Siaran Pers: Memutus Kekerasan Seksual Anak dengan UU TPKS
Peristiwa kekerasan seksual anak kembali mencuat. Kali ini, peristiwa terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Korban mengalami tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh empat anggota keluarganya sendiri, yaitu ayah kandung, kakak kandung, dan dua orang pamannya.
Hal itu diungkapkan oleh Polrestabes Surabaya, Jawa Timur dalam konferensi pers pada Senin (22/1/2024). Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Hendro Sukmono mengatakan, korban yang kini berusia 13 tahun mengalami kekerasan seksual sejak usia 9 tahun.
“Sejak tahun 2020, korban mengatakan mengalami pencabulan dari para pelaku, berawal dari kakak kandung, yang mana saat ia berusia 16 tahun, menyetubuhi korban saat kelas 3 SD,” kata Hendro seperti yang dilansir BBC Indonesia.
Tentu saja, peristiwa ini membuat geram semua pihak. Sebab, keluarga dan orang terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan, justru melakukan tindak kekerasan seksual. Ini tentu menambah catatan hitam dalam jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Mendominasi Tindak Kekerasan Pada Anak
Perkumpulan JalaStoria Indonesia turut prihatin dengan peristiwa yang dialami korban di Surabaya.
“Kami sangat prihatin dengan terjadinya kekerasan seksual yang dialami korban di Surabaya. Korban yang seharusnya menikmati masa kecil yang indah, justru menjadi korban kekerasan seksual oleh pihak keluarganya sendiri, terlebih ayah dan kakak kandungnya,” tutur Direktur Eksekutif JalaStoria, Ninik Rahayu, dalam pernyataannya, Kamis (25/1/2024).
Ninik pun mendorong agar aparat penegak hukum menangani kasus ini dengan menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU ini telah diundangkan pada Mei 2022 lalu dan telah berlaku sejak diundangkan. Dengan menggunakan UU TPKS, korban kekerasan seksual tidak hanya mendapatkan hak atas keadilan di mata hukum, tetapi juga hak atas penanganan, perlindungan, hingga pemulihan.
Baca Juga: Bukannya Menjaga dan Melindungi, Seorang Ayah Tega Perkosa Anaknya Sendiri
Berdasarkan UU TPKS, korban kekerasan seksual mendapat hak perlindungan meliputi kerahasiaan identitas serta perlindungan dari tindakan merendahkan yang dilakukan oleh aparat yang menangani kasus. Korban juga mendapatkan perlindungan atas kehilangan pekerjaan, mutasi, pendidikan, hingga akses politik. Pemenuhan hak korban merupakan kewajiban negara, sehingga berbagai pihak termasuk instansi pemerintah yang terkait harus menyediakan layanan sesuai kebutuhan korban agar hak-hak korban terpenuhi.
Baca Juga: Setahun UU TPKS (Seri 1): dalam Dualisme Hukum
Selain itu, Ninik juga meminta agar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan & Anak (UPTD PPA) Provinsi Jawa Timur. Dengan demikian, hak-hak korban untuk mendapat pendampingan dan pemulihan selama dan setelah proses hukum dapat tertangani. Ninik juga berharap agar KemenPPPA dapat berkoordinasi dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sehingga hak restitusi korban dapat dipenuhi.
Kemudian, Ninik mengimbau agar masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan sosial baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat umum. Sebab, kekerasan seksual tidak hanya dapat terjadi di ruang publik atau dilakukan oleh orang tidak dikenal, melainkan nyata terjadi di ruang privat dan dilakukan oleh orang terdekat. Ia juga mendorong agar masyarakat turut memberikan pelindungan bagi korban, dengan menerima keberadaan korban dan tidak menyalahkan korban yang baru berani melapor setelah mengalami kekerasan seksual selama 4 tahun.
Sebaliknya, masyarakat perlu mengambil langkah konkret untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terutama yang dilakukan oleh anggota keluarga. Misalnya, dengan menginformasikan kepada setiap rumah tangga di lingkungannya mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual dan menyerukan untuk melapor apabila mengetahui atau mengalami kekerasan seksual.
Baca Juga: UU TPKS Ajak Korban Kekerasan Seksual Berani Lapor
Dinamika kasus kekerasan seksual di Indonesia memang cukup tinggi jika dihitung rata-rata tiap tahunnya. Menurut data yang dihimpun melalui SIMFONI PPA Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pada tahun 2020 terdapat 20.499 kasus kekerasan, di mana sebanyak 8.210 kasus merupakan kekerasan seksual. Kemudian pada tahun 2021, terhimpun 25.210 kasus kekerasan, di mana 10.327 kasus merupakan kekerasan seksual.
Sedangkan tahun 2022 tercatat 27.593 kasus kekerasan, dengan 11.682 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Lantas pada tahun 2023, sampai dengan 7 Desember 2023, terdapat 25.618 kasus, dengan 11.293 di antaranya tercatat kasus kekerasan seksual. Fakta tersebut menunjukkan diperlukan intervensi berbagai pihak untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual.