Masukan 5: RUU TPKS memperjelas perumusan mandat kepada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait pencegahan dan pemulihan.
Baca Juga:Ā Menjawab Pertanyaan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Masukan 6: RUU TPKS perlu mengakomodasi prinsip penanganan terpadu dalam satu atap (one stop crisis centre). Secara teknis ketentuan ini dapat diuraikan lebih lanjut dalam peraturan pelaksana termasuk dengan mempertimbangkan keragaman situasi dan kondisi geografis, ketersediaan sumber daya di tiap wilayah, dan lain sebagainya.
Masukan 7: RUU TPKS menegaskan ketentuan bahwa pembiayaan untuk pelaksanaan ketentuan dalam UU ini baik melalui APBN maupun APBD harus dialokasikan sebesar-besarnya untuk mewujudkan keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual. Dengan demikian, dalam implementasi UU ini nantinya di tingkat perencanaan program dan kegiatan hendaklah diarahkan untuk mengatasi berbagai hambatan yang dialami korban kekerasan seksual selama ini, terutama dari sisi pembuktian, pengetahuan dan keterampilan penegak hukum dalam penanganan korban, sarana prasarana untuk pelindungan dan pemulihan korban, dan rumah aman. []
23 September 2021
Koalisi Bantuan Hukum Kritis
- Citra Tangkudung (YLBHI– LBH Manado)
- Danielle JP. Samsoeri (Samsoeri & Dewabrata Law Firm)
- Dewita Hayu Shinta (JaDI Jatim)
- Dian Kartika Sari (Advokat)
- Ermelina Singereta (Parinama Astha/Dike Nomia Law Firm)
- Heroepoetri, Arimbi (Purna Komisioner Komnas Perempuan)
- Luh Putu Anggreni (Lentera Anak Bali)
- Nilawati (LBH APIK Bali)
- Nur Aida Duwila (LBH APIK Jayapura)
- Nur Amalia (Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara – PPMAN)
- Pratiwi Febry (Advokat)
- Ratna Batara Munti (Asosiasi LBH APIK Indonesia)
- Sri Nurherwati (Advokat/Yayasan Sukma)
- Umi Farida (ECPAT Indonesia)
- Wide Afriandy (Forum Bantuan Hukum untuk Kesetaraan)
- dan 19 individu pemberi bantuan hukum lainnya yang tidak disebutkan satu persatu
Untuk informasi lebih lanjut:
- Citra Tangkudung (YLBHI ā LBH Manado): tang.citra@gmail.com
- Ermelina Singereta (Parinama Astha/Dike Nomia Law Firm)
- Danielle JP. Samsoeri (Samsoeri & Dewabrata Law Firm)