Fakta Sosial dan Kesadaran Seks Perempuan dalam Film Yuni (2021)
Berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di berbagai ranah. Mulai dari ranah keluarga, hubungan asmara, sampai pada lembaga pendidikan.
Seyogyanya, lembaga pendidikan yang termasuk dalam lembaga sosial berfungsi untuk melindungi individu di dalamnya. Lembaga sosial juga memiliki nilai dan norma yang mengatur individu di dalamnya. Namun, masifnya pemberitaan mengenai kekerasan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di lembaga pendidikan.
Banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan ini memantik masyarakat untuk lebih memahami berbagai isu perempuan dan gender. Salah satunya melalui film ‘Yuni’, sebuah film yang menggambarkan fakta sosial mengenai kehidupan perempuan. Khususnya, perempuan remaja usia Sekolah Menengah Atas (SMA) layaknya Yuni.
Film Yuni yang diperankan oleh Arwinda Kirana sebagai tokoh utama, menampilkan bagaimana keadaan perempuan dalam belenggu budaya patriarki yang membatasi gerak perempuan. Yuni, sebagai siswa SMA yang penuh dengan rasa penasaran, mencoba untuk menemukan jawaban atas kebingungannya sebagai perempuan remaja. Dalam film ini, penonton akan diajak untuk melihat bagaimana proses Yuni sebagai perempuan menentukan pilihan bagi dirinya sendiri. Meskipun itu harus melawan kehendak masyarakat yang menginginkan perempuan harus menjadi seorang yang selalu menurut.
Situasi hidup yang Yuni alami tersebut membuat cerita dalam film ini semakin menarik. Realitas yang begitu kompleks mengenai perempuan disuguhkan dengan baik dalam film ini.
Beberapa hal yang menarik dari film tersebut mencoba dibahas dalam tulisan ini.
Fakta Sosial Terhadap Perempuan
Menurut Emile Durkheim, fakta sosial memiliki sifat yang memaksa, mengikat dan berada di luar individu (Ritzer, 2014). Fakta sosial juga mampu membentuk individu dalam melakukan tindakan sosialnya.
Dalam film Yuni, fakta sosial yang mengikat perempuan tergambar dalam percakapan antara Yuni dan tetangganya. “Ngenteni apa maning sih Yun? Arep apa? Wong wadon sekolah duwur-duwur wong ngko ya ujung-ujunge neng dapur, sumur lan kasur. Yun, Yun”. (Nunggu apa lagi sih, Yun? Mau apa lagi? Kalo perempuan sekolah tinggi-tinggi juga nanti ujung-ujungnya di dapur, sumur, dan kasur).
Kalimat tersebut adalah penggalan dialog film yang merupakan realitas masyarakat Indonesia memandang perempuan. Hal tersebut, yang dilakukan berulang dan menjadi norma dalam masyarakat, mampu berdampak pada pengambilan keputusan perempuan. Banyak perempuan yang pada akhirnya memutuskan untuk menikah ketika sudah lulus SMA. Padahal perempuan seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
Fenomena ini sering sekali ditemui di masyarakat pedesaan yang masih konZservatif. Namun, tak menutup kemungkinan bahwa masyarakat yang tinggal di perkotaan juga masih memiliki pemikiran konservatif terhadap perempuan.
Baca Juga: Perma 5 Tahun 2019: Benteng Terakhir Cegah Perkawinan Usia Anak Melalui Pengadilan
Fakta sosial lain yang tergambar dalam film ini yaitu terdapat sekelompok masyarakat yang masih memercayai mitos. Contohnya, masyarakat percaya bahwa seorang perempuan yang menolak lamaran, akan jauh jodohnya. Tidak hanya itu, perempuan yang menolak lamaran dipercaya akan mengalami hukuman (karma) dan sulit rejekinya.
Hal tersebut digambarkan sangat jelas dalam film. Yaitu bagaimana perilaku kebingungan yang Yuni rasakan, sebenarnya juga dipengaruhi oleh lingkungan sekitar Yuni. Kenapa? Hal ini karena lingkungan sekitar Yuni menaruh stigma terhadap perempuan yang menolak lamaran. Seperti “Awas loh, Yun. Wong wadon nek nolak lamaran angel jodohe”. “Awas loh, Yun. Anak perempuan kalau menolak lamaran nanti susah jodohnya”.
Bahkan kebingungan Yuni berulang sebanyak tiga kali, karena sebanyak itu ia dilamar. Maka, rasanya wajar apabila Yuni merasa sangat kebingungan. Sebab, pada dasarnya Yuni tidak ingin buru-buru menikah. Yuni ingin melanjutkan pendidikannya.
Yuni, pada akhirnya memiliki keberanian untuk menolak lamara-lamaran tersebut. Tindakan Yuni menunjukkan keberanian perempuan dalam mengambil keputusan atas hidupnya. Yuni menggambarkan sosok perempuan yang berani menolak kepercayaan masyarakat yang mengkerdilkan cita-cita perempuan.
