UU TPKS Ajak Korban Kekerasan Seksual Berani Lapor

 UU TPKS Ajak Korban Kekerasan Seksual Berani Lapor

Ilustrasi (Sumber: Free-victor/Freepik.com)

Suatu pagi anak seorang teman, sebut saja namanya Nina, datang menemuiku. Wajahnya sayu dan tampak menanggung beban berat. Perkenalanku dengan Nina bermula lantaran ia sering melihatku di sekolah saat menunggu anak-anak pulang. Nina sering kulihat dari kejauhan, yang juga sama-sama menunggui adiknya pulang sekolah. Perempuan yang berusia sekitar 18 tahun itu kulihat sering menyendiri. Mungkin karena di antara kami para ibu, dia yang paling muda. Ia pernah kuajak berbicara saat kami hanya berdua menunggu anak-anak pulang sekolah. Dari sinilah aku dan Nina menjadi dekat.

Pagi itu saat menemuiku kulihat raut mukanya berbeda. Kudengarkan cerita panjangnya yang sering terjeda oleh suaranya yang tercekat. Kepadaku dia mengatakan tak ingin berlama-lama tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Nina baru lulus SMA di sebuah kota tak jauh dari Jakarta dan tinggal bersama neneknya. Untuk mencari kerja, Nina memutuskan menumpang di rumah ibunya sampai ada panggilan kerja dari sejumlah lamaran pekerjaan yang sudah dikirimnya.

Namun, belum sampai sebulan, Nina gusar. Ia sering melihat ibunya bertengkar dengan ayah tirinya. Ia tak tahu pasti penyebab pertengkaran keduanya. Nina sering menduga kalau dirinya yang jadi sebab percekcokan kedua orang tuanya. Perasaan sensitif Nina muncul lantaran ia merasa menambah beban ibu dan ayah tirinya. Rumah ibunya kecil. Memiliki dua kamar kecil, dapur dan ruang tamu, yang dihuni orang tua dan ketiga adik hasil pernikahan ibu dengan ayah tirinya.

Selain tak nyaman dengan pertengkaran yang sering ia dengar, Nina rupanya trauma. Saat baru menikah dengan ibunya, ayah tirinya mencabuli Nina saat rumah sedang sepi. Nina tak menceritakan peristiwa sedih yang ia alami saat duduk di bangku sekolah dasar kepada ibunya. Nina takut ibunya sedih. Dengan alasan kangen dengan neneknya Nina kemudian memohon kepada ibunya untuk mengantarnya ke rumah nenek. Tanpa curiga, ibu Nina mengabulkan permintaannya. Sampai kemudian hari ibunya mengetahui dari neneknya kalau Nina menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan suaminya.

Bertahun-tahun sampai Nina lulus SMA, ibunya tak pernah menanyakan tentang pelecehan seksual yang dilakukan ayahnya. Nina kesal. Seolah, ibunya lebih menyayangi ayahnya ketimbang dirinya. Bukan berarti Nina berharap ibunya menceraikan ayahnya, tetapi tak pernah sekalipun ada permintaan maaf dari ibu atau ayah tirinya.

Kini Nina hanya ingin menjauhi ayah dan ibunya. Berjuang seorang diri untuk melupakan traumanya.

Baca Juga: Kekerasan Seksual pada Anak, Kenali 3 Tanda Ini

Kisah Nina mengingatkanku pada pernyataan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Iskandar bahwa pendampingan dan dukungan keluarga korban kekerasan seksual sangat penting. Seringkali kasus yang seperti dialami Nina menguap karena korban tidak berani melapor dan keluarganya tidak mendukung.

Bahkan banyak kasus kekerasan seksual mandek karena pelapor mendapat tekanan untuk menghentikan laporan dari keluarga korban sendiri. Misalnya saat suami atau saudara dekatnya menjadi pelaku kekerasan seksual (KS), ibunya mengancam tidak akan mengakui korban sebagai anaknya.

“Korban sering menjadi korban ganda. Tidak hanya korban KS oleh pelaku, tetapi juga tekanan keluarganya untuk memaafkan pelaku,” ujar Livia dalam dialog interaktif yang dilaksanakan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual (JPHPKKS) bekerjasama dengan Yayasan Sukma dan Pro RRI Semarang, Jawa Tengah dengan tema “Pendampingan korban dalam UU TPKS”, Sabtu (6/8/22).

Nur Laia Hafidoh atau biasa disapa Yaya, Direktur Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) juga menyampaikan pandangan serupa. Selama tahun 2021, Lembaga KJHAM mencatat ada 100 kasus kekerasan seksual di mana hampir 70 persen kasus tragis yakni korban meninggal dengan pelaku orang terdekat. Dari sinilah kehadiran lembaga layanan masyarakat menjadi penting untuk memberikan pendampingan terhadap korban.

Yaya menilai UU TPKS sebagai suatu lompatan payung hukum yang mengatur perlindungan korban. Apalagi mengatur secara spesifik tentang lembaga layanan untuk melakukan pendampingan sejak menerima pengaduan, konseling, mendampingi pelaporan, dan pemulihan. Penanganan kasus kekerasan seksual menurut Yaya sering menghadapi banyak kendala di antaranya saat proses hokum. Proses ini paling mempengaruhi korban. Saat korban memperjuangkan haknya pelaku yang merupakan pejabat publik dan punya pengaruh justru mendapatkan impunitas. Belum lagi jika pendamping mendapat ancaman atau teror yang dapat mempengaruhi psikologis korban dalam proses pembuktian dan perjuangan korban.

Untuk itu Yaya berharap partisipasi masyarakat dalam mengimplementasikan UU TPKS. Masyarakat bisa memberikan dukungan kepada korban kekerasan seksual untuk melaporkan kasusnya dan memastikan mendapatkan layanan dari Lembaga layanan pendampingan kasus kekerasan seksual.

Baca Juga: 3 Jurus Orang Tua Cegah Kekerasan Seksual

Sayekti Pribadiningtyas, psikolog dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak Kabupaten Batu, Malang, Jawa Timur juga mengajak masyarakat yang menjadi korban kekerasan seksual untuk berani melapor. Apalagi saat ini Indonesia telah memiliki UU TPKS yang semangatnya melindungi masyarakat, khususnya perempuan dari ancaman kekerasan seksual.

“Tidak perlu takut untuk melapor. Jangan lupa, kita saat ini memiliki kekuatan medsos (media sosial) untuk membuka (kasus) selain adanya kepastian perlindungan hukum dengan UU TPKS,” ujarnya di acara yang sama.

***

Jika sebelum UU TPKS lahir korban ragu dan takut melapor. Kini, UU TPKS hadir meneguhkan keberanian korban dan keluarganya untuk melapor. UU TPKS lahir menjawab tantangan dan hambatan korban, penyedia layanan, penegak hukum dalam memenuhi pelindungan, pendampingan, dan pemulihan. [Kustiah]

 

 

 

 

 

 

 

 

Digiqole ad