Represivitas Aparat di Tanah Adat

 Represivitas Aparat di Tanah Adat

Ilustrasi (Sumber: aman.or.id)

 

 

Pada 9 Desember 2021, sejumlah anggota Polres Nagekeo di Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat Rendu yang berjuang mempertahankan tanahnya. Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), melalui rilis yang diterima JalaStoria (20/12/21), menyebut bahwa tindakan kekerasan tersebut merupakan pelanggaran hukum.

Menurut PPMAN, tindakan represif polisi tersebut bertentangan dengan mandat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 18B ayat (2). Pasal ini berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”

Selain itu, menurut PPMAN, masyarakat adat sudah semestinya mendapat perlindungan dan pengakuan oleh pemerintah. Baik pemerintah pusat dan provinsi, maupun pemerintah daerah. Hal ini selaras dengan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945.

Baca Juga: Mengajukan Visum ke Kepolisian

Nur Amalia, Ketua Dewan Nasional PPMAN, menyebut tindakan anggota kepolisian Polres Nagekeo terhadap masyarakat adat Rendu telah merendahkan harkat dan martabat manusia.

Sementara itu, Syamsul Alam Agus, ketua PPMAN, telah melaporkan tindak kekerasan yang terjadi kepada Propam Mabes Polri. “Hal ini sangat penting untuk memastikan akuntabilitas anggota Polri mengenai pengimplementasian nilai-nilai hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugasnya,” tegas Syamsul dalam rilis PPMAN.

 

Menolak Pembangunan Waduk

Tindakan represif polisi terjadi karena masyarakat adat Rendu, Lambo, dan Ndora menolak pembangunan waduk di Lowo Se. Penolakan ini dilakukan oleh berbagai kalangan, baik tokoh masyarakat adat dan perempuan, maupun anak dan lansia.

Masyarakat adat menolak pembangunan waduk tersebut atas dasar tiga hal. Pertama, Lowo Se merupakan tanah milik masyarakat adat Rendu. Kedua, masyarakat adat akan kehilangan tempat untuk melakukan ritual adat, kuburan leluhur, padang ternak, pemukiman dan lahan pertanian, serta fasilitas publik. Ketiga, pembangunan tersebut bertentangan dengan Perda RT/RW Kabupaten Nagekeo Nomor 1 Tahun 2011.

Penolakan itu dilakukan masyarakat adat Rendu, Lambo, dan Ndora dengan menghadang pintu masuk lokasi Lowo Se, terhitung sejak 9 Desember 2021.

Hal ini terus dilakukan meskipun masyarakat adat harus menghadapi represifitas aparat di lapangan. Antara lain, kasus pencidukan terhadap Antonius Api, anggota masyarakat adat Rendu. “Peristiwa pencidukan terjadi pada hari Senin, 20 Desember 2021 sekitar pukul 9 WITA. Setelah dilakukan upaya negosiasi oleh anggota PPMAN di lapangan, maka Antonius Api berhasil dilepas,” tegas Syamsul Alam Agus.

 

Aksi Para Mama

Tidak hanya diam melihat tanahnya dirampas, para perempuan (mama) melakukan aksi protes. Mereka menjaga pintu masuk wilayah adat di Lowo Se dengan tidak mengenakan pakaian. Aksi ini merupakan simbol perlawanan atas sikap pemerintah yang telah merampas hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alamnya.

Selain itu, “Aksi tersebut merupakan simbol menjaga kehidupan yang akan menghidupi generasi penerus masyarakat adat Rendu,” ungkap Nur Amalia.

Baca Juga: Problematika dan Pemberdayaan Perempuan dalam Masyarakat 

 

Penyikapan PPMAN

Menyikapi kekerasan yang terjadi, PPMAN berkomitmen untuk mengawal laporan yang telah disampaikan ke Propam Mabes Polri dan lembaga lainnya. PPMAN juga meminta dan mendesak agar Kapolri segera melakukan pemantauan dan evaluasi. Selain itu, Kapolri juga diminta untuk melakukan penegakan disiplin dan memberikan sanksi terhadap anggota kepolisian Polres Nagekeo yang telah melakukan kekerasan.

PPMAN juga meminta dukungan dari berbagai lembaga eksekutif, legislatif, lembaga HAM, dan berbagai organisasi kemasyarakatan untuk mengawasi perkembangan kasus ini. Hal ini agar tercapai keadilan bagi masyarakat adat Rendu yang saat ini masih mempertahankan tanah leluhurnya. [ANHS]

Digiqole ad