Meski begitu, dalam realitas saat ini, belum semua perempuan seberani Yuni. Masih banyak perempuan yang tak kuasa menolak hal yang tidak mereka suka. Seperti halnya masih terjadi perjodohan paksa dalam masyarakat.
Realitas ini merepresentasikan bahwa dalam budaya masyarakat yang patriarkis, perempuan dikondisikan untuk tidak banyak menolak, menerima saja segala keputusan yang ada. Lain halnya dengan laki-laki, yang justru memiliki banyak kesempatan luas untuk memilih dan memutuskan. Padahal seharusnya sebagai sesama manusia, laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk menentukan keputusan hidupnya.
Sementara itu, fakta sosial lainnya yang tergambarkan dalam film yakni mengenai kehidupan setelah pernikahan. Yaitu ketika perempuan, lagi-lagi ada dalam sebuah lubang kebingungan yang besar; Perempuan harus tinggal di rumah ibu kandungnya atau ibu mertuanya.
Tergambar dalam dialog Yuni dan temannya, “Ya apan tinggal neng umahe bojoku ya karo mertuane kudu bantu rewangi keluarga besare”. “Ya kalau tinggal di rumah suamiku, ya sama ibu mertua harus bantu keluarga mengurus keluarga besarnya.”
Realitas tersebut menggambarkan bahwa perempuan setelah masuk dalam dunia pernikahan akan memiliki beban tambahan. Beban tersebut yaitu beban yang berat untuk ikut mengurus keluarga besar sang suami. Hal ini semakin membuat perempuan tidak memiliki kesempatan untuk mengeskplor dirinya dan hanya mengurus urusan rumah tangga saja.
Kesadaran Seks Perempuan
Satu hal yang juga menarik dalam film Yuni adalah, film ini turut menggambarkan pengetahuan seksualitas perempuan.
Dimulai dari scene pada awal film, menampilkan latar sekolahan Yuni yang ingin menyelenggarakan test keperawanan bagi peserta didik perempuan. Padahal, tes keperawanan ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap perempuan; Para perempuan dituntut untuk memenuhi standar keperawanan yang bias, sedangkan laki-laki tidak dituntut untuk melakukan tes keperjakaan.
Fenomena tes keperawanan dapat ditemukan di Indonesia. Contohnya, digunakan sebagai salah satu syarat untuk masuk ke seleksi profesi tertentu.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya miskonsepsi mengenai perawan dan tidak perawannya seorang perempuan di masyarakat. Miskonsepsi mengenai keperawanan ini merupakan hasil konstruksi dari masyarakat yang dihasilkan dari budaya patriarki.
Baca Juga: Perempuan Lebih dari Sekedar Hymen
Sementara itu, pentingnya memahami seksualitas perempuan dan memberikan pemahaman mengenai hal tersebut juga tergambar dalam film. Yaitu saat Yuni berdialog dengan teman-temannya. Ia bertanya kepada Tika, kawan seumurannya yang sudah menikah dan memiliki anak. “Lara ora si, Tik, ML iku?” katanya. “Sakit gak sih, Tik, making love itu?”
Tika menjelaskan bahwa sebenarnya ia merasakan sakit, tetapi malu untuk bilang ke suaminya. Ia juga mengaku tidak pernah tahu bagaimana rasanya orgasme dalam berhubungan seks.
Sosok Tika merupakan representasi para perempuan yang belum berani mengatakan apa yang ia rasakan dalam berhubungan seks. Tindakan Tika ini juga dipengaruhi oleh stigma masyarakat yang menuntut seorang istri semestinya nurut saja dengan suami dan tidak banyak mengeluh.
Hal ini menjadi catatan penting, agar perempuan berani mengatakan apa yang ia rasakan kepada pasangan mengenai pengalaman berhubungan seksualnya. Penting juga bagi perempuan untuk mengutarakan apa yang membuatnya senang dan tidak senang dalam hubungan seks. Hal ini agar perempuan merasa nyaman saat melakukannya.
Ketidakberanian perempuan dalam mengatakan yang ia rasakan saat berhubungan seks justru membuat perempuan semakin didominasi oleh laki-laki, bahkan dalam urusan ranjang.
Layaknya dialog Yuni dengan Tika, dalam realitas kehidupan bermasyarakat pun banyak perempuan yang belum memahami seksualitasnya.
Dalam buku ‘Vagina Kuasa dan Kesadaran’ karya Naomi Wolf, dijelaskan bahwa seksualitas perempuan merupakan sebuah hal yang lebih rumit dibanding laki-laki. Saraf-saraf yang rumit pada vagina membuat masing-masing perempuan memiliki titik masturbasi yang berbeda (Wolf, 2021).
Pengetahuan akan seksualitas ini merupakan hal yang sangat penting bagi perempuan, agar perempuan dapat lebih memahami dirinya sendiri. Namun penting pula bagi laki-laki agar tidak menyalahkan perempuan dengan mengatakan bahwa perempuan tidak mampu memuaskan hasrat seksualitasnya, padahal ia sendiri sebagai laki-laki belum mampu memahami seksualitas perempuan.
Vivi Maulia Rahma, seseorang yang masih terus belajar untuk konsisten menulis