Setahun UU TPKS (Seri 1): dalam Dualisme Hukum

 Setahun UU TPKS (Seri 1): dalam Dualisme Hukum

Ilustrasi (Sumber: Free-vector/Freepik.com)

Setahun lalu, tepatnya 12 April 2022, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) disetujui bersama oleh DPR RI dan Pemerintah untuk disahkan menjadi Undang-Undang. Adapun UU ini mulai berlaku sejak 9 Mei 2022, yaitu setelah UU ini ditandatangani oleh Presiden dan dicatat dalam lembaran negara. Kehadirannya dipenuhi harapan untuk menjadi terobosan dalam memenuhi hak korban kekerasan seksual baik penanganan maupun pemulihan.

Seturut dengan itu, mengacu pada lembar fakta Catahu Komnas Perempuan 2023 menunjukkan kekerasan seksual masih dominan dalam data pengaduan sepanjang 2022, yaitu 2.228 kasus atau sekira 38,21%.  Sedangkan data dari lembaga layanan, kekerasan seksual juga masih dominan (4.102 kasus atau 26,52%.)

Berdasarkan data pengaduan yang diterima, Komnas Perempuan mengungkap kekerasan seksual di ranah publik selalu tertinggi (1.127 kasus). Kehadiran UU TPKS memang tidak serta merta membuat pelaku kekerasan seksual berkurang. Namun, UU ini akan menjadi batu uji atas sikap dan respons aparat terhadap kasus kekerasan seksual yang terungkap. Apakah UU TPKS digunakan sebagai dasar hukum untuk mempidanakan pelaku dan memenuhi hak korban?

Melalui penelusuran di mesin pencari, JalaStoria mencoba memotret penerapan UU TPKS setelah diundangkan pada 9 Mei 2022. Hanya dua kasus kekerasan seksual yang ditelusuri dalam tulisan ini untuk menunjukkan adanya perbedaan di daerah terhadap penerapan UU TPKS.

Pilih Aturan Lokal daripada UU TPKS

Di Aceh, terdapat kasus  pencabulan yang dilakukan Bakhtiar terhadap puluhan perempuan di Kecamatan Padang Tiji, Pidie, Aceh. Berkedok pengobatan alternatif, Bakhtiar yang berjuluk Pesulap Hijau itu dilaporkan korban pada 20 September 2022. Hingga Selasa (11/4/2023) Bakhtiar divonis 12,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Sigli, Aceh. Bakhtiar terbukti melanggar Pasal 48 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.

Baca Juga: Pengesahan UU TPKS 12 April 2022

Sebelumnya, aktivis perempuan Aceh yang tergabung dalam Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan (RPuK) meminta polisi tidak menggunakan Qanun Jinayat dalam proses hukum Pesulap Hijau. Sekretaris Eksekutif RPuK Badriah A Taleb mengatakan proses hukum terhadap Bakhtiar tidak adil bagi korban. RPuK meminta aparat penegak hukum menggunakan UU TPKS yang lebih komprehensif dan detail dalam penanganan kasus tersebut.

Namun Kapolres Pidie AKBP Padli mengatakan tidak dapat menjerat pelaku dengan UU TPKS. Polisi memilih menggunakan Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014, merujuk pada UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam konteks dualisme hukum seperti di Aceh, penerapan UU TPKS masih menemui tantangan.

Jogja Gunakan UU TPKS

Di Jogjakarta, Polres Bantul menjerat pelaku kekerasan seksual pelatih cabang olah raga gulat terhadap atlet berprestasi binaannya dengan UU TPKS. Kasatreskrim Polres Bantul mengaku proses penanganan kasus membutuhkan waktu lama lantaran ini kali pertama menggunakan UU TPKS. Penahanan terhadap pelaku baru bisa dilakukan pada 28 Maret 2023, lima bulan sejak korban melaporkan kasusnya ke unit PPA dan SPKT Polres Bantul. Ini karena polisi perlu lebih dulu menguatkan barang bukti.

Polisi menetapkan tersangka melanggar Pasal 6 huruf (b), “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara fisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/ atau organ reproduksi dengan maksud menempatkan seseorang di bawah kekuasaannya secara melawan hukum, baik di dalam maupun di luar perkawinan dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.OO0.0OO,O0 (tiga ratus juta rupiah).”

Pasal 6 huruf (c), “Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.0OO.0OO,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Baca Juga: UU TPKS: Tonggak Baru Peradaban Indonesia

Dalam kasus ini, polisi tidak semata menggunakan visum sebagai alat bukti. Polisi menggunakan alat bukti lain, seperti kondisi psikologis dan perubahan perilaku korban, serta keterangan 13 orang saksi, yakni rekan dan keluarga korban serta keterangan Ahli.

***

Perjalanan pengesahan UU TPKS tidaklah sebentar. Proses panjang dilalui bermula sejak RUU TPKS tercatat masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tambahan pada Januari 2016 dengan nama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Sampai kemudian RUU ini diundangkan pada 9 Mei 2022.

Kini, setahun sudah UU TPKS hadir. Ia memerintahkan negara melindungi dan memenuhi hak korban. Ia juga membuka informasi dan pemahaman baru bagi masyarakat tentang kekerasan seksual, mendukung upaya pencegahan; penanganan; dan pemulihan korban.

Namun,  penerapannya sebagai dasar hukum penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual masih menemui tantangan. Masih ada daerah yang belum menggunakan UU ini karena dualisme hukum. Tantangan ini perlu diatasi agar tidak merugikan korban dan memperlebar ruang impunitas bagi pelaku. [Nur Azizah]

 

Sumber:

https://komnasperempuan.go.id/download-file/949

https://kumparan.com/kumparannews/aktivis-perempuan-aceh-minta-polisi-tak-gunakan-qanun-untuk-hukum-pesulap-hijau-1z8ciVZK2r8/3 https://regional.kompas.com/read/2022/10/29/094900278/sosok-pesulap-hijau-dukun-palsu-yang-diduga-cabuli-puluhan-ibu-muda-di-aceh?page=all

https://www.krjogja.com/peristiwa/read/499244/lakukan-pelecehan-seks-pada-atlet-pelatih-gulat-di-bantul-akhirnya-ditahan

https://www.gatra.com/news-568414-hukum-atlet-gulat-alami-kekerasan-seksual-hingga-depresi-pelatihnya-dijerat-uu-tpks-terancam-12-tahun-penjara.html

 

 

 

 

Digiqole ad